MOJOK.CO – Alasan sebuah RSUD menerapkan prinsip syariah berupa mahram yang boleh nungguin orang sakit, membuat saya keheranan sendiri.
Masih aja ramai, sliweran di media sosial, perkara salah satu rumah sakit daerah, yang notabene rumah sakit plat merah, alias rumah sakit umum milik negara, tapi memberlakukan prinsip syariah, dengan tambahan peraturan bahwa pasien perempuan harus ditunggui oleh perempuan, dan pasien lelaki harus ditunggu pula oleh saudaranya yang lelaki. Pokoknya, dilarang nungguin orang sakit kalau bukan mahramnya.
Camkeun itu, Bambang. Kalau masih pacaran, nggak usah sok-sok manis nungguin pacar yang lagi sakit ya, bukan mahram!
Sebenernya, buat saya yang jelas dianggap kafir ini, perkara embel-embel syariah buat rumah sakit, sih monggo saja, tapi ya dengan catatan: janganlah dipakai untuk rumah sakit plat merah, alias rumah sakit milik negara, yang jelas-jelas dibiayai juga pakai pajak yang dibayarkan kepada negara.
Soalnya, kalau ngomongin negara, ya jelas-jelas ngomongin warga negara yang beraneka jenis macamnya, nggak hanya satu agama saja.
Kalau sudah begitu, apa iya masih mau maksa nerapin hukum agama untuk semua pasien, sementara pasiennya jelas-jelas beraneka warna, tak hanya mengenal satu agama, satu suku, satu piring berdua? Eh. Ya, kan, nggak mungkin juga, nolak pasien hanya karena beda agama? Ada sumpah dokter, loh. Belum lagi yang namanya tenaga medis—mana boleh pilih-pilih pasien? Dikira lagi milih beli baju gitu?
Lagian, alasan RSUD tersebut menerapkan prinsip syariah tersebut sebenarnya agak aw aw gimana gitu. Ya bukan apa-apa, alasannya kok katanya biar nggak ada cerita ahik-ahik antara pasien dengan yang nungguin. Masa ampun bingit, kan, alesannya?
Masa iya, sih, kita masih sempet mikir ahik-ahik, masih sempet horny, ngeliat orang yang lagi berjuang antara hidup dan mati??? Bayangin aja, nungguin orang sakit yang ngegeletak di atas tempat tidur, dengan segala campur aduk bau obat, disertai hiasan selang infus atau kateter yang berseliweran di tubuh pasien, apa iya kita masih bisa horny?
Ini kita lagi ngomongin orang sakit, loh. Sakit beneran pula, bukan sakit rindu kaya si Dilan itu. Boro-boro kepikiran ahik-ahik alias wik wik wik, nungguin orang sakit aja pasti menguras energi yang nggak sedikit karena harus siap jiwa raga jika sewaktu-waktu kondisi pasien yang kita tunggu malah nge-drop. Belum lagi, kalau obat yang harus diminum pasien nggak lengkap, atau saat pasien butuh tranfusi darah juga!
Selain itu, ada juga pasien dengan penanganan khusus, dengan segala selang oksigen, juga makanan cair plus kateter. Biasanya, pasien yang seperti ini, lengkap pula dengan EKG yang secara teratur menampilkan kondisi detak jantung si pasien. Kalian tahu, kan, yang hasil pengukurannya mirip-mirip sama seismograf pengukur gempa?
Nah, melihat pasien dengan penanganan khusus semacam itu, apa iya kita nggak melas?
Atau mungkin, coba deh, tengok ke bangsal rumah sakit yang khusus mengurus pasien orthopedi. Perhatikan: segala macam cerita patah tulang ada di sana. mulai dari yang retak ringan di tangan, sampai yang dipasang pen di sekeliling leher ala jeruji sepeda. Yang lukanya “sekadar” dibalut elastis bandage, sampai yang digips atau diperban full ala mumi, juga ada.
Ini belum ngomongin yang harus diamputasi bagian tubuhnya, lo, ya. Jujur aja, ngebayanginnya pun membuat perut saya mulas tak karuan. Ha piye, saya sempat, dua tahun berturut-turut, kencan sama dokter orthopedi. Jadi, yang namanya pasien model apa saja di bangsal orthopedi, saya sudah kenyang.
Lah, kalau sudah menghadapi kondisi pasien semacam itu, apa iya sih, yang nungguin orang sakit masih bisa horny, lalu mikir ahik-ahik sama si pasien, sampai-sampai harus dikenai prinsip syariah? Kan aneh—ngomongin nafsu kok di rumah sakit? Kecuali, memang rumah sakitnya menyediakan tempat khusus ala-ala hotel buat short timer-an lah, mungkin beda perkara.
Ini kan kita lagi ngomongin rumah sakit, yang bau pembersih ruangannya aja menyengat setengah mati, lengkap dengan wajah-wajah gloomy para pengunjung. Jarang ada yang cerah ceria, riang gembira, kayak anak TK lagi tamasya.
Bahkan, di bangsal anak sekalipun, jarang juga ada pasien anak yang riang gembira. Rata-rata, ya, adanya wajah-wajah memelas, bocah-bocah kecil dengan jarum infus di tangannya, bersama dengan orang tua yang sedang menunggui dengan senyum yang dipaksakan. Orang tua mana sih, yang senang melihat anaknya sakit?
Perkara menjaga dan nungguin orang sakit, terkadang bahkan dilimpahkan ke orang lain, bukan keluarga si pasien sendiri. Dalam hal ini, ada banyak alasan: bisa jadi, si keluarga memang berada di luar kota, masih dalam perjalanan pulang, sementara si sakit harus cepat-cepat dibawa ke rumah sakit.
Mungkin juga, ada pekerjaan yang tak bisa ditinggal, menyebabkan waktu menunggui si sakit jadi terbatas. Atau bisa jadi pula, si sakit memang sudah sebatang kara, tak ada saudara, tak ada sesiapa yang bisa diminta tolong. Lalu, tetangga dengan sukarela mengulurkan tangan, menolongnya, membawa ke rumah sakit dan merawatnya. Kalau sudah begitu, apa iya tetap harus dibatasi dengan aturan mahram?
Kadang saya suka heran dengan aturan prinsip syariah semacam ini, yang diberlakukan dengan alasan (lagi-lagi nggak jauh-jauh dari) agar tak terjadi hal-hal mesum, alias selangkangan. Kenapa sih, bukan aktivitas si otak yang diajari agar tak melulu berpikiran mesum, alih-alih terus-terusan membatasi gender antara lelaki dan perempuan?
Kita hidup di dunia yang memang berwarna, kok—nggak hanya ada lelaki, pun nggak terbatas hanya ada perempuan. Lagi pula, kita diciptakan untuk saling mengenal satu sama lain—nggak harus lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan saja. Nanti, kalau ada lelaki dan lelaki, atau sesama perempuan yang saling naksir lalu jatuh cinta karena ketemunya itu-itu melulu, pasti dianggap salah lagi.
Jadi, mbok sudahlah. Sudah, yang namanya rumah sakit, seharusnya memang menjadi tempat agar si sakit bisa berobat dengan tenang dan si penyakit pergi tanpa enggan. Nggak perlulah menambah kerempongan karena harus memikirkan prinsip syariah untuk nungguin orang sakit. Yang ada, bukannya meringankan beban keluarga pasien, tapi ia malah menambah beban.
Sementara itu, saya belum pernah dengar juga, sih, ada kasus pemerkosaan yang terjadi, di rumah sakit, yang dilakukan oleh pasien dan penunggunya. Kecuali, di film Kill Bill, di mana The Bride-nya, alias Uma Thurman, diperkosa oleh perawatnya sendiri, berulang kali.
Itupun hanya di film. Kalau di kehidupan nyata, apa ya mungkin tega melihat orang lagi sekarat kok diperkosa? Memangnya situ keturunan dukun AS dari Sumatra?
Lagian, apa sempet horny, ya, kalau di rumah sakit? Lah wong kadang-kadang lihat biaya tagihan rumah sakit saja sudah bisa bikin impoten duluan!