Membaca Wahabi dalam Isu Pilpres 2019

MOJOK.COIsu Wahabi bisa dijadikan ‘gorengan kriuk’ dalam Pilpres 2019 mendatang. Namun, apakah pemahaman kita terhadap Wahabi ini sudah benar adanya?

Pilpres 2019 kian mendekat. Permainan isu bakal lebih sengit lagi dan bakal makin jorjoran. Salah satu isu yang mungkin bakal digoreng pada Pilpres mendatang adalah isu Wahabi. Hmm, gini yaa bapak ibu, sebetulnya secara prinsip gerakan Wahabi yang resmi adalah mereka menjauhi hal-hal yang sifatnya politik praktis. Pernah ada rekaman video tentang salah satu ustaz Wahabi yang ditanya mengenai gerakan hastag 2019 ganti Presiden di dalam majelisnya. Menariknya, justru sang ustaz menunjukan ekspresi ketidaksetujuan mengenai hal tersebut.

Pasalnya, para asatid atau ustaz-ustaz Wahabi selalu mengajak agar umat Islam kembali ke majelis ilmu, dan jangan terlalu ikut terlibat ke dalam dunia politik yang memang penuh intrik. Jadi jelas ya, jika sikap mereka memang seperti itu. Lagian kenapa sih, kalau memang salah satu paslon dekat dengan Wahabi?

Ya, Wahabi kan tukang nyalah-nyalahin!

Sebetulnya bukan nyalahin. Hanya memberikan perspektif berbeda dari sisi pendalilan. Lagian masalah “nyalah-nyalahin” udah banyak kok di kitab para ulama.

Contohnya Al-Baihaqi. Salah seorang ulama hadis dari mazhab Syafii pada masanya berdiri, menulis beberapa kitab yang berisi hadis-hadis yang dipakai oleh ulama-ulama Syafii. Karena sebelumnya banyak yang bilang kalau ulama Syafii nggak berdalil dengan hadis.

Setelah Al-Baihaqi, ada lagi yang namanya Ibnu Turkumani yang juga mengarang kitab “menyerang” Al-Baihaqi karena beliau dianggap telah membicarakan seorang ulama kenamaan dari mazhab Hanafi yang bernama At-Thohawi.

Kitab-kitab yang bertema “Taaqubat atau Istidrok” alias kritik antara mereka dan satu sama lainnya sangat amat banyak menghiasi khazanah klasik dunia literasi keislaman.

Ada lagi Az-Zaila’iy yang mengarang kitab dan kalau dibaca judulnya aja, sekilas bukan seperti kitab tentang fiqih hadis tapi lebih mirip dengan kitab strategi perang. Judulnya adalah “Nashbu Royah” yang artinya kurang lebih “pengibaran panji perang”. Kalau kita buka satu per satu halamannya, di situ beliau sering menuliskan ungkapan “Ahaditsu Al-Khosm” yang artinya hadis-hadis yang dipakai pihak musuh.

Siapa yang dimaksud musuh? Tak lain dan tak bukan orang-orang yang membantah dalil-dalil mereka utamanya kelompok ahli fiqih mazhab Syafii.

Tapi, apa ya mereka musuhan beneran? Yang jelas Az-Zaila’iy pernah bersama-sama duduk bareng dengan Al-Iroqi—yang merupakan pemuka mazhab Syafii pada masanya—untuk menyusun sebuah karya tulis.

Lagian katanya jangan baperan? Dibilang salah kayak gitu aja kok langsung mencak-mencak. Karya dibalas karya dong~

Ta… Tapi Wahabi kan sarangnya terorisme?

Hmmm, sepertinya nggak pada baca berita kali ya? Justru di Saudi ini yang merupakan entitas politiknya Wahabi, ada salah satu pusat penanggulangan terorisme terbesar di dunia. Pernah ada kejadian di asrama kami—asramanya para mahasiswa. Ada satu mahasiswa yang berasal dari barat. Sebut aja nama negaranya Kanada. Nah si bule nekat ini ketika siang-siang pernah menempel sebuah stiker bendera ISIS atau Al-Qaeda. Pokoknya menempel bendera-bendera hitam itu di kompleks atau area asrama. Aksinya ini akhirnya ketahuan dan dia dilaporkan ke pihak kampus.

Yang kami nggak tahu, ternyata laporan ini diteruskan ke pihak kemanan setempat. Walhasil tengah malamnya, si bule ini dicyduq oleh detasemen anti terornya Saudi. Jadi pihak polisi sengaja menunda sampai malam harinya supaya nggak terlalu memancing keramaian dari para mahasiswa.

Kalau di level nasional, kita punya Ustadz Abdurohman Ayyub yang menjadi salah satu staff ahli BNPT atau Badan Nasional Penanggulangan Tjinta eh Teror. Selain itu, dalam banyak video ceramah mereka, para ustaz Wahabi juga selalu mengecam tindak terorisme dan mengajak kaum muslimin untuk bersikap lemah lembut, kok. Terus, yang jadi sarang terorisme di mananya?

Ah, Wahabi kan suka ambil masjid.

Hei Kisanak, kalau kamu memang nggak pernah atau jarang-jarang salat jemaah di masjid, ya jangan salahin pemuda-pemuda Wahabi yang rajin ke masjid lalu perlahan dipercaya oleh warga hingga kemudian jadi imam dan pengurus, dong. Ibarat kamu ngincer perempuan nih, ya dijaga baik-baik kalau perlu datang langsung ke rumahnya dan minta restu sama orang tuanya. Jangan hanya klaim bahwa ini fulanah calon gue, terus pas ada yang dateng duluan mencak-mencak~

Oh ya, jangan mudah juga menganggap semua orang yang belajar di tempat milik Kerajaan Saudi jadinya dianggap sebagai Wahabi? Padahal kan, kalau mau dibaca lagi, banyak alumni kampus-kampus Saudi yang jauh dari kata Wahabi.

Sebut saja, ada KH Ali Mustofa Yaqub yang bahkan beliau menulis sebuah kitab persamaan antara NU dan Wahabi. Ada KH Said Aqil Siroj yang saat ini menjadi Ketua PBNU. Ada juga KH Said Aqil Munawar mantan Menag era Gus Dur, dan KH Maftuh Basyuni mantan menag era SBY. Bahkan Ulil Abshor yang dulu terkenal karena gebrakan ide-ide keislamannya juga pernah nyantri di LIPIA yang merupakan kampus milik Saudi.

Saya pernah tiba-tiba ditanya, “Mas, sampeyan Wahabi ya?” pas lagi duduk-duduk di masjid Nabawi. Saya bingung, kenapa si Bapak dengan begitu mudahnya men-judge seperti itu ketika saya bilang bahwa saya mahasiswa di Saudi.

Tapi ya, saya terima saja. Saya anggap sebagai risiko pekerjaan. Toh, saya sendiri sebetulnya juga sudah sangat menginginkan dipanggil Wahabi. Yakni, ketika kamu (iya kamu) bilang ke aku:

“Wah Abiiii, udah pulang? Capek ya. Siniii adek pijitin….”

Exit mobile version