MOJOK.CO – Sore akhir pekan, tak tampak lagi gerombolan orang dengan kesebelasan kebanggaan kami: Reading FC. Fiuh, puasa sepak bola ngeri sekali di Inggris sini.
Boleh jadi Arrigo Sacchi cuma bercanda: sepak bola adalah hal terpenting di antara hal-hal yang kurang penting. Tapi di Reading, layaknya kota-kota lain di Inggris, absennya pertandingan sepak bola hari-hari ini terasa sungguh menyesakkan.
Apa boleh buat, sejak berlakunya PSBB alias Pembatasan Sepak-bola Berskala Besar, Reading jadi tak sebergairah dulu. Berhenti sudah hari-hari penuh aroma kompetisi sepak bola Inggris. Dari Premier League, English Football League (yang terdiri atas Championship, League One dan League Two) hingga sepak bola non-liga. Juga Women’s Super League beserta liga sepak bola putri lainnya di Inggris sini.
Sabtu dan Minggu tak lagi diriuhi rombongan suporter yang mengaliri ruang-ruang kota menuju Stadion John Madejski. Di sore-sore akhir pekan, tak tampak lagi kakek-nenek hingga anak-cucu dalam kostum garis-garis horizontal putih-biru—itu seragam kesebelasan kebanggaan kami, Reading FC.
Tetangga saya, mahasiswa kos-kosan, memang masih memasang bendera Ipswich Town FC (yang terdepak dari Championship musim lalu) di jendela depan kamarnya. Tapi Charles, teman sejawat yang biasa menyebut klub Wolverhampton Wanderers dengan kata ganti “we” atau “us”, tak lagi memulai pagi dengan membahas berita baru seputar the Wolves.
Dan ini berat. Ngeri.
Absennya pertandingan sepak bola Inggris adalah macetnya asupan narasi segar dan hangat untuk dikupas, dicemil, serta dimamah biak sepanjang hari. Ini berarti hilangnya pesona prediksi jelang tanding, drama intens dua kali empat puluh lima menit, hingga riuh analisis pascalaga.
Dan itu semua terjadi tatkala warga harus mendekam di rumah, saat bermacam bentuk informasi atau rekreasi hanya dapat dikonsumsi secara online.
Maka dalam berbagai highlight sepak bola, berita baru seperti sudah jadi masa lalu. Ia digantikan features dan dokumenter, dimuati nostalgia dan kenangan lama. Film pilihan The Guardian untuk mengisi kekosongan live sport selama lockdown pun sarat nostalgia.
Ya, ini memang berat. Maklumlah, tidak semua orang di saat seperti sekarang bisa mengunjungi kebun binatang seperti yang dicontohkan Gubernur Anies, medio April lalu.
Betapapun, bernostalgia lewat cerita sepak bola tetaplah lebih asyik dan berfaedah ketimbang mengritisi politik publisitas Anies Baswedan. Ingat, menurut tausiah-tausiah dan berbagai video “ilmiah” di WAG, kita harus terus berpikir positif dan positif, bukan?
Kalau tidak, niscaya kita tetap baik-baik saja termasuk golongan orang-orang yang tidak mendapat hidayah.
Nah, dalam upaya mendapatkan hidayah selama bersarang di rumah, izinkan saya ikut-ikutan bernostalgia ihwal sepak bola.
Jangan lupa, nostalgia adalah kenangan bersalut gula. Ia menghadirkan masa lalu dalam hangat yang menenteramkan. Cocok untuk berpikir positif dalam PSBB.
Lagipula ini bulan Ramadhan. Ketenteraman hati adalah koentji. Terlebih tahun ini rerata durasi puasa di Reading, Inggris, masih sekitar 17 jam per hari. Tidak seheroik puasa di musim panas tahun lalu, memang. Tapi kini tiap tindakan ngabuburit bakal ditangkap polisi.
Dendanya? Tiga puluh pound.
Lantaran nostalgia kolektif sudah diborong berbagai media berita dan hiburan, saya terpaksa memilih nostalgia personal. Siapa tahu bisa mengekor sukses Agus Mulyadi yang menulis pengalaman pribadi soal kucing-kucing di rumahnya.
Baiklah, saya mulai dari seminggu seusai nonton Piala Dunia Argentina 1978 (ebusyet, sudah berapa puluh tahun lalu itu ya?)
Ketika itu saya mendapat oleh-oleh dari Jakarta: jersey bola ukuran anak-anak. Mirip seragam timnas Argentina. Langsung saja ia jadi harta karun saya yang paling berharga. Harap maklum, di zaman old, industri garmen belum begitu happening. Apalagi di kota kecil di Jawa Tengah, tempat saya pernah tinggal.
Jangankan jersey tim sepak bola, lha wong kaos sebagai pakaian sehari-hari saja masih jarang muncul di ruang publik. Kebanyakan, sependek ingatan saya, ya cuma kaos putih polos cap Kijang, Jupiter, atau Swan. Mas-mas gondrong yang agak alternatif pakai oblong merek Gazelle, terus digambari sendiri menggunakan spidol.
Sebetulnya, sebagai anak kecil, saat itu saya lebih kagum pada jersey timnas Peru. Ada bidang diagonal menyelempang dari pundak kiri ke pinggang kanan. Tampak gagah seperti pakaian panglima perang.
Tapi daya tarik Peru langsung mengkeret setelah mereka diremas Argentina 0-6. Dengar-dengar, pertandingan itu sudah diatur agar tuan rumah mendapat minimal empat gol untuk menggeser Brazil dan bisa melaju ke final.
Itulah kali pertama saya mendengar kata “suap” yang tidak ada hubungannya dengan makanan, dan “sogok” yang tak berkaitan dengan kunci pintu atau galah. Dua kata itu kelak terbukti membantu saya memahami kehidupan sehari-hari di bawah rezim Orde baru sepanjang dua dekade berikutnya.
Mendapat jersey baru membuat saya melupakan kejengkelan akibat terus-terusan gagal mencontoh gambar logo Piala Dunia ’78. Yang bikin sulit dicontoh tentu saja gambar bolanya: lingkaran tapi terdiri atas segmen-segmen segilima dan segienam.
Lha menggambar satu segmen saja sulitnya bukan main. Lebih-lebih menggabungkannya. Hambok sampai mubang-mubeng, kemungkinannya cuma dua: gagal atau ambyar. Bagaimana mungkin rombongan segilima dan segienam bisa disusun dan akhirnya membentuk sebuah lingkaran? Uaaasem tenan.
Karena Argentina jadi juara dunia, memakai jersey tadi terasa makin nggaya. Apalagi si jersey bernomer punggung 10. Itu nomer Mario Kempes, superstar yang tak terlupakan.
Pertama, karena dia top scorer. Kedua, namanya lucu. Bagi anak-anak, gelaran Piala Dunia adalah sarana mengenal keanekaragaman nama-nama yang tak terbayangkan sebelumnya.
Tapi kebanggaan terhadap jersey tadi runtuh seketika karena teman saya, yang jago main bola, bilang bahwa jersey saya salah. Lho? Ya, karena warna garis vertikalnya seharusnya biru muda. Sedangkan garis di jersey saya hijau menyala. Katanya, biru muda diambil dari warna bendera Argentina.
Saya tidak percaya. Memangnya seragam kesebelasan Belanda (yang kalah 1-3 di final) juga merah-putih-biru? Argumen ngèyèl itu langsung patah setelah teman saya tadi menunjukkan foto tim Tango dari majalah. Fotonya berwarna. Sedangkan pesawat TV di rumah kami hitam putih.
Demikianlah, saya kemudian lebih banyak memakai jersey itu sebagai baju rumahan. Sayangnya pertumbuhan badan saya kalah cepat dibanding laju kemelaran si jersey ke segala penjuru. Empat tahun kemudian, sewaktu nonton siaran Piala Dunia Spanyol 1982, jersey itu tinggal kenangan.
Tapi benarkah Piala Dunia 1982 diselenggarakan di Spanyol? Pertanyaan ini dulu sangat mengganggu. Sebab gambar Naranjito, si maskot berbentuk jeruk memegang bola, tidak bertuliskan “Spanyol” atau “Spain” melainkan “España” – dengan tanda cacing di atas huruf N.
Belakangan saya tahu bahwa Piala Dunia kali itu berbahasa Spanyol. Maka, siaran pertandingan di tipi pun kerap membingungkan. Alemania bertemu Inglaterra, Escocia melawan Neuva Zelanda, atau Francia versus Polonia.
Dari España ’82 itulah saya jadi tahu, nama suatu negara bisa beda-beda dalam berbagai bahasa.
Walaupun, jujur saja, sampai setua sekarang ini saya sebetulnya tidak benar-benar paham alasan kita menyebut New York tetap sebagai New York, tapi menerjemahkan New Zealand sebagai Selandia Baru, dan mengubah Papua New Guinea menjadi Papua Nugini.
Tapi istilah-istilah reporter tipi, meski berbahasa Indonesia, tetap sulit buat saya di kala itu. Misalnya, Aljazair harus tersingkir akibat Jerman Barat (iya, saat itu tembok Berlin belum roboh) dan Austria main mata. Lho, masak iya main bola sambil main mata?
Atau, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “mengoleksi kartu kuning”? Saya dulu sungguh bertanya-tanya, sebenarnya berapa banyak sih kartu kuning yang dikantongi wasit agar dapat dibagi-bagikan untuk dikoleksi para pemain?
Seiring waktu, bahasa bola semacam itu tentu bukan masalah lagi. Ini membuat nonton gelaran Piala Dunia lebih asyik: kita bisa ikutan berkomentar.
Sejak Mexico ’86, dalam pengalaman saya, menonton dan mengomentari pertandingan memang dwitunggal tak terpisahkan. Nonton tanpa komentar adalah lemah, komentar tanpa nonton adalah buta.
Beruntung sudah ada tabloid Bola, meski saat itu ia masih jadi sisipan koran Kompas. Bola memberi banyak analisis, mengupas berbagai sisi teknis, juga menyajikan info-info praktis dengan foto-foto yang keren.
Sementara tulisan sepak bola di Kompas—wabilkhusus kolom Romo Sindhunata—menempatkan sepak bola pada bermacam konteks yang lebih luas dan dalam. Keduanya benar-benar menjadi amunisi untuk nonton sembari sotoy.
Demikianlah, tiap empat tahun, spektrum sotoy saya kian luas.
Lalu sotoy kian brutal seiring teladan yang terserap sejak Indonesia punya tipi-tipi swasta. Mereka menayangkan Liga Eropa secara extravaganza. (Sebetulnya saat itu TVRI juga punya tayangan Bundesliga—tapi, aaa… sudah lah.)
Presenter dan komentator dalam tayangan sepak bola di tipi kala itu jadi pertunjukan tersendiri. Mereka punya data, statistik, dan potongan-potongan visual dalam berbagai infografis. Mungkin itulah yang membedakan komentator dengan penonton nggamblèh.
Nah, tersebab ingin menyemai generasi nggamblèh audiens yang apresiatif, saya sering mengajak sulung kami menonton sepak bola di tipi. Sewaktu Piala Dunia 2006, dia masih terlalu muda untuk menyimak pertandingan apalagi memahami alasan Zidane menanduk Materazzi.
Tapi saat itu ia sudah cukup umur untuk termakan iklan: ada soccer bean di tiap kotak serealmu! Soccer bean itu bentuknya seperti kapsul obat tapi lebih tinggi dan gendut. Bergambar pemain sepak bola chibi dengan seragam timnas masing-masing, mereka segera tegak kembali setelah disentil dan jatuh berguling-guling.
Jadilah, saya khusyu’ nonton tipi, si sulung asyik bermain—tapi juga terus menginterupsi.
Masukin bola ke gawang boleh pakai tangan nggak? Oh, itu dulu tangan tuhan-nya Maradona. Kalau pakai dua tangan dari pinggir lapangan? Weits, jarang-jarang sebuah throw-in bisa langsung menghasilkan gol. Tapi jika itu terjadi, ya embuh bagaimana aturannya di sepak bola. Lha ponsel sejuta umat saat itu belum cukup cerdas untuk gugling immediately, jé, Ndhès.
Di Final Piala Dunia Afsel, anak saya menjagokan Spanyol, gara-gara setahun sebelumnya Barcelona memenangi Liga Champion. Sebaliknya, lantaran dulu saya sempat kuliah di Rotterdam, hati kecil ini berharap mbok ya Belanda sekali-sekali juara.
Ebajigur, Andrés Iniesta malah bikin gol di menit-menit akhir. Untung dari awal saya bisa menahan diri dengan pura-pura netral. Wibawa saya sebagai komentator yang otoritatif di hadapan anak pun utuh terjaga.
Spanyol juara dan, walau cuma setengah hati, saya tetap ikut nyanyi: When I get older, I will be stronger; they’ll call me freedom, just like a wavin flaaaaaag…
Dan rupanya kibaran Wavin Flag di ingatan si sulung (juga “Waka Waka” dan Shakira di benak bapaknya) tak tergeser oleh “Ole Ola”-nya Pitbull dan Jennifer Lopez empat tahun berikutnya. Kami memang cenderung melupakan Piala Dunia Brazil setelah semlengeren melihat tuan rumah dikunyah 1-7 oleh Jerman multikulturnya paman Joachim.
Di gelaran Piala Dunia Rusia, saya tak terlalu bersemangat nonton bersama anak-anak. Saya khawatir kebiasaan boomer dalam nonton sepak bola tak bersetuju dengan perilaku milenial serta Gen-Z.
Sementara saya masih istikamah dengan layar tipi sembari menginsyafi pupusnya harapan Football is Coming Home, si bungsu nyimak di tablet sembari cek info sana-sini perkara lain. “Hey, Mark & Spencer sampai kehabisan waistcoat-nya Gareth Southgate!”
Begitulah. Bahkan dalam sepak bola Inggris pun, pertandingan mungkin bukan satu-satunya unsur penting. Allenatore Arrigo Sacchi tampaknya tahu benar perihal ini.
Tapi soal nostalgia yang menenteramkan hati agar bisa selalu berfikir positif sesuai tausiah, kebun binatang tetaplah sarana terbaik. Di sana kita akan mendapatkan refleksi dari masa lalu. Setidaknya, menurut gojekan lawas cum garing: di kebun binatang kita bisa membayangkan bentuk dan rupa nenek-moyang kita dahulu.
Tentu, tak perlu kita tanyakan kepada Gubernur Anies tentang kebenaran gojekan itu.
BACA JUGA Natal di Inggris, Kalkun Halal, dan Simbol Salib di Ruang Publik atau tulisan Arsoli Yuwono lainnya.