MOJOK.CO – Andai zaman dulu ada aplikasi pesan keris, Ken Arok cukup kasih Mpu Gandring rating bintang satu dan kasih komen “not recommended”.
Berabad-abad sebelum dikenalnya ungkapan “konsumen adalah raja”, klien nyebelin plus kebanyakan nuntut seenak udelnya sendiri nyatanya sudah ada.
Satu contoh “terbaik” mengenai klien nyebelin bahkan sudah bisa kita temukan pada zaman masih berjayanya para raja di Jawa. Sosok yang saya maksud adalah Ken Angrok alias Ken Arok, tokoh legendaris dari era ketika daerah Malang masih menyandang nama Tumapel.
Pun, Anda semua yang punya dan mengelola usaha, entah itu layanan jasa semacam fotografi, videografi, desain grafis, desain web, hingga rancang cipta bangunan, ataupun jualan aneka barang secara daring maupun luring, mestinya akan sangat bisa berempati kepada apa yang dialami Mpu Gandring tatkala berurusan dengan Ken Arok.
Lha Ken Arok itu memesan keris bertuah unggul kepada Mpu Gandring atas saran ayah angkatnya, Bango Samparan. Semestinya kan pilihan ini disertai kesadaran dan pemahaman di pihak Arok bahwa sosok yang dipesannya keris itu seorang pandai senjata paling senior dan terkemuka di daerah Lulumbang. Tentunya Mpu Gandring adalah sosok yang peduli akan perihal menjaga mutu keris tempaannya.
Sudah dibilang sebenarnya oleh Mpu Gandring bahwa keris bertuah unggul seperti diminta Ken Arok membutuhkan waktu pengerjaan setidaknya setahun. Namun, Arok ngeyel menuntut supaya kerisnya dapat selesai dalam lima bulan saja, alias lebih cepat tujuh bulan dari seharusnya.
Konsumen dan pengorder yang tidak klop
Relasi antara Ken Arok sebagai konsumen pengorder keris dengan Mpu Gandring selaku pandai senjata yang kukuh tanpa kompromi menjaga standar tinggi pekerjaannya yah nyatanya tidak klop. Ujungnya malah berbuah petaka.
Lha Ken Arok yang bersumbu pendek ini malah menusuk Mpu Gandring secara fatal ketika keris pesanannya tetap tak bisa terselesaikan pada bulan kelima. Yang dipakai nusuk juga si keris pesanan yang masih di tahap dikerjakan Mpu Gandring.
Terbayang kan gimana sebal dan sesalnya Mpu Gandring ketika mendapati keris bikinannya justru ditikamkan klien ke dirinya? Sampai menghasilkan luka parah teramat menganga pula.
Saat menyadari bahwa kondisi dirinya terlalu buruk untuk dapat tertolong, mungkin Mpu Gandring sempat berpikir bahwa semestinya dia tidak menerima saja order dari Arok. Bikin repot dan bikin sial saja.
Andai Mpu Gandring menolak pesanan Ken Arok yang menuntutnya bisa merampungkan pembuatan keris dalam lima bulan, pada akhirnya yang paling repot ya Arok sebenarnya.
Belum pasti dia akan berhasil menemukan pandai senjata yang dapat mencipta keris sebagus ciptaan Mpu Gandring. Belum pasti juga Ken Arok akan memiliki gaman yang mempan untuk ditusukkan kepada Tunggul Ametung, atasan yang Arok khianati dan bahkan Arok rebut istrinya.
Sayang sekali, pada kurun hidup Ken Arok dan Mpu Gandring belum ada internet, gawai cerdas, hingga aneka-aneka aplikasi canggihnya. Andai pada tujuh abad silam itu sudah ada aplikasi pesan keris kan Arok bisa melampiaskan kejengkelannya kepada Mpu Gandring cukup dengan kasih rating sang empu dengan bintang satu, juga kasih komen “not recommended”.
Tak perlu ada itu kisah jengkel berujung pembunuhan.
Replikasi dan nubuat kutukan
Tragedi pemesanan keris dari klien berangasan yang sampai menewaskan Mpu Gandring tadi rasanya terbilang cukup diakrabi oleh banyak orang se-Indonesia. Ini karena dalam seratusan tahun terakhir kisah tersebut disebarluaskan dan direplikasi melalui berbagai jalur.
Masuknya kisah itu dalam pengajaran sejarah di sekolah sejak masa Hindia Belanda tentu merupakan salah satu faktor penting. Namun, tak kalah besar pengaruhnya adalah diadaptasinya kisah itu dengan disertai berbagai dramatisasi menjadi aneka lakon fiksi, baik itu yang disajikan secara tertulis, juga dipanggungkan sebagai sandiwara tradisional semacam ketoprak maupun sebagai aneka versi teater ala Barat, dan tentu saja yang dikemas sebagai suguhan audio visual moderen mulai dari sandiwara radio, film layar lebar, dan sinetron.
Sebagai versi lakon tertulis beberapa contohnya adalah Arok-Dedes karya Pramoedya Ananta Toer yang berformat novel, lalu Pelangi di Langit Singasari karya SH Mintardja yang berformat cerbung di koran dan kemudian menjadi serial novelet, juga Ken Arok versi komik dua seri karya Wid NS.
Jangan lupakan versi naskah drama Ken Arok & Ken Dedes dari 1934 yang merupakan karya tokoh pergerakan nasional sekaligus salah seorang mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Yamin. Sebagai film layar lebar ada Ken Arok-Ken Dedes produksi 1983 yang dibintangi George Rudy, Eva Arnaz, serta Advent Bangun.
Namun, muasal dari semua kisah tentang pembunuhan yang dilakukan Ken Arok terhadap Mpu Gandring adalah isi dari Pararaton. Kitab kuno Jawa warisan zaman Majapahit itu sendiri hasil tulisan antara 1481 sampai dengan 1603 Masehi, lalu diidentifikasi oleh peneliti R Friedrich di Bali pada 1840-an, lalu diteliti dan diterjemahkan ke bahasa moderen oleh JLA Brandes pada 1897.
Dalam Pararaton turut pula diceritakan bahwa Mpu Gandring sesaat sebelum mati, masih sempat mengucap kutukan kepada Ken Arok, kliennya yang tak tahu diri.
“Ki Arok, kang amateni ring tembe keris iku, anak-putunira mati dening kris iku, olih ratu pipitu tembe keris iku amateni.” (Bujang Arok, kelak kamu akan mati oleh keris itu, anak-cucumu akan mati oleh keris itu, tujuh orang raja akan mati oleh keris itu”).
Kutukan Mpu Gandring versi Pararaton tadi terbilang menghadirkan aroma magis kepada kisah hidup Arok maupun wangsa penguasa keturunannya, Rajasawangsa, yang menjadi para raja Jawa antara tahun 1200-an hingga 1500-an Masehi.
Menurut Pararaton, keris yang dipakai menikam mati Mpu Gandring lantas menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung dari matinya tujuh orang di sekitar Arok maupun para keturunannya. Daftarnya memang meliputi tujuh orang: Tunggul Ametung, Kebo Hijo, Ken Arok, Pengalasan dari Batil, Anusapati, Tohjaya, serta Kertanegara.
Namun, jika memadukan isi Pararaton dengan isi Prasasti Mula Malurung, maka daftar orang-orang yang meregang nyawa karena intrik politik perebut kekuasaan di Tumapel-Singhasari serta di dalam Wangsa Rajasa agak sedikit berbeda.
Daftarnya malah meliputi sembilan orang: Tunggul Ametung, Kebo Hijo, Ken Arok, Pengalasan dari Batil, Anusapati, Bhatara Parameswara/Mahisa Wongateleng, Guningbhaya, Tohjaya, serta Kertanegara.
Ini terkesan menunjukkan bahwa ucapan kutukan Mpu Gandring memang manjur, bahkan lebih dahsyat karena si keris yang belum sepenuhnya jadi itu ternyata tidak hanya meminta tumbal tujuh nyawa, tetapi sembilan orang. Meski, aslinya belum tentu demikian.
Apa yang ditulis Pararaton sebagai kutukan oleh Mpu Gandring dalam sakaratul mautnya sebenarnya belum tentu benar-benar ucapan Mpu Gandring. Ingat bahwa Pararaton nyatanya ditulis hampir tiga abad hingga empat abad setelah peristiwa pembunuhan Mpu Gandring oleh Ken Arok.
Bisa jadi apa yang selama ini kita kenal sebagai kutukan Mpu Gandring sebenarnya hanyalah sebentuk konklusi yang sangat didramatisasi tentang berdarah-darahnya pewarisan takhta Tumapel-Singhasari antara sekitar 1202 hingga 1292.
Dramatisasi yang dipilih oleh sang penulis Pararaton adalah memoles konklusinya dengan dikesankan bak suatu ramalan alias ramalan semu yang ditulis jauh setelah kejadian-kejadiannya. Kalau diberi kesan magis semacam itu, tulisan kan bakal terlihat lebih mentereng, menggetarkan, sekaligus membuat orang lebih mengingat ceritanya.
Ingat pula bahwa sosok Mpu Gandring maupun keris ampuh haus darah bikinannya sejatinya hingga sejauh ini tidak memiliki sumber rujukan kesejarahan lain di luar Pararaton.
BACA JUGA Ramalan Jayabaya Tidak Dibuat oleh Raja Jayabaya dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Yosef Kelik
Editor: Ahmad Khadafi