Berita kematian itu disiarkan lewat masjid: Pak Muhidin, sesepuh desa, meninggal dunia menjelang sahur. Maka ramailah rumah Warkono si penjaga masjid. Dia cucu Pah Muhidin. Mereka tinggal berdua di rumah tua di ujung kampung. Pak RT, Pak Lurah, Mat Piti, Imam masjid, datang selepas subuh menjelang jenazah diberangkatkan ke pemakamaman. Orang-orang kampung yang datang pun semakin ramai.
Pak Muhidin memang sesepuh kampung dalam pengertian yang sebenarnya. Usianya 93 tahun. Usia paling tua di antara warga kampung. Bila ada hajatan apa pun, dialah yang ditunjuk membacakan doa. Bila ada orang meninggal, Pak Muhidin yang memandikan dan mengkafani jenazah. Dia biasanya dibantu beberapa orang.
Orangnya murah senyum. Bila berjalan selalu menunduk. Orang-orang kampung menyebutnya Pak Muhidin yang ramah. Pak Muhidin yang baik. Dan setelah meninggal, semua kebaikan Pak Muhidin itu yang dibicarakan orang-orang.
“Setiap manusia pasti mati ya Cak?” Gus Mut membuka pembicaraan dengan Cak Dlahom ketika mereka menikmati buka di teras belakang selepas maghrib. Mat Piti dan Nody pergi ke rumah Warkono. Tahlil di sana. Romlah leyeh-leyeh di kamarnya.
Gus Mut tahu, pertanyaannya memang tak perlu dijawab. Dia hanya iseng memancing Cak Dlahom berbicara meski yang dipancing juga tak segera menjawab.
“Kematian tak bisa ditunda ya Cak?” Sekali lagi Gus Mut bersuara. Cak Dlahom menoleh sambil tersenyum. Senyum yang menutu Gus Mut lain dari yang lain.
“Betul Gus, setiap manusia pasti mati. Kematian tak bisa ditunda. Apa kamu ingin mati?”
“Ya ndak toh Cak, sampean itu. Siapa juga manusia yang ingin cepat-cepat mati. Saya apalagi. Masih muda. Ndak tahu kalau…”
“Aku maksudmu Gus?”
“Eh… anu Cak…”
“Gus, dulu di zaman Nabi Sulaiman ada cerita soal orang yang melihat Izrail?”
“Izrail, Cak?”
“Iya Izrail. Malaikat pemutus segala kenikmatan.”
“Wuih ngeri ya Cak…”
“Suatu hari, ada seorang laki-laki tergopoh menemui Nabi Sulaiman a.s. Dia menagih janji yang pernah disampaikan Sulaiman kepadanya.”
‘Wahai Nabi Allah, karena kesetianku padamu, sesungguhnya engkau pernah berjanji akan memenuhi permintaanku.’
‘Aku tidak pernah lupa janjiku. Apa yang engkau minta?’ jawab Sulaiman.
‘Dengan kelebihan yang diberikan Allah padamu, bisa mengendalikan angin, tolong terbangkan aku ke negeri yang jauh. Sejauh-jauhnya.’
‘Kenapa engkau meminta aku untuk menerbangkanmu sejauh-jauhnya?’
‘Karena aku sungguh ketakutan.’
‘Apa yang engkau takutkan wahai Fulan sehingga wajahmu begitu pucat dan engkau memintaku menerbangkanmu?’
‘Wahai Nabi Allah, sebelum aku menemuimu, seseorang telah datang ke rumahku.’
‘Seperti apakah orang itu?’
‘Dia sangat asing. Aku tidak pernah melihat orang itu sebelumnya.’
‘Apakah dia mengucapkan sesuatu?’
‘Tidak. Dia hanya berdiri dan melihatku dari jauh, tapi setiap kali aku menatapnya, sungguh semua bulu kudukku berdiri dan semua sendi tulangku jadi lunglai.’
‘Wahai Fulan, yang kau jumpai adalah Izrail, pemutus semua kenikmatan. Ajalmu sudah dekat.’
‘Tidak, Nabi Allah. Karena itu aku menagih janjimu yang akan memenuhi permintaanku.’
‘Tidak ada guna engkau menghindar. Perbanyak saja ibadahmu kepada Allah.’
‘Wahai Nabi Allah, tolong terbangkan saja aku ke negeri yang sangat jauh saat ini juga.’
Sulaiman akhirnya memenuhi permintaan laki-laki itu. Lewat kelebihan yang diberikan Allah kepadanya, dia memerintahkan angin untuk menerbangkan laki-laki itu ke negeri yang jauh. Angin pun menerbangkannya hingga sejauh-jauhnya. Tapi setiba di negeri yang dimaksud, laki-laki itu malah jatuh tesungkur. Di negeri yang jauh itulah, laki-laki yang mencoba menghindar dari Izrail menemui ajal.”
Cak Dlahom meminum kopinya. Dia mulai menyalakan kreteknya. Gus Mut menghabiskan serabi buatan Romlah. Pembicaraan keduanya malam itu memang cukup mencekam.
“Jadi takut atau tidak takut, mau atau tidak mau, kematian pasti datang juga ya Cak?”
“Tak luput sekejap pun. Tapi sebelum jasad mati, mestinya ada kematian yang lain.”
“Maksudnya Cak?”
“Ada kematian yang lain Gus. Kematian yang seharusnya dijalani oleh manusia sebelum jasad mereka mati.”
“Mana ada manusia yang mau menjalani kematian Cak?”
“Itu perintah Gus. Perintah dari yang Pengasih dan Penyayang.”
“Kematian apa itu Cak?”
“Kematian nafsumu.”
“Saya kurang paham Cak?”
“Manusia diminta mematikan terlebih dulu nafsu-nafsu mereka sebelum jasad mereka mati. Setidaknya agar nafsu mereka pernah merasakan kematian.”
“Gimana caranya mematikan nafsu Cak, saya saja tidak tahu, nafsu saya apa saja…”
“Semua keinginanmu itu pada dasarnya nafsu Gus. Ia meletup-meletup di dadamu. Marah. Dengki. Dendam. Malas. Bosan. Ingin berbuat baik. Ingin beribadah. Dan sebagainya. Semua nafsu Gus.”
“Kok beribadah, nafsu Cak?”
“Ya bila kamu tak tahu untuk apa dan siapa ibadahmu. Bila kamu hanya ingin pamer dan dipuji, termasuk dipuji oleh dirimu sendiri yang orang lain tidak mengetahuinya kecuali dirimu sendiri.”
“Wah repot ternyata…”
“Nafsumu yang bilang repot. Ia berusaha menipumu. Mengelabuimu.”
Gus Mut manggut-manggut sambil terus mengunyah serabi. Dia memperhatikan Cak Dlahom dengan serius. Cak Dlahom terus mengisap kreteknya.
“Kalau nafsu sudah dimatikan, terus ngapain kita Cak?”
“Kamu akan diberikan keburukan dan kebaikan.”
“Allah memberikan keburukan? Tidakkah Dia maha baik Cak dan memberikan kebaikan?”
“Betul kamu Gus. Kalau Allah itu maha baik, lalu siapa yang maha buruk?”
“Wah… ya ndak… Menurut sampean siapa Cak?”
“Keburukan dan kebaikan akan diberikan oleh Allah padamu Gus, setelah kamu sanggup mematikan nafsumu.”
“Lalu untuk apa semua itu Cak?”
“Sebagai cobaan. Sebagai fitnah untukmu agar kamu tahu Gus, semuanya akan kembali kepada Allah.”
“Semuanya Cak?”
“Tidak terkecuali satu pun.”
“Sampean belum jawab pertanyaanku loh Cak?”
“Pertanyaan yang mana?”
“Yang buruk tadi…”
“Kamu akan tahu sendiri Gus.”
Dari teras belakang rumah Mat Piti, bulan menggantung di langit. Bentuknya tinggal seperempat seperti roti yang habis dimakan rubah. Gus Mut menghabiskan serabinya.
“Apa saja nafsu itu Cak?”
“Kamu ingin makan, tidur, minum, bersanggama dan sebagainya, itu nafsu hewanmu. Kamu bosan, malas, benci, marah, dendam dan seterusnya, itu nafsu syetanmu. Kamu ingin shalat, berpuasa, berhaji, bersedekah, itu adalah nafsu malaikatmu.”
“Semua berkumpul di kita Cak?”
“Semuanya Gus.”
“Dan itu semua yang harus saya matikan?”
“Kamu kendalikan Gus. “
“Untuk apa sih? Kan semua pemberian Allah?”
“Agar kamu mengenal dirimu lalu mengenal Tuhanmu.”
Gus Mut terdiam. Bukan karena serabinya sudah habis tapi karena kata-kata Cak Dlahom: agar dia mengenal dirinya lalu mengenal Tuhan. “Siapa sebetulnya diri kita ini Cak?”
Gus Mut kembali bertanya. Cak Dlahom tidak menjawab. Dia merasa Gus Mut sudah banyak bertanya dan dia tak perlu menjawab. Cak Dlahom takut kalau pertanyaan Gus Mut dijawab semua, bukan saja mulut Gus Mut akan terus menganga tapi otaknya juga bisa menganga.