Review Buku “Mentalitet Korea, Jalan Ksatria Komandan Bambang Pacul”: Membaca Bambang Pacul dari Angkasa

Membaca Bambang Pacul dari Angkasa MOJOK.CO mentalitet korea

Ilustrasi Membaca Bambang Pacul dari Angkasa. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COBambang Pacul mengajak kaum korea untuk berpihak kepada kaum miskin dan membantunya. Melenting, menggantungkan cita-cita setinggi langit.

Che Guevara kecewa, ketika mendatangi Kongo untuk membantu para gerilya. Kekecewaan Che beralasan, karena para gerilya itu tidur di hotel dan makan di restoran. Lalu, siapa yang membayar mereka hidup mewah itu? Tak lain, petani miskin.

Che, yang berhasil memimpin revolusi di Kuba, membuat perjanjian dengan Fidel Castro. Kata Che, dia tak akan lama menjadi menteri di Kuba. Dia akan berada di mana revolusi sedang bergejolak.

Che terbang ke Kongo dan mengajak para gerilya masuk hutan. Para gerilya pesimis, makan apa di hutan? Che, anjurkan, makan apa saja yang ada. Mereka berburu binatang dan makan daging tapir.

Che memberikan petunjuk kepada para gerilya Kongo, bahwa yang mereka lakukan itu salah. Bergerak dalam politik harus bisa mengambil simpati dari masyarakat. Apalagi petani miskin.

Kisah di atas tertuang dalam buku, Che in Africa. Sejalan dengan buku terbaru dari Puthut EA berjudul Mentalitet Korea, Jalan Ksatria Komandan Bambang Pacul. Bambang Pacul mengajak kaum korea untuk berpihak kepada kaum miskin dan membantunya.

Begitulah, gerakan berbau kiri memang jargonnya seperti pencetusnya, Karl Marx. Di nisan Karl Marx di Highgate Cemetery, Soho, London tertulis: “Workers of all lands united.” Kaum pekerja kelas proletar seluruh dunia harus bersatu, guna melawan kapitalisme global.

Istilah Komandan Bambang Pacul, melentinglah kaum korea 

Diksi korea ini, jika dicuci dalam kamus politik, sepertinya tak jauh dari kaum proletar, kaum abangan, atau kaum marginal yang di masyarakat sering tidak dianggap apa-apa. Pacul membatasinya dengan orang-orang kelas menengah dan bawah.

Di zaman saya SMA dulu, memang sebutan korea identik dengan orang yang berjiwa kasar, ngotot, tak mau menyerah, gigih dan tekun. Satu lagi yang jarang orang tahu, bahwa orang Korea asli ternyata makannya banyak.

Saya punya pengalaman dengan turis asal Korea di Bali. Sebagai pemandu wisata berbahasa Jerman, saya sering mengantar turis-turis Jerman makan siang di Restoran Kintamani. Rombongan turis Jerman kami akan makan satu restoran dengan turis-turis Korea.

Setiap saya sampai restoran tersebut, manajer restoran memerintahkan kepada juru masaknya, agar masak nasinya ditambah lagi. Saya sempat bertanya kepada manajer itu, karena saya pikir untuk turis Jerman kami. Ternyata manager itu menjawab, “Tidak untuk turis Jerman, tetapi khusus untuk turis-turis Korea. Mereka banyak makan nasi.”

Tak lama lagi, bus berisi rombongan turis Korea datang dan langsung berhamburan turun. Saya perhatikan body language mereka. Ternyata turis-turis Korea itu begitu masuk restoran, bukan mencari tempat duduk dulu, seperti turis-turis Jerman. Kebanyakan turis Jerman punya kebiasaan mencari tempat duduk dekat jendela, syukur bisa menghadap panorama indah.

Turis Korea berbeda. Mereka datang, langsung menuju tumpukan piring dan mengambil makanan. Baru kemudian mereka mencari tempat duduk.

Jika Komandan Bambang Pacul memberi contoh konkret dengan makan Kue Bol Jaran, supaya perut bisa diganjal selama 36 jam, demikian pula Che mengajak gerilya Kongo makan binatang tangkapan di hutan. Temuan Che di Kongo dengan tapir sebagai makanan pengganti daging sapi, ayam atau kambing, paralel dengan temuan Komandan Pacul mengganti nasi dengan Kue Bol Jaran.

Seni menaklukkan lawan

Terkait seni menaklukkan lawan, Komandan Bambang Pacul mengajak mempelajari hobi tokoh yang hendak diajak kerja sama atau yang hendak dikalahkan.Dalam kisah sebagai mahasiswa jurusan Teknik Kimia di UGM, dia hendak mencari sponsor menemui menteri Soeharto bernama A.R Soehoed.

Tak hanya bermodal nekat ala Korea, tapi dia meluangkan waktu mempelajari hobi sang menteri. Setelah melalui ritual tradisional tidur dekat kandang monyet, dia baru bisa diterima sang menteri. Kunci utama Komandan Pacul harus mempelajari hobi, yakni olahraga anggar.

Bagi Korea, meskipun hobi itu tidak menempel pada dirinya, tetap harus dipelajari guna mencapai galah itu. Ajakan Pacul mengetahui hobi itu sejalan dengan berbagai buku bertema “What Is Love?” Pada buku-buku panduan berpacaran atau panduan mencari jodoh dianjurkan, kenalilah hobi calon yang akan ditaksir.

Misalkan, calon pacar punya hobi mendaki gunung, maka jika 2 anak muda ini bertemu, si pencari pacar harus berbicara seputar dunia pendakian gunung. Dengan harapan, dalam pembicaraan semakin mengalir dan tak akan kehabisan bahan. Syukur lagi diajak mendaki bersama sang calon. 

Bukankah dalam proses PDKT susahnya bukan main mencari tema pembicaraan yang memikat. Tak setiap cowok tahu hobi calon pacar. Sebab itu cewek yang cerdik dalam perkenalan pertama dengan cowok pantang menyebutkan hobinya. Karena hobi adalah kelemahan.

Pandangan filsafat Jawa 

Meskipun Komandan Pacul memberikan resep yang berbeda, cara mencari pasangan berdasar sudut pandang filsafat Jawa. Bung Karno mendapat tempat paling tinggi pada jiwa Bambang Pacul. Ia menyitir semboyannya:

“Gantungkan cita-cita setinggi langit. Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”

Buku ini saya dapatkan dari rekan Mujib di Jogja, sekitar 3 hari menjelang keberangkatan ke Swiss. Pesawat KLM dari bandara Ngurah Rai, Denpasar itu melesat ke Amsterdam, menuju Zürich.

Nyaris buku itu seluruhnya saya baca di angkasa, tetap masih jauh dari bintang-bintang. Ketika peta di layar kecil depan kursi pesawat melewati negeri Irak, buku ini saya tutup; khatam.

Penulis: Sigit Susanto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Komandan Bambang Pacul Membuat Ribuan Orang Biasa Berani Bermimpi Jadi Orang Besar dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version