MOJOK.CO – Masih sebel sama pejabat yang kalau ngomongin akar kemiskinan, kok nggak pernah ada bener-benernya. Nyakitin semua! Nyakitin!!!11!
Di saat banyak orang galau karena takut (atau malah sudah kena) dampak ekonomi pandemi, entah dirumahkan, di-PHK, omzet jualan turun, nggak bisa jualan lagi; di saat sebagian besar warga +62 panik, takut terpeleset jadi new poor in new normal, tiba-tiba seorang menteri koordinator bikin lawakan. Tapi nggak lucu.
Kejadiannya sudah lewat beberapa minggu, tapi rasa takjub ini masih tak habis-habis. Mestinya Anda-anda juga belum lupa, beberapa waktu lalu Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bersabda bahwa pernikahan antarorang miskin menambah deret angka keluarga miskin di Indonesia.
“Sesama keluarga miskin besanan, kemudian lahirlah keluarga miskin baru,” katanya.
Lontaran ini agak dahsyat bukan karena berakhir dengan bullying nasional oleh warganet, melainkan karena Pak Muhadjir udah dua kali ngomong persis begini, dan dua-duanya di-bully semua. Yoi, kutipan barusan itu pengulangan aja dari pernyataan Muhadjir pada Februari lalu yang mana saat itu ia berkata:
“Mbok disarankan sekarang dibikin Pak Menteri Agama ada fatwa: yang miskin wajib cari yang kaya, yang kaya cari yang miskin.” Terus dilanjut dengan, “Jadi kalau ada ajaran agama mencari jodoh yang se-kufu, ya otomatis yang miskin cari yang miskin. Karena sama-sama miskin, lahirlah keluarga miskin baru. Inilah problem di Indonesia.”
Tuh, persis kan. Bapak ini nggak ada kapok-kapoknya emang.
Sembari mengernyitkan dahi, mungkin kita bisa bertanya-tanya, dari mana gerangan inspirasi ucapan dagelan ini? Saya ingin berprasangka baik, ah mungkin bercanda. Tapi kalau dianggap bercanda kok, malah semakin tidak bisa dibenarkan.
Pertama, lha ya masa kemiskinan dan kelaparan yang masalahnya struktural sejak zaman Saijah-Adinda di Max Havelaar dibawa-bawa jadi masalah personal? Apakah rekomendasi strategisnya nanti adalah pembentukan lembaga ad hoc dengan tupoksi sebagai biro jodoh untuk mempertemukan si kaya dan si miskin? Jika demikian, silakan Bapak Menko duluan memberi contoh. Awas kalau anak-cucunya mbesok nikah sama orang kaya lho ya.
Kedua, entah dari mana Pak Profesor Doktor Muhadjir Effendy beroleh gagasan bahwa akar kemiskinan adalah karena yang miskin kawin dengan yang miskin sehingga nasib hidup muter-muter di situ. Kelihatannya kok, di antara seabrek rekomendasi para sarjana maupun buku-buku berhaluan Kanan, Kiri, tengah, belum pernah ada tuh saran terkait preferensi menikah sebagai strategi pengentasan kemiskinan. Apalagi di kalangan cendekiawan, masalah ini selalu menjadi masalah kemanusiaan yang dibahas serius dan didiskusikan dengan empati mendalam, bukan sambil guyon. Dan soal ini, Pak Muhadjir dan kita-kita (yang mungkin pernah tergoda memvonis kemelaratan sebagai akibat perilaku malas atau mengira orang miskin punya fetish ke sesama orang miskin) perlu belajar ke sosiolog perdesaan Almarhum Prof. Sajogyo lah. Harapannya, kelak kita tahu bahwa melihat kemiskinan itu ujung pangkalnya harus jelas, serta empati tak boleh terlupa.
Dari membacai tulisan-tulisan lama Sajogyo, saya merasai beliau dapat memahami kemiskinan melampaui apa yang dilakukan pemerintah dengan kacamata “daya beli masyarakat”-nya.
(Jangan heran, saat ancaman resesi di depan mata, strategi pertama yang diambil pemerintah adalah membagi uang untuk dibelanjakan. Sebab, ketakutan pemerintah bukan pada rakyat yang tidak bisa produktif bekerja, melainkan pada kemerosotan daya beli. Makanya Bapak Menko bisa nyeletuk, orang kaya menikahlah dengan orang miskin. Mungkin dengan harapan, agar si miskin bisa belanja ini-itu. Kalau nggak bisa, ya setidaknya, si kaya jadi investor deh biar bisa kasih lapangan kerja murah meriah buat si miskin.)
Padahal ada cara lain untuk melihat kemiskinan agar tidak terjebak pada ucapan-ucapan elite yang nirempati. Tampaknya, tidak pernah terlintas di benak para elite, intinya inti dari jadi miskin adalah mengalami rasa lapar yang diikuti dengan ketidakpastian seseorang akan makan apa hari itu. Tepat di poin inilah Sajogyo melihat kemiskinan melalui beragam riset panjangnya selama periode emas Orde Baru.
Dimulai dari rasa lapar, Sajogyo mengambil sudut pandang pemenuhan gizi keluarga sesuai dengan imbalan kerja yang didapat.
Selama periode 1972-1974, ia melakukan penelitian evaluasi Program Perbaikan Gizi Keluarga di Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok. Penelitian ini menggambarkan, ada 79 persen keluarga kurang pangan dengan serapan kalori hanya 1.469 kalori dan protein 37,8 gram per orang setiap harinya. Sementara keluarga cukup pangan yang mendapat asupan 2.073 kalori dan 53,6 gram protein per orang setiap harinya hanya sebesar 21 persen.
Jika dipilah-pilah lagi, distribusi ketidakcukupan pangan ini cenderung memberatkan ibu dan anak. Di beberapa daerah, keadaan ini belum tentu membaik. Barangkali justru semakin buruk karena daya dukung lingkungan tidak memungkinkan pangan keluarga bisa didapat dengan mudah. Belum lagi jika hubungan antara perempuan dan lelaki di dalam keluarga sangat timpang, memberatkan istri yang mesti memastikan satu keluarga bisa makan meski dia sendiri akhirnya mengalah dan tidak makan.
Dengan pangkal seperti demikian, maka saat itu strategi paling mendesak yang ditawarkan Sajogyo adalah pembentukan Taman Gizi. Tujuannya untuk menyediakan makanan bergizi terutama bagi anak-anak dan memberikan penyuluhan gizi bagi para ibu. Sajogyo juga mengusulkan konsumsi tempe sebagai sumber protein murah guna mencukupi kebutuhan gizi keluarga miskin.
Dari rasa lapar ini pula, Sajogyo bisa melihat lebih tajam bahwa jumlah kalori yang didapat keluarga miskin tidak sebanding dengan imbalan kerja setiap harinya. Imbalan kerja ini bukan semata-mata bicara pendapatan, tetapi juga penguasaan terhadap tanah sebagai alat produksi. Pada 1989, Sajogyo pernah menuliskan dengan tegas bahwa ketimpangan kepemilikan tanah merupakan hal mencolok saat bicara kemiskinan.
Mundur ke 1978, Sajogyo mengkritik bahwa kredit dan teknologi modernisasi pertanian hanya bisa memakmurkan petani dengan kepemilikan tanah 1,2 hektare yang notabene dianggap Bank Dunia sebagai petani kecil. Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,25 hektare serta para buruh tani sudah tentu tidak bisa menjangkaunya. Padahal kelompok yang disebut terakhir ini jumlahnya paling besar dan terus berlipat ganda hingga hari ini.
Kelompok petani gurem dan yang tak bertanah ini juga yang mempraktikkan pola nafkah berganda untuk bisa memenuhi makanan pokoknya. Di samping bekerja di sektor pertanian, seluruh anggota keluarga juga harus bekerja sebagai buruh serabutan dengan upah harian. Bahkan, anak-anak di atas usia enam tahun diikutsertakan untuk ikut membantu pekerjaan rumah tangga.
Sebenarnya, kita sudah menyimpan sumber daya luar biasa banyak untuk memahami kemiskinan dengan penuh empati. Kalau tidak sempat ya, tinggal minta tenaga ahli maupun ahli yang tidak bertenaga (demikian canda salah satu teman) untuk meninjau materi yang sudah seabrek. Tentu tidak berat. Bapak Menko hanya butuh sikap rendah hati dalam menyelami perasaan dan keadaan orang miskin. Kemiskinan itu bukan masalah dapat jodoh kaya atau miskin, tapi soal bagaimana negara mau menjamin akses kecukupan pangan, pendidikan, dan produktivitas rakyat.
Ckckck, saya masih nggak habis pikir, bekas ketua PP Muhammadiyah, organisasi yang sejak lama sudah berperan membantu pemerataan Pendidikan di Indonesia, bisa membayangkan kemiskinan sesederhana itu. Hih.
BACA JUGA Solusi Dahsyat Keluar dari Kemiskinan versi Fadjroel Rachman