Mau Keren Seperti Sukarno? Ikuti Lima Cara Ini

Sukarno itu keren; ganteng, perwira, pintar, peletak dasar negara, presiden pertama, dan tentu saja teladan kedermawanan. Lihatlah, jika si doi yang ultah setiap 6 Juni ini jumawa, ia tak mungkin mau berbagi semua hal kepada “sahabatnya”, Mohammad Hatta. Di jalan raya berbagi nama. Di mata uang berbagi wajah. Di terminal pesawat udara berbagi tanah.

Tentu saja, dengan segala reputasinya, Sukarno bersama generasinya menjadi peletak dasar Republik Indonesia. Sebagai sosok besar, Karno bukannya tak bisa dirabai dan diikuti langkah-langkahnya. Terutama jalan usia mudanya antara 17 hingga 27 tahun. Di tahun-tahun itu, Karno mendapatkan segala apa yang dibayangkan dengan heroisme: gebetan punya, menulis bisa, punya koran/majalah sendiri, jago pidato, insinyur, punya partai, serta dipenjara/dibuang karena politik korupsi.

Apa saja yang bisa kamu teladani? Simak baik-baik:

Ngekos

Bagi Sukarno, ngekos itu jalan pertama dan utama menuju gerbang kesuksesan hidup. Jika ia tetap hidup di alam nyaman keluarga besar, paling banter ia hanya jadi parasit ngabis-ngabisin uang negara. Banyak hal yang didapat dari praktik ngekos itu; selain latihan kemandirian, juga berbagi ego dengan teman kos lainnya yang beda masa lalu beda selera.

Bayangkan saja, kalau Sukarno enggak ketemu teman kos macam Semaun yang berangasan, Kartosuwirjo yang cool, mustahil dia menemukan “persatuan Indonesia” bernama Nasakom yang keren itu.

Tapi, ngekos juga butuh syarat-syarat. Kos Sukarno di Jl Peneleh VII Surabaya itu punya induk semang. Pak Haji Cokro namanya. Kumisnya melintang. Suaranya menggelegar. Dan, pintar. Kalau ketemu bapak kos yang bisa bikin koran seperti ini, rasa-rasanya tagihan bulanan enggak terlalu jadi beban asalkan tiap hari dapat sangu kepintaran. Juga, gebetan, tentu saja!

Karena Sukarno, pamor kos naik. Indonesia dan ide-ide besarnya dalam banyak hal bikinan anak-anak kos.

Mabuk Diskusi, Bikin Penerbitan Indie.

Ngekos sudah. Ealah, kalau kerjanya di kos cuma kayak babi; makan, tidur, sekolah/kuliah dan merengek minta kiriman dari ortu untuk beli paketan, mau jadi apa?

Ngekos baru naik pamor jika aktivitasnya diikuti kegiatan-kegiatan bermanfaat. Sejak sekolah menengah, Karno mengisi aktivitas ngekosnya dengan diskusi, berpidato, membaca buku, juga terlibat dalam penerbitan indie. Dari kos, Karno punya akses atas bacaan koran dan belajar bagaimana produksi penerbitan indie dikerjakan Pak Cokro.

Saat kuliah di ITB Bandung, kegiatan diskusi menjadi-jadi. Karno punya kelompok diskusi, lengkap dengan penerbitan indienya. Namanya Klub Indonesia Muda. Di klub diskusi seperti ini Sukarno mengelaborasi pikiran-pikirannya yang meledak-ledak seperti dinamit itu. Makin liat itu pikiran karena didukung penerbitan indie. Punya pikiran yang terus-menerus digosok dalam klub diskusi, dan punya penerbitan sendiri untuk persebarannya, ah, keren betul.

Dari Sukarno, kelas anak-anak penerbitan indie dan anak-anak yang doyan diskusi dapat pamor.

Rajin Membaca, Tajam Menulis.

Berani nyebut “Saya Sukarno, Saya Indonesia” tapi gak suka baca buku? Itu gombal saja. Ngaku Sukarnois tapi setahun untung-untungan menyelesaikan satu buku? Tak layak jadi makmum Karno. Sosok ini gila baca buku. Bahkan, sudah masuk kategori adiktif.

Karno butuh membaca banyak-banyak karena dari situlah pipa asupan tenaga mengalir; terutama untuk gizi lambe, logistik diskusi, dan obat kuat menulis. Saking seriusnya membaca, buku penuh coretan. Bagi Karno, marjin buku kiri yang tersedia itu bukan untuk kosong-kosongan, tapi arena kecil untuk berkelahi.

Dari Sukarno, para pembaca buku serius memperoleh kehormatannya.

Kuliah di Teknik.

Mungkin ini tak terlalu signifikan. Tapi, jika mau merasakan atmosfer Sukarno, cobalah kuliah di teknik. Macam-macam bisa ditemukan di perkuliahan teknik itu. Salah satu yang pasti adalah agama warisan dengan gairah baru. Enggak percaya? Tanyakan saja kepada Kapolri Tito Karnavian beserta barisan intelnya.

Karno itu generasi insinyur pertama, tapi sangat melek dengan politik pergerakan kebangsaan. Dosen-dosennya meragukan keilmuan vokasinya karena dosis politik di pikirannya jauh melebihi takaran normal. Tapi, Karno ngotot. Ia membuktikan kuliah vokasi (teknik sipil) bisa selesai dengan tidak mengorbankan aktivisme. Berkat Karno, aktivisme sospol dan lab punya hubungan selamanya baik-baik saja.

Sebab Sukarno, anak-anak teknik—yang kerap terlihat cupu ketimbang anak-anak ekonomi dan humaniora—bisa menepuk dada.

Bikin Partai.

Jika memang keyakinan pada politik sudah tak bisa ditenggang lagi, bikinlah partai. Atau, masuklah partai yang hati dan pikirannya klop. Karno itu manusia partai. Umur 27, Karno sudah jadi ketua partai yang dibikinnya sendiri. Dengan partai itu, Karno kemudian melakukan safari Ramadan pidato yang mengguncang kolonial.

Tapi itu tadi, berpartai untuk cari objekan, ya, bukan gaya Karno. Partai itu otobus memperjuangkan impian-impian besar yang hanya bisa terealisasi kalau kekuasaan berada di tangan. Apa impian besar Sukarno itu? Persatuan Nasional, persatuan Indonesia agar Indonesia disegani karena kemampuan mengelola tenaga-tenaga progresif dalam negerinya.

Macam apa maujudnya? Nasionalisme, agama, komunisme. Waini. Enggak enak di kuping cap Pancasila, ya?

Sukarno orangnya memang kayak gitu. Umur 26 punya impian aneh dan subversif.

Nah, jika semuanya sudah kamu lakukan, tapi tetap saja posisi enggak jauh-jauh dari medioker—pemimpin enggak, negarawan juga seret—periksa satu hal ini; mungkin dalam hatimu masih ada satu benggol penghalang, yakni anti(hantu)kiri atawa anti(hantu)kuminisma.

Exit mobile version