ADVERTISEMENT
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Persona
    • Seni
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Persona
    • Seni
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Logo Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Beranda Esai

Mengaku Ada, Mengaku Sakit Bokong

Rusdi Mathari oleh Rusdi Mathari
17 Juni 2016
0
A A
Mengaku Ada, Mengaku Sakit Bokong

Mengaku Ada, Mengaku Sakit Bokong

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

Pak Lurah sakit. Sudah empat hari dia terbaring. Makan tak enak. Minum tak nikmat. Istrinya bingung karena sakit Pak Lurah kali ini agak aneh. Setiap menjelang buka Pak Lurah seperi kejang-kejang sembari memegangi bagian pantatnya. Dan setiap kali kejang-kejang itu, Pak Lurah memanggil-manggil nama Cak Dlahom.

Ketika istri Pak Lurah menceritakan keadaan suaminya kepada dokter yang memeriksa suaminya, giliran dokternya yang bingung. Kata dokter, Pak Lurah sehat-sehat saja. Tidak sakit dan mungkin hanya kelelahan sepulang dari umrah.

Istri Pak Lurah sudah mencoba mengajak Pak Lurah bicara. Tapi usahanya tak membuahkan hasil. Sejak terbaring, Pak Lurah tidak mau bicara. Membisu. Dia bahkan tidak mau memandang wajah istrinya dan hanya melelehkan air mata. Menangis tapi tanpa suara, hingga pada suatu malam, dia meminta istrinya agar memanggil Mat Piti dan Cal Dlahom.

Singkat cerita, malam itu selepas maghrib, berkunjunglah Mat Piti dan Cak Dlahom ke rumah Pak Lurah. Cukup aneh, karena tanpa rewel, kali ini Cak Dlahom bersedia ikut. Dia juga mau ketika Mat Piti mengajak masuk ke kamar untuk melihat keadaan Pak Lurah.

“Saya minta maaf Ril. Sebetulnya, kemarin selesai tarawih aku mau ke sini tapi ketiduran,” Mat Piti membuka omongan dengan memanggil nama kecil Pak Lurah.

Keduanya memang berteman sejak kecil. Sepantaran. Sama-sama lahir dan besar di Desa Ndusel.

Baca Juga:

Pesan dari Nenek Tua 81 Tahun Asal Gunungkidul yang Tidak Pernah Sakit

Pesan dari Nenek 81 Tahun Asal Gunungkidul yang Tidak Pernah Sakit

5 Agustus 2023
Benci dengan Tubuh Sendiri? Bisa jadi Kalian Mengalami Body Dysmorphic Disorder. MOJOK.CO

Benci dengan Tubuh Sendiri? Bisa Jadi Kalian Mengalami Body Dysmorphic Disorder

17 Juni 2023

Pak Lurah tak menjawab. Dia hanya memandangi Mat Piti sembari menangis. Kali ini dengan terisak. “Aku yang minta maaf Mat. Aku…”

Semenit dua menit, isak Pak Lurah semakin kencang. Istrinya yang semula tak ikut masuk kamar, segera masuk kamar. Pak Lurah menoleh ke Cak Dlahom. “Cak maafkan saya Cak.  Maafkan…”

Dan entah kenapa, Cak Dlahom yang biasa menjawab aneh-aneh, membalas serius dan benar. “Sampean tidak ada salah. Saya yang salah Pak Lurah.”

Mat Piti dan istri Pak Lurah saling pandang. Mereka tidak mengerti mengapa Pak Lurah dan Cak Dlahom saling minta maaf.   “Ada apa Pak? Apa yang sebenarnya terjadi?”

Istri Pak Lurah mencoba mencari tahu. Pak Lurah semakin terisak. Cak Dlahom tertunduk. Mat Piti semakin heran. Lalu berceritalah Pak Lurah.

Sehari sebelum sakit, usai waktu salat ashar, dia bertemu Cak Dlahom di kuburan. Tepatnya melihat Cak Dlahom di samping makam istri Bunali. Semula Pak Lurah mengabaikan Cak Dlahom karena sudah bukan rahasia, Cak Dlahom sering berada di kuburan. Tapi ketika dia melintas di jalan yang membelah kuburan, terdengar suara yang dia merasa ditujukan kepada dirinya. Agak kencang. “Hai orang kaya, apa yang akan kamu banggakan bila dirimu jadi penghuni kuburan ini?”

Pak Lurah menghentikan langkah. Dia mengenal suara itu. Suara Cak Dlahom. Tapi dia ragu karena melihat Cak Dlahom hanya duduk bersilah di samping kuburan istri Bunali. Sama sekali tak menoleh. Saat akan kembali melangkah, Pak Lurah kembali mendengar suara itu. Semakin keras. Mirip suara setengah berteriak. “Hai orang kaya, untuk apa rumah bagusmu jika nanti engkau juga jadi bangkai…”

Pak Lurah balik badan. Dia yakin itu suara Cak Dlahom. Tidak diragukan lagi. Dia segera mendatangi Cak Dlahom lalu menepuk pundak Cak Dlahom.

“Eh Pak Lurah. Tumben main ke kuburan? Silakan ikut bersilah…”

“Saya berdiri saja Cak. Saya cuma mau tahu, maksud sampean tadi apa?”

“Maksud apa Pak Lurah?”

“Tadi sampean kan bersuara, ‘Hai orang kaya…'”

“Loh sampean orang kaya tah?”

“Ya ndak begitu tapi sampean kayak nyindir saya…”

“Kok bisa sampean merasa tersindir?”

“Lah wong di kuburan ini tidak siapa-siapa lagi kecuali saya dan sampean…”

“Sudah merasa kaya, merasa tersindir, sekarang sampean merasa ada. Sampean itu siapa?”

“Saya Sidik Khairil, Lurah Desa Ndusel?”

“Yang mana yang Sidik Khairil?”

“Ya ini, saya ini…”

Pak Lurah menunjukkan jarinya ke dadanya tapi tidak dengan nada marah dan sombong seperti ketika beberapa hari sebelumnya saat dia marah pada Cak Dlahom karena bertanya bagian mana dari dirinya yang terbakar. Cak Dlahom cekikikan.

“Anak-anak juga tahu Pak Lurah, yang sampean tunjuk itu namanya dada.”

“Tapi saya Sidik Khairil Cak.”

“Sudah tak bisa menunjukkan yang mana Sidik Khairil, sampean sekarang juga merasa punya nama?”

“Memang itu nama saya. Orang tua saya yang memberikannya.”

“Itu menurut sampean Pak Lurah…”

Pak Lurah yang semula berdiri, sekarang ikut bersilah menghadap makam istri Bunali. Dia tak tahan. Penasaran. Cak Dlahom harus dikejar agar menjawab. Agar menjelaskan.

“Sudah Cak, saya nyerah. Tolong jelaskan saja. Saya mau belajar.”

“Sampean merasa kaya?”

“Ndak Cak.”

“Merasa ada? Merasa tersindir? Merasa punya nama?”

“Tidakkah manusia memang ada dan setiap orang memang punya nama Cak?”

“Saya tadi sudah bilang, tolong tunjukkan, di mana dan yang mana sampean, jika sampean benar ada.”

“Ya ini…”

Pak Lurah tak melanjutkan kalimatnya. Cak Dlahom cekikikan.

“Pak Lurah, manusia itu hanya bisa mengaku-aku ada. Mengaku-aku bisa berbuat. Mengaku-aku punya nama. Mengaku ini itu. Tapi semua hanya pengakuan karena mereka sebetulnya tidak ada dan tidak tahu kalau tidak ada.”

“Lah orang-orang di kampung ini, apa sampean anggap bukan manusia Cak?”

“Ya mungkin saja. Mungkin saja mereka kambing, kucing, curut… Tapi bukan itu yang saya maksud. Itu lain penjelasannya. Sampean nanti malah makin bingung dan makin banyak tanya.”

“Lalu apa Cak?”

Cak Dlahom memandang serius wajah Pak Lurah. Orang yang dipandang tertunduk.

“Sampean ndak lihat kuburan ini Pak Lurah?”

“Saya lihat Cak.”

“Apa yang sampean lihat?”

“Kuburan. Tempat manusia mati dikubur.”

“Pintar sampean. Dan kuburan ini isinya hanya bangkai. Bangkai yang tak mungkin disimpan bahkan oleh orang-orang yang sebelumnya mengaku paling mencintainya. Bangkai manusia yang ketika ruh masih melekat pada jasadnya, selalu merasa dan mengaku bisa berbuat. Merasa punya nama. Mengaku-aku ada. Padahal mereka semua tidak ada. Tak abadi kecuali hanya jadi bangkai, dimangsa cacing, ditelan tanah.”

Pak Lurah terdiam. Matahari menyiramkan semburat tembaga pada tanah pekuburan. Waktu buka akan menjelang. “Saya mengerti Cak.”

Cak Dlahom diam. Dan tetap diam ketika Pak Lurah berdiri dan berjalan meninggalkannya. Tapi baru beberapa langkah, Pak Lurah terpelanting karena tersandung batu nisan. Jatuh dengan bagian bokong terhujam ke batu nisan yang lain. Gedebuk…

Pak Lurah mengadu. Cak Dlahom bangkit dan berlari. Dia membopong Pak Lurah.

“Maafkan saya Pak Lurah. Saya selalu membuat sampean kepikiran…”

“Saya memang perlu diingatkan Cak. Ndak apa-apa.”

“Saya minta maaf. Saya janji akan pijat sampean…”

Keduanya berpisah di tepi kuburan. Azan magrib menjelang. “Begitulah ceritanya Bu, Mat…”

Mat Piti geleng-geleng. Pak Lurah berusaha bangun dari rebahannya. Istrinya merangkulnya. “Aku tak usah dibawa ke dokter Bu. Aku hanya perlu dipijat oleh Cak Dlahom. Iya kan Cak?”

Cak Dlahom manggut-manggut. Mat Piti bertambah keheranan. Cak Dlahom jadi berbeda. Jadi serius betul dan penurut.

 

[Diinspirasi dari kirah-kisah yang disampaikan Syeikh Maulana Hizboel Wathany Ibrahim]

Terakhir diperbarui pada 2 Juni 2017 oleh

Tags: bokongCak DlahomfeaturedKuburanmanusiaMat Pitisakit
Rusdi Mathari

Rusdi Mathari

Artikel Terkait

Pesan dari Nenek Tua 81 Tahun Asal Gunungkidul yang Tidak Pernah Sakit
Kilas

Pesan dari Nenek 81 Tahun Asal Gunungkidul yang Tidak Pernah Sakit

5 Agustus 2023
Benci dengan Tubuh Sendiri? Bisa jadi Kalian Mengalami Body Dysmorphic Disorder. MOJOK.CO
Kilas

Benci dengan Tubuh Sendiri? Bisa Jadi Kalian Mengalami Body Dysmorphic Disorder

17 Juni 2023
Kelompok Penyuka Kuburan Dan Nisan: Indonesian Graveyard
Movi

Kelompok Penyuka Kuburan dan Nisan: Indonesian Graveyard

7 Februari 2023
penyakit ain mojok.co
Kesehatan

Hati-hati Penyakit Ain! Berikut Ciri-cirinya Menurut Al-Qur’an dan Hadits

4 Januari 2023
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya

Yang Perlu Diperhatikan saat Buka Bersama Alumni Sekolah

Tinggalkan Komentar


Terpopuler Sepekan

Sejarah IPB Bogor yang Dulunya Fakultas di UI MOJOK.CO

Sejarah IPB Bogor yang Dulunya Fakultas di Kampus UI

25 September 2023
Achmad Husein Bupati Banyumas

Achmad Husein: Kisah Sukses di Balik Inovasi Teknologi Pengolahan Sampah Banyumas

29 September 2023
Jurusan manajemen.MOJOK.CO

Jurusan Manajemen: Materi Pembelajaran hingga Prospek Kerjanya

25 September 2023
Universitas Bhakti Kencana: Profil, Jurusan, dan Informasi Lengkap Lainnya MOJOK.CO

Universitas Bhakti Kencana: Profil, Jurusan, dan Informasi Lengkap Lainnya

25 September 2023
Di Jogja, Militer Mendukung G 30 S Hingga Menggeruduk Kantor Sri Sultan MOJOK.CO

Di Jogja, Militer Mendukung G 30 S hingga Menggeruduk Kantor Sri Sultan

29 September 2023
Jurusan Sastra Indonesia tapi Ada Mata Kuliah Belajar Bisnis: Wajarkah? MOJOK.Co

Jurusan Sastra Indonesia tapi Ada Mata Kuliah Belajar Bisnis: Wajarkah?

27 September 2023
Tanda-Tanda Ganjil Peti Mati yang Bakal Laku Buatan Tumiyo

Tanda-Tanda Ganjil Peti Mati yang Bakal Laku Buatan Tumiyo

25 September 2023

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Kanal Pemilu 2024
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Persona
    • Seni
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-Uneg
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In