MOJOK.CO – Sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Gita Savitri, selangkangan perempuan hampir selalu diatur oleh kekuasaan.
Tulisan ini merupakan reaksi dari kisruh yang ditimbulkan Gita Savitri. Hingga tulisan ini selesai dibuat, kisruh tersebut masih jua renyah jadi gunjingan di medsos. Namun, saya tak akan ikutan nimbrung urusan ibu-ibu tersebut tentang enak anak atau tidak punya anak.
Yang jadi perhatian saya adalah bagaimana di hari modern ini, urusan selangkangan (reproduksi) manusia masih saja diatur oleh kekuasaan, seperti yang sudah-sudah dalam sejarah di Nusantara, sejak zaman Orde Lama dan Orde Baru. Konteks tulisan ini adalah sejarah di mana kekuasaan mengatur selangkangan perempuan di Indonesia.
Kekuasaan, dalam konteks dapat dibaca sebagai pemerintah, kekuasaan kapital, dan kekuasaan simbolik (popularitas, tren, pasar, dan lain sebagainya). Di atas, saya menegaskan bahwa yang diatur dalam relasi kuasa ini adalah selangkangan perempuan. Ya, benar, meskipun secara biologis proses kawin-mawin harus melibatkan laki-laki dan perempuan, pada kenyataannya, hal-hal yang berkaitan dengan anak-pinak, selalu lebih membebani perempuan.
Selangkangan di sepanjang zaman
Kita akan melihat sejarah wacana (diskursus) tentang beranak-pinak di negeri ini. Secara sederhana, menurut aliran filsafat Foucauldian, wacana adalah gagasan/pemikiran yang kita anggap benar sesuai norma yang berlaku. Di balik pemikiran yang dianggap normal dan kita praktikkan sebagai way of life selalu terdapat kekuasaan yang mengatur benar dan salahnya, dan menjadikannya seolah-olah natural atau kodrati.
Setidaknya terdapat empat periode wacana “beranak-pinak yang baik dan benar” sejak zaman kolonial, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Gita Savitri. Telah dijelaskan tentang siapa dan apa saja kekuasaan yang mengatur wacana ini. Kekuasaan yang mengatur tata cara hidup manusia itu juga selalu punya perangkat untuk menjalankan kekuasaan.
Kata Althusser, filsuf dari Prancis, perangkat ini disebut aparatus, yang dalam hal ini bisa berupa kekuatan hukum, norma sosial, media propaganda (iklan, promosi, buzzer), dan juga “ketersediaan kultural” masyarakat yang barangkali tidak sadar sedang dan telah menjadi agen kekuasaan untuk menjalankan ideologi pihak yang berkuasa, termasuk soal selangkangan perempuan dari zaman kolonial, Orde Baru, hingga zamannya Gita Savitri dirujak netizen.
Baca halaman selanjutnya….
Selangkangan di mata kolonial
Pada saat itu, wacana beranak-pinak yang dibangun kekuasaan penjajah atas selangkangan bangsa Indonesia adalah “banyak anak banyak rejeki”. Tentu saja kaum kolonial mempunyai tujuan ketika aparatusnya mengkonstruksi masyarakat agar menyetujui sekaligus mempraktekkan kawin-mawin blong tanpa rem, sehingga menghasilkan populasi penduduk nusantara dalam jumlah banyak.
Belanda, pada saat itu, membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah banyak sebagai buruh demi praktik-praktik eksploitasi ekonomi. Bahkan di Jawa, perempuan yang beranak banyak dianggap mempunyai derajat sosial yang lebih baik daripada yang beranak sedikit. Kalau hidup di zaman ini, Gita Savitri bakal pusing banget. Nggak jadi awet muda.
Ideologi “banyak anak banyak rejeki” masih dilanggengkan Sukarno ketika Belanda berhasil diusir dari Nusantara dan Indonesia merdeka. Namun, jumlah populasi yang banyak tidak lagi diagendakan oleh Sukarno sebagai tenaga kerja buruh.
Sukarno melanggengkan ideologi banyak anak banyak rezeki
Beliau, pada waktu itu, merasa sebagai negara yang baru saja merdeka, ancaman dari kembalinya penjajah maupun gerakan separatis dari dalam negeri, masih menjadi momok keamanan negara muda ini. Makanya, tenaga penduduk yang banyak dibutuhkan untuk menjadi benteng kemerdekaan. Inilah salah satu perbedaan besar antara Orde Lama dan Orde Baru, dan Orde-nya Gita Savitri.
Waktu itu, Sukarno juga berpendapat bahwa luasnya wilayah Indonesia tidak menjadi masalah untuk jumlah penduduk melimpah. Yang menjadi permasalahan adalah ketidakmerataan penduduk yang hanya berpusat di Jawa, sehingga transmigrasi merupakan solusi dan upaya untuk meratakan penduduk sekaligus meratakan kekuatan nasional ke seluruh wilayah Nusantara.
Pada masa itu, di dunia sudah mulai gencar wacana pembatasan reproduksi. PKBI, cikal bakal Keluarga Berencana (KB), masuk ke Indonesia pada 1957. Tetapi, Sukarno (yang anti-Barat) tidak setuju program KB yang dinilai sebagai propaganda bangsa Barat kepada negara pascakolonialisme. Sukarno yang pro-natalis (pendukung kelahiran) adalah juga pelaku poligami yang otomatis mendukung wacana “banyak anak banyak rejeki” ini.
Soeharto membuka pintu KB
Pada zaman Soeharto dan Orde Baru, wacana selangkangan, eh reproduksi, berubah lagi. Soeharto, yang pro-Barat mendorong PKBI dengan promosi besar-besaran program KB. Wacana “dua anak cukup” diperkuat oleh aparatus Soeharto dalam berbagai propaganda. Mulai dari pusat hingga ke wilayah RT.
Kita tentu masih menyaksikan sisa-sisa alat propaganda tersebut dalam bentuk patung bapak-ibu menggandeng dua orang anak di setiap gang di pelosok negeri. Aturan-aturan pembatasan tunjangan anak diterapkan ke PNS yang merupakan pion-pion kekuasaan Soeharto.
Memang, program kontrasepsi KB melibatkan laki-laki dan perempuan. Namun, pada kenyataannya, selangkangan perempuan menjadi figur utamanya. Kesadaran kultural dibangun pada masa Orde Baru bahwa perempuan yang mendaftar KB adalah mereka yang berperan membantu kesuksesan pembangunan. Gita Savitri bisa agak bahagia di zaman ini. Nggak awet muda banget. Dikit aja.
Selangkangan yang mengancam
Secara statistik, 90% pelaksana KB adalah perempuan. Pertambahan penduduk Indonesia turun secara signifikan di era Soeharto menjadi 2,2% dalam dekade pertama kekuasaanya, dibanding dengan angka 3,5% pada masa Sukarno.
Program KB di Indonesia dipuji-puji di dunia internasional, terutama tentu oleh negara Barat, sebagai penyokong dana terbesar KB. Kita tahu, bantuan terbesar dana mengekang selangkangan datang dari USAID (Amerika) dan AUSAID (Australia).
Amerika dan sekutunya mempunyai kekhawatiran akan masalah demografis negara berkembang. Populasi penduduk yang tidak terkontrol dianggap sebagai ancaman demografi dunia, dan membahayakan negara maju.
Australia misalnya, sebagai negara tetangga terdekat merasa terancam akan terjadinya over-populasi di Indonesia yang dapat mengakibatkan gelombang migrasi orang Indonesia ke Australia. Begitu pula sikap Amerika terhadap negara-negara berkembang tetangganya di wilayah Amerika tengah. Ledakan populasi “bangsa berwarna” dipandang akan membawa kehancuran ekonomi negara maju. (Terbukti dengan kebangkitan Cina dan India hari ini).
Kesadaran baru
Pada era 1990-an, bersamaan dengan tumbangnya Soeharto, muncul pula kesadaran dari para perempuan di Indonesia yang tidak mau lagi diatur caranya bereproduksi. Gerakan-gerakan feminis mulai muncul dan wanita Indonesia merasa bahwa selangkangan dan rahim merupakan otoritas penuh milik mereka yang tidak perlu diatur negara. Gita Savitri melompat bahagia. Saya bisa merasakannya.
Paradigma program KB bergeser menjadi “dua anak lebih baik”, dengan tiadanya paksaan-paksaan untuk perempuan untuk mengikuti program KB. Aparatus KB menyurutkan kampanyenya. Patung KB tidak lagi dibangun, penyuluhan KB dengan layar tancap film Saur Sepuh dan Tutur Tinular tidak lagi berkeliling di desa-desa, PKK juga tidak lagi gencar mempromosikan KB.
Jika sebelumnya wacana pengontrolan anak-pinak berdasarkan pada permasalahan ekonomi, pada era Gita Savitri ini muncul kembali wacana pembatasan kelahiran dengan tambahan alasan kerusakan lingkungan dan masa depan yang tidak baik-baik saja untuk keturunan manusia, dalam ideologi childfree.
Agenda kekuasaan di antara selangkangan
Ingat ya, di balik wacana selalu ada agenda kekuasaan. Entah apa lagi kali ini kepentingan para pemegang kekuasaan di dunia ini, sehingga wacana childfree gencar sekali dipropagandakan lewat media-media yang terbarukan. Hal ini juga telah menjadi kesadaran kultural masyarakat yang pro akan konsep itu, namun barangkali “tidak sadar” sedang menjadi bagian dari aparatus kekuasaan atas selangkangan.
Saya setuju jika sebuah wacana murni dilakukan demi kehidupan kemanusiaan yang lebih baik. Seperti juga kata Gita Savitri bahwa childfree itu bertujuan untuk masa depan kemanusiaan yang lebih baik. Kalau demi kemanusiaan, kenapa dalam mempromosikan program kemanusiaan mesti mencederai manusia orang lain dengan misuh-misuh di medsos? Hayo.
Artikel ini adalah kutipan sederhana dari jurnal ilmiah. Mereka yang saya kutip adalah pakar studi gender Wening Udasmoro, Julia Suryakusuma, dan artikel sosio-humaniora lainnya.
Demikian dari saya, Paksi Raras Alit, seniman beranak tiga.
BACA JUGA Gita Savitri, Childfree Bikin Awet Muda Itu Omong Kosong dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Paksi Raras Alit
Editor: Yamadipati Seno