Saya menumpahkan emosi di dalam batik menjadi sebuah video. Isinya adalah kemarahan saya kepada sebuah kampus di Malang. Setelah naik ke media sosial, video tersebut langsung ramai. Banyak yang merasa saya itu kurang ajar dan tidak sopan kepada sebuah kampus di Malang itu.
Mendapatkan serangan seperti itu, saya merasa tidak masalah. Justru kampus di Malang itu yang mengabaikan saya. Menghalangi saya untuk bertanya di forum terbuka. Barangkali kekurangajaran dan ketidaksopanan itu adalah penting sebab kebusukan sering bersembunyi di balik kesantunan.
Keanehan lain yang saya rasakan adalah ketika saya akan menjadi pemateri di sebuah acara bedah buku. Kebetulan, yang akan menyelenggarakan acara tersebut adalah sebuah lembaga naungan kampus. Mereka menghubungi pihak penyelenggara agar menganulir saya sebagai pemateri. Katanya, saya itu tidak sopan. Ini sebuah tindakan yang bikin saya mengelus dada. Rasanya prihatin sekali.
Ketika video saya sedang ramai di media sosial, ada seorang dosen yang menghubungi saya. Beliau mengajak saya ngopi dan mengobrol. Ketika kami bertemu, beliau menjelaskan bahwa beliau mendengar sebuah perintah dari atasan yang menyuruh panitia ospek agar waspada terhadap saya.
Dari dosen tersebut saya mendapatkan sebuah “asumsi masuk akal” dari tidak diberinya kesempatan saya melontarkan pertanyaan. Kami juga sempat membahas alasan mengapa sebuah kampus di Malang itu sampai mengintervensi lembaga yang mengundang saya sebagai pemateri bedah buku.
Ketika kampus itu merespons kritikan saya
Selepas video kritikan saya ramai, pihak kampus meminta saya dan ayah saya untuk datang. Kami mendiskusikan beberapa hal, termasuk soal pembinaan. Jadi, kampus tersebut sendiri mengapresiasi kritik yang saya sampaikan lewat video.
Namun, sebuah kampus di Malang ini ingin saya mengubah gaya menyampaikan kritik. Selain itu, setelah tahu minat saya, kampus berjanji membuatkan “sebuah wadah” berupa Lembaga Semi Otonom (LSO). Ini adalah kelompok belajar filsafat di bawah naungan fakultas. Sebuah kampus di Malang itu juga meminta saya mengajak mahasiswa lain yang suka diskusi untuk menyusun struktur beserta kurikulumnya. Tentu ini suatu kabar baik yang menggembirakan.
Setelah pertemuan itu, bayangan ideal saya sebelum masuk kampus mendapatkan jalan mulus. Hati saya yang sempat kacau karena ospek bisa terobati. Maka, selanjutnya saya mengajak teman-teman dengan minat yang sama untuk menyiapkan LSO.
Setelah beberapa kali diskusi, kami menamai LSO ini dengan istilah Parrhesia. Kami mengambil nama ini dari kuliah Michel Foucault yang mempunyai makna ‘berani berkata benar’. Keren, kan.
Untuk membuat kurikulum kelompok, kami konsultasi dengan beberapa komunitas filsafat. Kami juga berdiskusi dengan beberapa dosen. Nah, sembari menyusun kurikulum dan struktur kepengurusan, kami perlahan memulai kajian filsafat. Kami dibina oleh dosen yang mumpuni, menggunakan buku The Philosophy Books: Big Ideas Simply Explained terbitan DK Books.
Pendidikan Karakter yang sama anehnya
Jadi, kampus di Malang ini mempunyai sebuah agenda. Sebut saja namanya Pendidikan Karakter (PK). Seluruh mahasiswa wajib mengikuti agenda ini, secara bergantian, selama satu minggu. Nah, di agenda tersebut, mahasiswa laki-laki tidak boleh memiliki rambut yang panjangnya melebihi alis.
Tentu saja aturan ini terasa sangat aneh di telinga saya. Namun, alih-alih marah, saya memilih sikap sabar dan merelakan rambut saya. Saya mengikuti saran seorang sahabat yang menyebut kesabaran dalam hal ini sebagai “kesabaran revolusioner”.
Agenda PK dibagi menjadi beberapa angkatan. Agenda PK ini mengasyikkan karena pesertanya adalah mahasiswa berbagai fakultas, yang dibagi menjadi beberapa kelas. Jadi, kegiatan ini bisa menambah akrab pertemanan.
Aturan PK yang tidak mengizinkan peserta membawa HP bermanfaat untuk puasa media sosial untuk sesaat. Namun, ada sebuah peristiwa yang membuat kami, satu kelas, jadi kesal sekali. Jadi, ada seorang panitia memarahi habis-habisan peserta PK hanya karena teman kami ini mengantuk saat zikir selepas salat Subuh.
Kami merasa kemarahan si panitia ini terlalu berlebihan. Maka, alih-alih takut dan diam, kami sekelas merencanakan pembalasan.
Pembalasan dari para mahasiswa
Pembalasan itu kami jalankan di sesi pemotongan rambut. Jadi, ketika prosesi itu berlangsung, saya sempat iseng bertanya ke panitia.
“Mas, inikan kegiatan islami, pemotongan rambut ini ajaran mazhab mana yah?”
Si panitia diam saja. Lalu ada teman saya yang tiba-tiba menyahut, “Sebutkan 25 nama nabi yang rambutnya cepak ABRI!”
Tidak lama, ada yang menimpali, “Panitia taat rektor atau Rasulullah?”
Wah, sungguh “tidak sopan sekali” teman saya ini. Saat pelajaran PK berlangsung, ada sebuah kejadian menarik.
Jadi, setiap pengajar berkata, “Ini penjelasan saya. Apakah ada yang tidak atau kurang jelas?”
Teman-teman langsung menimpali:
“Ada, Pak. Yang tidak jelas itu panitia. Suka marah-marah dan sok powerfull terhadap peserta.”
Bahkan di sela-sela agenda kami sempat membuat tulisan protes. Kami membuatnya dari kertas sobekan dengan pena dan selotip kecil. Salah satu tulisan tersebut berbunyi “Ikan cupang makan kedondong, panitia jangan seenaknya sendiri dong!”
Solidaritas dan diskriminasi yang terjadi di sebuah kampus di Malang
Bagi kami, agenda PK itu sebenarnya menyenangkan. Yah, meskipun para panitia sungguh mengganggu “kestabilan emosi kami.
Salah satu kesenangan kami adalah melakukan solidaritas “paido bersama”. Maksudnya adalah kegiatan untuk membantah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama. Kegiatan ini kami lakukan apabila ada peserta PK yang menjadi korban kesewenangan panitia.
Namun, ada satu kejadian, tepatnya kabar burung, yang cukup mengejutkan dari angkatan sebelumnya. Jadi, kami mendengar bahwa pernah ada peserta non-muslim yang mendapat perilaku SARA dari salah satu pengajar PK. Padahal, si pengajar ini adalah dosen agama di kampus yang berdiri di Malang ini.
Konon, bentuk diskriminasi itu adalah perkataan “Islam mengajarkan agar kita tidak menyembah nabi layaknya agama nasrani.” Kalimat itu terlontar ketika si pengajar mengajar di dalam kelas, di mana ada peserta beragama Katolik di sana.
Sang dosen melanjutkan dengan melontarkan pertanyaan pada mahasiswa tersebut.
“Oh iya, kamu Katolik, yah? Apakah kamu bisa membuktikan bahwa Yesus adalah Tuhan?”
Mendengar pertanyaan menohok tersebut, sang mahasiswa pun terkejut dan terdiam.
Diskriminasi yang ada dan aksi nyata mahasiswa sebuah kampus di Malang
Selepas agenda PK rampung, saya dan teman-teman hendak memeriksa fakta dari cerita tersebut. Kami hendak mewawancarai mahasiswa Katolik yang bersangkutan.
Di tengah perjalanan, ada beberapa kakak tingkat yang bercerita bahwa diskriminasi di PK itu sudah jadi hal biasa setiap tahun. Kejadian ini bahkan sempat diadukan kepada panitia. Mereka menjawab bahwa pelaku akan kena sanksi. Namun, nyatanya, pelaku masih berkeliaran, ujar kakak tingkat tersebut. Mendengar cerita itu, kami tidak ingin langsung percaya. Kami ingin cek fakta dulu.
Saat bertemu mahasiswa Katolik tersebut, dia membenarkan cerita tersebut. Kami terkejut bukan main. Lalu, kami mendiskusikan tentang upaya yang hendak kami lakukan. Mengingat cerita mengambang dari kakak tingkat, sepertinya suatu hal yang sia-sia apabila kami tidak memberi suatu “bogem alus” untuk kampus.
Akhirnya, kami sepakat untuk mengangkat kasus tersebut ke media sosial. Mahasiswa yang menjadi korban bersedia kami wawancara sebagai bukti. Dia setuju asal suaranya disamarkan.
Kami langsung bergerak. Kawan saya membuat sebuah pamflet digital. Kami juga membuat akun Instagram solidaritas di mana pamflet tersebut menjadi unggahan. Dan, dalam tempo yang singkat, unggahan itu telah di-share lebih dari 200 kali dalam rentang 5 jam setelah diunggah.
Pihak kampus langsung menghubungi saya. Mereka mengancam akan membawa saya ke meja hijau dengan dalih pencemaran nama baik. Saya tegaskan bahwa bahwa saya siap membuktikan jika kabar yang diunggah adalah benar adanya.
Tak lama setelah itu, saya dan korban bertemu dengan pihak kampus. Kami berbincang cukup lama. Sebuah kesepakatan akhirnya tercapai. Kampus di Malang ini berjanji akan membenahi diri. Sementara itu, konten yang mendapatkan atensi cukup besar itu kami arsipkan. Konten tersebut akan kami unggah kembali apabila diskriminasi agama terulang kembali.
Wadah yang dijanjikan dan masalah di kampus
Setelah “huru-hara” yang cukup melelahkan, saya kembali berkumpul dengan teman-teman Parrhesia. Kami akan melanjutkan kegiatan menyusun kurikulum belajar dan pembentukan struktur kepengurusan.
Namun, ada firasat yang cukup mengganggu. Ini soal apakah pihak kampus tetap mewadahi kami sesudah saya dan teman-teman di PK mengangkat kasus diskriminasi agama. Saat itu, firasat tersebut saya lepaskan dengan berbaik sangka. Eh, ndilalah, kejadian yang tidak mengenakkan itu tiba juga. Tepatnya saat saya seorang teman hendak mengonsultasikan draft pertama kurikulum Parrhesia ke pihak kampus.
Saat bertemu, alih-alih membahas draft kurikulum, mereka malah mengancam saya. Saya, mahasiswa semester satu, akan dikeluarkan karena dianggap mencemarkan nama baik.
Iya, sekali lagi, saya mendapatkan ancaman akan dikeluarkan oleh kampus karena mengangkat kasus diskriminasi agama yang dialami teman kami. Tidak takut dengan ancaman itu, saya berbalik menantang pihak kampus.
“Kalau Bapak memang mau mengeluarkan saya karena kritik saya, ya silakan. Kalau perlu segera. Saya tidak takut!”
Mereka menjawab, “Ya sudah, akan kami pertimbangkan dengan pimpinan.”
Selepas pertemuan itu, seluruh imajinasi kehidupan kampus yang menyenangkan rontok satu per satu. Teman-teman Parrhesia kecewa mendengar yang terjadi di pertemuan durjana itu.
Namun, kami tidak menyerah. Kami tetap mendirikan Parrhesia sebagai kelompok belajar independen. Untungnya, masih ada dosen yang mendukung kami. Mereka mengizinkan kami untuk memakai lab salah satu jurusan sebagai tempat kajian. Kejadian itu sungguh mempengaruhi hari-hari kuliah saya.
Kekecewaan demi kekecewaan di sebuah kampus di Malang
Kekecewaan itu datang silih berganti. Mulai dari dosen yang jarang (dan tiba-tiba) tidak masuk dengan alasan aneh. Entah karena keseleo, mengantar anak ke sekolah, bahkan ada yang datang terlambat sampai mata kuliahnya hampir selesai.
Lalu, fasilitas kampus yang tidak layak. Misalnya kipas dinding yang hanya menoleh tanpa berputar. Kipas ruangan itu bunyi “tek etek-etek” sangat mengganggu kuliah. Ada juga proyektor kelas yang tampilannya berwarna kuning seperti noda.
Organisasi mahasiswa yang keberadaannya tidak signifikan. Kebanyakan, agenda organisasi mahasiswa itu hanyalah acara-acara seremonial. Kalau rapat lama, hasil tak ada, hingga mengorbankan harga diri dengan mencari dana melalui paid promote.
Konten di media sosial juga aneh. Misalnya konten pamer “cowok ganteng dan cewek cantik di kampus”. Anehnya, cowok dan ceweknya itu-itu saja. Konten seperti itu tujuannya apa? Mau membangun citra menggunakan konten seperti itu?
Dengan demikian, benar belaka kata Peter Fleming dalam karyanya Dark Academia: How Universities Die. Katanya, perguruan tinggi telah mati dan bereinkarnasi menjadi korporasi. Relasi antara kampus dengan mahasiswa menjadi seperti perusahaan dengan konsumennya.
Melihat kondisi seperti ini, awalnya, saya memilih untuk menggunakan salah satu anjuran filsafat stoisisme yang bernama dikotomi kendali. Ini adalah sebuah ajaran untuk membantu manusia memilah hal-hal yang bisa dikendalikan dan yang tidak. Tujuannya agar bisa hidup selaras dengan alam. Tetapi, lambat laun, saya menyadari betapa dikotomi kendali ini merupakan sebentuk kepasrahan pada keadaan yang buruk.
Memilih menjadi mahasiswa kupu-kupu
Berbagai kekecewaan ini membuat kehidupan saya di kampus menjadi begitu suram. Ibarat kata pepatah, “Hidup segan, mati tak mau.” Saya yang awalnya menggebu-gebu untuk menumbuhkan iklim akademik di kampus, mengkritik hal-hal tidak beres, memasifkan gerakan mahasiswa, dan menayangkan jurnal sebanyak mungkin, telah kehilangan semangat.
Dalam hal ini, saya teringat wasiat dari agama Islam tentang posisi dalam menyikapi kemungkaran:
(1) Qulil Haqqa Walau Kana Murran = Sampaikan kebenaran walau itu pahit.
(2) Fa Khoiro Ijabatis Sukut = Maka sebaik-baik jawaban adalah diam.
Jika awalnya yang saya pilih adalah sikap yang pertama, maka kali ini saya memilih sikap kedua. Saya memutuskan untuk menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang kuliah-pulang) karena tidak ada hal yang menarik. Satu-satunya agenda yang saya ikuti adalah kajian rutin mingguan dari Parrhesia.
Menjadi mahasiswa kupu-kupu adalah suatu pilihan masuk akal. Terutama ketika yang ada di kampus tidak memiliki kemaslahatan bagi diri. Ini juga keputusan strategis. Khususnya apabila organisasi-organisasi yang ada di dalam kampus tidak berguna dalam menunjang kemampuan akademik. Sikap ini juga panggilan moral, saat menyadari bahwa kondisi di kampus Malang itu sudah beracun dan tidak membuat mahasiswa berkembang.
Suatu waktu ada alumni kampus yang mengajak saya ngopi. Dia juga mahasiswa kupu-kupu sekaligus salah satu penggerak aliansi yang mengkritik kebijakan “dilarang gondrong” yang berlaku hingga saat ini.
“Kalau kau nggak kerasan di kampus, cepatlah lulus. Jangan lama-lama di sana.”
“Ah, ejekan macam apa itu. Mentang-mentang sudah lulus,” jawab saya sambil memikirkan kalimatnya hingga pulang ke rumah.
Keputusan saya adalah hijrah
Selepas ngopi, entah mengapa tiba-tiba terbesit kisah Nabi Muhammad. Ini kisah soal hijrahnya Nabi dari Makkah ke Madinah. Lalu muncul pertanyaan, “Mengapa Nabi Muhammad memutuskan berpindah tempat?” Ada hal penting yang saya petik dari sini.
Tidak, saya tidak bisa lama-lama berada di kampus seperti itu. Sudah produktivitas menurun, lingkungan beracun, tak punya kenangan indah pula. Akhirnya saya memutuskan untuk ikut tes SNBT, yang mana tahun lalu saya luput tuk ikut.
Memang, saya pernah menulis bahwa kegagalan masuk PTN impian bukan masalah. Bahkan keinginan masuk PTN itu adalah ilusi yang berbentuk ekspektasi dalam diri.
Kini saya sadar bahwa ilusi itu adalah suatu hal yang perlu sebagai horizon harapan untuk hidup yang lebih baik. Andai tidak lolos PTN, saya tetap akan pergi dari kampus itu. Sekalipun di PTN pasti juga banyak masalah, tapi setidaknya saya yakin bahwa kondisinya lebih baik.
Ada satu kutipan yang memicu saya mengambil keputusan ini.
“All suffering is caused by being in the wrong place. If you’re unhappy where you are, move.” | Timothy Leary
Saya meyakinkan orang tua saya bahwa suatu hal yang sia-sia apabila membayar UKT, namun yang didapat adalah lingkungan beracun. Orang tua saya pun mendukung keputusan ini. Dan, alhamdulillah, saya lolos SNBT.
Saya membagikan pengumuman lolos itu ke media sosial saya. Saya menyertakan testimoni jujur sebagai mahasiswa/konsumen di kampus/perusahaan lama. Sudah saya duga, testimoni itu bakal ramai. Tapi, yang tak saya sangka adalah sampai dilihat jutaan mata.
Banyak yang mengecam dengan keras testimoni saya. Katanya, saya menjelekkan sebuah kampus di Malang itu. Bahkan kampus lama saya sampai melayangkan surat somasi. Biarlah, sanksi sosial dan surat somasi untuk satu orang itu adalah harga murah bagi upaya mengungkap kebenaran yang sesungguhnya!
Penulis: Mohammad Rafi Azzamy
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Surat Terbuka untuk Dosen yang Jarang Mengajar dan testimoni akan sebuah perlawanan lainnya di rubrik ESAI.