Beberapa hari terakhir media sosial ramai dengan #AyoMondok, sebuah gerakan yang menganjurkan anak muda untuk kembali ke pondok pesantren. Konon sih, ini konon katanya, karena di era internet ini ajaran agama disampaikan secara serampangan. Dengan adanya gerakan mondok, para pembelajar agama bisa dengan langsung belajar melalui metode yang benar: membaca kitab suci dengan asbabun nuzul-nya, asbabun wurud-nya, memahami fiqih dengan teks aslinya. Tapi ya itu, mosok di zaman yang sudah canggih dengan teknologi internet ini kita mesti belajar agama dengan cara yang ketinggalan zaman? LOL banget gak sih?
Orang-orang yang mempromosikan pun adalah orang-orang liberal. Coba bayangkan, yang mempromosikan itu kalo nggak Akhmad Sahal ya Ulil Absar Abdalla. Coba bayangkan, dua orang ini kan orang JIL. Perkara 800an lain orang yang mempromosikan #AyoMondok bukan orang JIL ya gak peduli. Pokoknya #AyoMondok ini agenda JIL untuk merusak umat. Pokoknya semua yang dipromosikan dan didukung orang-orang JIL, meski orangnya cuma satu-dua, itu adalah agenda liberal, dan kita mesti melakukan jihad melawan liberalisme—menggunakan fasilitas kebebasan berpendapat yang merupakan produk demokrasi liberal. Yeah!
Untuk itu, mari kita merapatkan barisan untuk menolak #AyoMondok. Gerakan itu gerakan standar ganda. Katanya Islam Nusantara bukan Islam Arab, kok yang diajarkan malah Arab gundul? Wah, ini kan pelanggaran? Saya sepakat sekali sama akun anonim Twitter yang bilang bahwa orang-orang #AyoMondok ini standar ganda. Katanya mendukung Islam Nusantara, tapi kok pamer kemampuan bahasa Arab? Ya walaupun ada tafsir “Al Ibriz”, kitab tafsir Al Quran dalam bahasa Jawa karya Kyai Bisri Mustofa, tapi itu kan hanya satu. Eh, ada banyak selain Kyai Bisri Mustofa ding. Tapi pokoknya standar ganda lah. Pokoknya #AyoMondok ini gerakan yang standar ganda!
Pesantren itu udik dan tidak modern. Bayangkan saja, untuk satu perbedaan saja mereka mengadakan bahtsul masail; forum di mana dua orang yang berbeda pendapat terhadap satu masalah agama saling berdiskusi dengan sumber-sumber primer. Misalnya, apakah khilafah itu wajib atau tidak, maka dalam forum bahtsul masail, pendukung maupun penolak akan memberikan argumen, klaim yang berdasarkan sumber primer. Ini kan menyusahkan? Pesantren kok macak demokratis. Pesantren itu ya harusnya monolitik. Pokoknya nurut kyai. Titik!
Wong zaman udah modern, belajar agama ya tinggal pergi ke emperan masjid, cari murrabi, Google deh. Beres. Kok masih harus repot belajar bahasa Arab, belajar logika sampe harus punya pemahaman terhadap teks. Ketinggalan zaman banget gak sih?
Lho ya jelas ketinggalan. Di pesantren, setiap santri diajari Nahwu-Sharaf dari awal. Bagaimana cara membaca, memahami dan mengerti teks dengan kaidah yang njlimet. Belum lagi harus menghafal Alfiyah yang banyaknya na’udzubillah. Kitab-kitab babon kayak Akhlaqul Banin, Ta’limul Muta’allim, Risalah Mu’awanah hingga Minhajul Abidin, semua diajarkan manual tanpa bantuan Google apalagi Wikipedia. Apa ya ndak menyiksa?
Lagipula apa sih fungsinya Pondok Pesantren? Paling-paling hanya melahirkan lulusan-lulusan liberal yang bikin pernyataan kontroversial. Contohnya Ulil Abshar Abdalla, Akhmad Sahal, dan cecunguk-cecunguk JIL lainnya. Lihat, banyak sekali kan lulusan pesantren yang liberal? Anda mungkin akan segera menyebut nama-nama yang tidak liberal seperti Muhammad Al-Fayyadl penulis Teologi Negatif Ibnu ‘Arabi, Ainun Najib Kawal Pemilu, Yahya Cholil Staquf Terong Gosong, dan Hidayat Nurwahid PKS mantan Ketua MPR. Ah, itu kan pembelaan Anda saja. Lebih banyak yang liberal. Pasti.
Ada juga yang koar-koar, pesantren punya peran penting untuk perjuangan kemerdekaan republik ini. Katanya, secara historis pesantren jadi satu lembaga pendidikan paling awal di negara ini, dan secara sosial pesantren-pesantren pernah mempelopori berbagai perubahan di masyarakat. Ah, tapi itu kan katanya. Dan kalaupun bener, itu kan masa lalu.
Sekarang ini pesantren sudah tidak relevan. Kalo bisa belajar agama dari Google, kenapa harus belajar Nahwu-Sharaf? Kalo bisa ngutip Quran dari banyak blog, kenapa harus banyak belajar kitab pendamping apalah itu? Kalo bisa menghukumi sesuatu dengan fiqh yang ada di Wikipedia, kenapa kita harus belajar logika mantiq? Sudahlah, gak usah mondok.
Karena semua masalah di negeri ini sumbernya adalah JIL dan hanya khilafah solusinya.