“Kenapa Hari Buruh tahun ini gak ada twitwar?” Tanya seorang teman, sebut saja Wisnu Prasetya (nama sebenarnya). Entah kenapa setiap pertanyaan eksistensialis mengenai twitwar belakangan ini selalu diarahkan ke saya. Seolah saya kelewat selo untuk menjadi pengamat twitwar, dan selalu concern pada acara debat kusir semacam itu.
Benar memang, Hari Buruh tahun ini sepi twitwar. Saking sepinya, saya bahkan merasa perlu repot-repot mengadakan twitwar dengan Arman Dhani. Tepat 1 Mei 2015, sejak pukul 18.00 sampai 24.00, jeda sebentar untuk salat Isya. Saya membela buruh, Dhani membela Kelas Menengah (selanjutnya saya akan menyebut Kelas Menengah sebagai Kaum Setengah Mampu—demi efek sarkastik).
Kembali ke pertanyaan Wisnu. Biar dikira pintar seperti @hotradero sang segala tahu, saya pantang menjawab tidak tahu. Jawaban yang saya berikan saat itu ada empat, itupun singkat-singkat. Tapi khusus pembaca Mojok, saya uraikan panjang lebar di sini. Biar apa? Bukan, bukan, sama sekali bukan untuk bahan renungan bersama. Tapi sekali lagi, biar dikira pintar, sukur-sukur follower nambah.
1. Kuota Paketan Habis
Ini kemungkinan paling remeh-temeh. Terutama apabila penggiat twitwar antar Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jika banyak pekerja di kantor swasta gajian menjelang akhir bulan, PNS sebaliknya, mereka gajian di awal bulan. Masalahnya Hari Buruh tahun ini jatuh pada hari Jumat, bersambung dengan Sabtu dan Minggu. Libur tiga hari berturut-turut.
Saat banyak orang menghabiskan long weekend dengan piknik bersama keluarga atau kekasih, PNS harus prihatin—setidaknya sampai hari Senin karena belum gajian. Kita tak pernah tahu berapa jumlah uang mereka yang tersisa, tak pernah tahu bagaimana mereka bertahan hidup tiga hari ini, bisa makan atau tidak, punya pacar atau tidak.
Benar mereka sudah PNS, punya penghasilan tetap. Tapi tak banyak yang tahu, beberapa PNS seperti Gita Wiryawan adalah seorang sosialis militan, penghasilannya banyak dikeluarkan untuk membiayai kerja-kerja pembebasan. Tapi tetap tak rasional memilih beli paketan internet sampai harus makan mie instan selama tiga hari, semata demi twitwar.
2. Sibuk Liburan
“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”
Demikian kata Seno Gumira Ajidarma yang terasa agak Bohemian. Dan memang, itulah realitas yang harus diwaspadai Kaum Setengah Mampu ibukota saat ini. Kenapa ibukota? Siapa sih penggiat twitwar itu kalau bukan didominasi Kaum Setengah Mampu ibukota? Bukannya anti-Jakarta, tapi tak perlu ditutup-tutupi, bahkan untuk ranah wacana seperti twitwar pun kita sering Jakarta-sentris. Apalagi yang filosofis. Apalagi yang praksis.
Seperti liburan, saya selalu curiga twitwar adalah bentuk eskapisme: generasi muda setengah mampu, dari latar belakang sistem pendidikan penuh kompetisi, saling menghibur diri dengan adu argumen dengan orang yang bahkan tidak dikenal, semata demi kepuasan dan impresi sesaat: biar dikira pintar.
Hari libur, Mas, Mbak, selalu tentang pagi yang dimulai tanpa serba tergesa. Eskapisme dari peliknya rutinitas, setelah kuasa kapital menceraikan manusia dari kemanusiaan itu sendiri. Kaum Setengah Mampu ibukota sangat perlu piknik, sementara libur di Indonesia sangat sedikit. Di titik inilah, media sosial hadir memecah kebuntuan.
Hari libur, Mas, Mbak, adalah kesempatan terbaik yang dimiliki Kaum Setengah Mampu. Seperti libur panjang kemarin, orang kembali menjadi manusia yang utuh: liburan ke Bogor atau Bandung, menonton The Avengers: Age of Ultron, atau kegiatan lain yang bukan twitwar.
Dijadikannya Hari Buruh sebagai hari libur nasional, membawa maslahat untuk banyak orang. Terutama untuk Indonesia yang sedang darurat piknik.
3. Asik Jokowa-Jokowi
“Yakin yang di eksekusi semalam duo bali nine? Yakin yang didalam peti itu duo Bali Nine ? << baca status FB temen.”
Saya membaca kalimat itu dari akun @ajengkol (PKSLover’s). Saya tulis kembali tanpa perubahan sedikitpun. Termasuk kesalahan ‘di’ sebagai kata depan atau ‘di’ sebagai awalan juga tidak ingin saya ubah, juga ketidak-konsistenan penulisan ‘Bali Nine’ diawali huruf kapital atau tidak. Saya cuma menambahkan titik di akhir kalimat agar lebih manusiawi.
Hari Buruh ini bersamaan dengan berbagai peristiwa, seperti penangkapan Novel Baswedan yang sedang mengemuka, sebelum itu ada penundaan eksekusi mati Mary Jane, juga eksekusi mati duo Bali Nine yang diragukan oleh beberapa pihak, dan jangan lupakan air mata Mbak Mega di kongres PDI-P tempo hari. Seperti biasa, konsentrasi publik terpecah dalam bermacam kubu. Nama Jokowi kembali disebut-sebut.
Itu baru yang ada hubungan langsung dengan Jokowi. Selain itu juga ada rencana lokalisasi dan sertifikasi PSK oleh Ahok, foto topless Pamela Safitri, pesta bikini dedek-dedek remaja putri pasca UN, pemukulan satpam oleh seorang perokok, dan banyak lainnya. Meski nyata-nyata tak ada hubungannya, di tangan seorang Jonru, tentu bisa saja dihubung-hubungkan dengan Jokowi. By the way, sekarang Akhy Jonru apa kabarnya ya?
4. Sudah Prohresip-Revolusioner
Ini kemungkinan terakhir dan yang paling saya yakini. Berbeda dengan keyakinan Arman Dhani, saya yakin bangsa Indonesia sudah lebih prohresip-revolusioner. Ketiadaan twitwar Hari Buruh, bagi saya, dikarenakan para selebtwit penggiat twitwar mulai sadar solidaritas, Kaum Setengah Mampu telah paham bahwa mereka juga kelas pekerja. Semua yang digaji, entah itu karyawan swasta, PNS, TNI, maupun POLRI adalah buruh. Tentu, nihilnya twitwar ini adalah indikator bahwa nasib bangsa Indonesia akan lebih baik.
Terakhir, saya tutup tulisan ini dengan doa dan harapan: semoga keluarga besar kelas pekerja, baik yang plat hitam, plat kuning, maupun plat merah, hidup rukun dalam satu keluarga besar yang samara. Samarata-samarasa. Jangan lelah berjuang demi tegaknya Daulah Proletariah (dengan ta marbutoh, kalau mati dibaca ha). Tuhan bersama kaum buruh yang berani mengubah nasibnya sendiri.
Marhaban ya, May Day. Kaum buruh sedunia, bersatulah!