MOJOK.CO – Percakapan suami istri yang baru menikah tentang iman kepada Allah. Di balik kesalehan, ada ketidakpercayaan kepada Tuhan.
Syahdan di sebuah kota bernama Khirmani yang cukup padat penduduk, hiduplah seorang arif bernama Syah bin Syuja. Ia hidup di sebuah rumah kecil bersama putrinya yang perawan. Putri Syah begitu cantik. Banyak orang datang untuk melamarnya. Bahkan, cerita tentang kecantikannya menyebar ke seluruh penjuru kota. Para raja di Khirmani datang melamar kepada Syah bin Suja. Sang arif tua ini meminta tenggat waktu tiga hari untuk memberi jawaban di hadapan para pelamar putrinya.
Syah bin Suja benar-benar dilanda kebingungan. Dalam tenggat tiga hari itu ia pergi dari satu masjid ke masjid lain hingga suatu ketika, ia melihat seorang darwis sedang salat dengan khusyuknya. Syah bin Suja menanti dengan sabar hingga sang darwis menyelesaikan rakaat salatnya. Kemudian, Syah bin Suja menyapa orang tersebut.
“Darwis, apakah engkau punya seorang keluarga?”
“Tidak ada,” jawab sang darwis.
“Apakah engkau menghendaki istri yang dapat membaca Al-Quran?”
“Siapakah gerangan yang bersedia menikahkan putrinya kepadaku?” kata darwis itu. “Aku hanya punya tiga dirham.”
“Aku akan menikahkan putriku denganmu,” kata Syah bin Syuja.
“Dari tiga dirham yang kaumiliki itu, belanjakan satu dirham untuk roti, satu dirham lagi untuk minyak mawar, lalu ikatlah sebuah tali perkawinan.”
Syah bin Syuja dan si darwis saling menyetujui. Mereka telah bersepakat. Malam itu juga Syah bin Syuja akan menyerahkan putrinya ke rumah si darwis untuk dinikahkan. Syah bin Syuja akhirnya pamit undur diri.
Si darwis juga ikut pulang. Sesampai di rumah, si darwis hanya menunggu calon istrinya.
Setelah menginjak malam, tiba-tiba terdengar suara ketukan. Benar seperti yang diharapkan si darwis, putri yang dijanjikan lelaki tua yang menemuinya di masjid telah datang.
Saat memasuki rumah si darwis, si gadis melihat sepotong roti kering di dekat kendi air.
“Roti apa ini?” tanya si gadis.
“Itu roti sisa kemarin. Aku menyimpannya malam ini untuk makan esok hari,” jawab si darwis.
Setelah mendengar jawaban si darwis, si gadis bermaksud meninggalkan rumah itu.
“Aku tahu,” kata si darwis, “putri Syah bin Syuja seorang arif yang masyhur itu tak mungkin mau dan sanggup hidup bersamaku dan menanggung kemiskinanku ini.”
“Tuan, bukan ketiadaan harta yang membuatku ingin meninggalkanmu,” jawab gadis itu. “Aku meninggalkanmu karena kurangnya iman dan rasa pasrahmu. Dengan menyisihkan roti sisa kemarin, engkau tidak percaya bahwa Allah akan memberi rezeki untuk esok hari. Pada saat yang sama aku terkejut dengan ayahku. Selama dua puluh tahun dia mengurusku di rumah, dia selalu berkata, ‘Aku akan menikahkanmu dengan lelaki yang takut akan Allah.’ Sekarang dia malah menyerahkanku pada orang yang tidak mengandalkan Allah untuk keperluan nafkah sehari-harinya.”
Si darwis menundukkan kepala. Namun, sesaat kemudian ia tiba-tiba berucap.
“Apakah ada penebusan yang setimpal atas dosaku ini?”
“Ya. Ada,” kata gadis itu.
“Inilah penebusanmu. P yang bisa tetap tinggal di rumah ini: aku atau roti kering itu.” ilihlah salah satu
Dinukil dan disadur dari salah satu cerita yang terdapat di kitab Tadhkiratul al-Auliya karya Fariduddin Attar, diterjemahkan oleh A.J. Arberry dalam Muslim Saints and Mistics: Episode from Tadhkiratul al-Auliya, 2000, hlm. 243-245.
Baca juga: “Engkau Mengajukan Banyak Pertanyaan, Tak Satu Pun yang Penting“