Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Mencontoh ke Prof. Sajogyo Caranya Bikin Solusi Pengentasan Kemiskinan

Ciptaningrat Larastiti oleh Ciptaningrat Larastiti
24 Agustus 2020
A A
melihat akar kemiskinan statement muhadjir effendy riset gizi dan kemiskinan petani perdesaan prof sajogyo mojok.co

melihat akar kemiskinan statement muhadjir effendy riset gizi dan kemiskinan petani perdesaan prof sajogyo mojok.co

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Masih sebel sama pejabat yang kalau ngomongin akar kemiskinan, kok nggak pernah ada bener-benernya. Nyakitin semua! Nyakitin!!!11!

Di saat banyak orang galau karena takut (atau malah sudah kena) dampak ekonomi pandemi, entah dirumahkan, di-PHK, omzet jualan turun, nggak bisa jualan lagi; di saat sebagian besar warga +62 panik, takut terpeleset jadi new poor in new normal, tiba-tiba seorang menteri koordinator bikin lawakan. Tapi nggak lucu.

Kejadiannya sudah lewat beberapa minggu, tapi rasa takjub ini masih tak habis-habis. Mestinya Anda-anda juga belum lupa, beberapa waktu lalu Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bersabda bahwa pernikahan antarorang miskin menambah deret angka keluarga miskin di Indonesia.

“Sesama keluarga miskin besanan, kemudian lahirlah keluarga miskin baru,” katanya.

Lontaran ini agak dahsyat bukan karena berakhir dengan bullying nasional oleh warganet, melainkan karena Pak Muhadjir udah dua kali ngomong persis begini, dan dua-duanya di-bully semua. Yoi, kutipan barusan itu pengulangan aja dari pernyataan Muhadjir pada Februari lalu yang mana saat itu ia berkata:

“Mbok disarankan sekarang dibikin Pak Menteri Agama ada fatwa: yang miskin wajib cari yang kaya, yang kaya cari yang miskin.” Terus dilanjut dengan, “Jadi kalau ada ajaran agama mencari jodoh yang se-kufu, ya otomatis yang miskin cari yang miskin. Karena sama-sama miskin, lahirlah keluarga miskin baru. Inilah problem di Indonesia.”

Tuh, persis kan. Bapak ini nggak ada kapok-kapoknya emang.

Sembari mengernyitkan dahi, mungkin kita bisa bertanya-tanya, dari mana gerangan inspirasi ucapan dagelan ini? Saya ingin berprasangka baik, ah mungkin bercanda. Tapi kalau dianggap bercanda kok, malah semakin tidak bisa dibenarkan.

Pertama, lha ya masa kemiskinan dan kelaparan yang masalahnya struktural sejak zaman Saijah-Adinda di Max Havelaar dibawa-bawa jadi masalah personal? Apakah rekomendasi strategisnya nanti adalah pembentukan lembaga ad hoc dengan tupoksi sebagai biro jodoh untuk mempertemukan si kaya dan si miskin? Jika demikian, silakan Bapak Menko duluan memberi contoh. Awas kalau anak-cucunya mbesok nikah sama orang kaya lho ya.

Kedua, entah dari mana Pak Profesor Doktor Muhadjir Effendy beroleh gagasan bahwa akar kemiskinan adalah karena yang miskin kawin dengan yang miskin sehingga nasib hidup muter-muter di situ. Kelihatannya kok, di antara seabrek rekomendasi para sarjana maupun buku-buku berhaluan Kanan, Kiri, tengah, belum pernah ada tuh saran terkait preferensi menikah sebagai strategi pengentasan kemiskinan. Apalagi di kalangan cendekiawan, masalah ini selalu menjadi masalah kemanusiaan yang dibahas serius dan didiskusikan dengan empati mendalam, bukan sambil guyon. Dan soal ini, Pak Muhadjir dan kita-kita (yang mungkin pernah tergoda memvonis kemelaratan sebagai akibat perilaku malas atau mengira orang miskin punya fetish ke sesama orang miskin) perlu belajar ke sosiolog perdesaan Almarhum Prof. Sajogyo lah. Harapannya, kelak kita tahu bahwa melihat kemiskinan itu ujung pangkalnya harus jelas, serta empati tak boleh terlupa.

Dari membacai tulisan-tulisan lama Sajogyo, saya merasai beliau dapat memahami kemiskinan melampaui apa yang dilakukan pemerintah dengan kacamata “daya beli masyarakat”-nya.

(Jangan heran, saat ancaman resesi di depan mata, strategi pertama yang diambil pemerintah adalah membagi uang untuk dibelanjakan. Sebab, ketakutan pemerintah bukan pada rakyat yang tidak bisa produktif bekerja, melainkan pada kemerosotan daya beli. Makanya Bapak Menko bisa nyeletuk, orang kaya menikahlah dengan orang miskin. Mungkin dengan harapan, agar si miskin bisa belanja ini-itu. Kalau nggak bisa, ya setidaknya, si kaya jadi investor deh biar bisa kasih lapangan kerja murah meriah buat si miskin.)

Padahal ada cara lain untuk melihat kemiskinan agar tidak terjebak pada ucapan-ucapan elite yang nirempati. Tampaknya, tidak pernah terlintas di benak para elite, intinya inti dari jadi miskin adalah mengalami rasa lapar yang diikuti dengan ketidakpastian seseorang akan makan apa hari itu. Tepat di poin inilah Sajogyo melihat kemiskinan melalui beragam riset panjangnya selama periode emas Orde Baru.

Dimulai dari rasa lapar, Sajogyo mengambil sudut pandang pemenuhan gizi keluarga sesuai dengan imbalan kerja yang didapat.

Iklan

Selama periode 1972-1974, ia melakukan penelitian evaluasi Program Perbaikan Gizi Keluarga di Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok. Penelitian ini menggambarkan, ada 79 persen keluarga kurang pangan dengan serapan kalori hanya 1.469 kalori dan protein 37,8 gram per orang setiap harinya. Sementara keluarga cukup pangan yang mendapat asupan 2.073 kalori dan 53,6 gram protein per orang setiap harinya hanya sebesar 21 persen.

Jika dipilah-pilah lagi, distribusi ketidakcukupan pangan ini cenderung memberatkan ibu dan anak. Di beberapa daerah, keadaan ini belum tentu membaik. Barangkali justru semakin buruk karena daya dukung lingkungan tidak memungkinkan pangan keluarga bisa didapat dengan mudah. Belum lagi jika hubungan antara perempuan dan lelaki di dalam keluarga sangat timpang, memberatkan istri yang mesti memastikan satu keluarga bisa makan meski dia sendiri akhirnya mengalah dan tidak makan.

Dengan pangkal seperti demikian, maka saat itu strategi paling mendesak yang ditawarkan Sajogyo adalah pembentukan Taman Gizi. Tujuannya untuk menyediakan makanan bergizi terutama bagi anak-anak dan memberikan penyuluhan gizi bagi para ibu. Sajogyo juga mengusulkan konsumsi tempe sebagai sumber protein murah guna mencukupi kebutuhan gizi keluarga miskin.

Dari rasa lapar ini pula, Sajogyo bisa melihat lebih tajam bahwa jumlah kalori yang didapat keluarga miskin tidak sebanding dengan imbalan kerja setiap harinya. Imbalan kerja ini bukan semata-mata bicara pendapatan, tetapi juga penguasaan terhadap tanah sebagai alat produksi. Pada 1989, Sajogyo pernah menuliskan dengan tegas bahwa ketimpangan kepemilikan tanah merupakan hal mencolok saat bicara kemiskinan.

Mundur ke 1978, Sajogyo mengkritik bahwa kredit dan teknologi modernisasi pertanian hanya bisa memakmurkan petani dengan kepemilikan tanah 1,2 hektare yang notabene dianggap Bank Dunia sebagai petani kecil. Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,25 hektare serta para buruh tani sudah tentu tidak bisa menjangkaunya. Padahal kelompok yang disebut terakhir ini jumlahnya paling besar dan terus berlipat ganda hingga hari ini.

Kelompok petani gurem dan yang tak bertanah ini juga yang mempraktikkan pola nafkah berganda untuk bisa memenuhi makanan pokoknya. Di samping bekerja di sektor pertanian, seluruh anggota keluarga juga harus bekerja sebagai buruh serabutan dengan upah harian. Bahkan, anak-anak di atas usia enam tahun diikutsertakan untuk ikut membantu pekerjaan rumah tangga.

Sebenarnya, kita sudah menyimpan sumber daya luar biasa banyak untuk memahami kemiskinan dengan penuh empati. Kalau tidak sempat ya, tinggal minta tenaga ahli maupun ahli yang tidak bertenaga (demikian canda salah satu teman) untuk meninjau materi yang sudah seabrek. Tentu tidak berat. Bapak Menko hanya butuh sikap rendah hati dalam menyelami perasaan dan keadaan orang miskin. Kemiskinan itu bukan masalah dapat jodoh kaya atau miskin, tapi soal bagaimana negara mau menjamin akses kecukupan pangan, pendidikan, dan produktivitas rakyat.

Ckckck, saya masih nggak habis pikir, bekas ketua PP Muhammadiyah, organisasi yang sejak lama sudah berperan membantu pemerataan Pendidikan di Indonesia, bisa membayangkan kemiskinan sesederhana itu. Hih.

BACA JUGA Solusi Dahsyat Keluar dari Kemiskinan versi Fadjroel Rachman 

Terakhir diperbarui pada 24 Agustus 2020 oleh

Tags: kemiskinanmuhadjir effendyorang miskinsajogyo
Ciptaningrat Larastiti

Ciptaningrat Larastiti

Ibu muda, peneliti sosial, tinggal di lereng Merapi

Artikel Terkait

Raya, bocah asal Sukabumi yang meninggal karena cacing gelang. Sempat ditolong rumah teduh. MOJOK.CO
Catatan

Pesan Raya dari Surga: Jangan Pernah Hilang Empati terhadap “Orang Miskin” karena Pemerintah Mengabaikanmu

23 Agustus 2025
Upaya Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, entaskan kemiskinan di Jateng MOJOK.CO
Kilas

Target Gubernur: Tak Ada Warga Jawa Tengah yang Terbelenggu Kemiskinan Bertahun-tahun

24 Juli 2025
kemiskinan orang miskin dilarang punya anak banyak mojok.co
Mendalam

Kemiskinan Membunuhmu, Pemerintah Mengabaikanmu

8 Juli 2025
Penjual Es Buah dengan Pesugihan Anjing Hitam di Samping Kios MOJOK.CO
Malam Jumat

Penjual Es Buah dengan Pesugihan Anjing Hitam di Samping Kios

7 Juli 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.