MOJOK.CO – Ada yang meyakini bahwa Candi Borobudur dan Prambanan dibangun oleh orang dari luar Pulau Jawa. Benarkah begitu adanya?
Tentang beraneka macam bangunan kuno peninggalan dari masa ribuan tahun silam, khususnya dari zaman jayanya kerajaan Hindu dan Buddha di Kepulauan Nusantara, orang-orang zaman ini lazim menyebutnya dalam satu nama generik: candi. Agaknya, penyebutan tadi diberlakukan pokoknya untuk setiap bangunan besar-kecil yang tersusun dari balok-balok batu andesit atau bata, terlebih jika di situ ada pahatan ornamen hingga relief tertentu serta ada pula temuan arca.
Di balik setiap bangunan kuno yang dinamai candi, sejatinya dapat dipillah menurut peruntukan asli yang satu sama lain bisa berlainan. Rupa-rupa jenisnya meliputi biara peribadatan, monumen pendarmaan, asrama, pemandian, bekas kompleks istana, bekas perkampungan, hingga sekadar gapura.
Nah, Jawa Tengah yang meliputi Provinsi Jawa Tengah serta Daerah Istimewa Yogyakarta begitu berlimpah candi. Mayoritas adalah peninggalan Kemaharajaan Medang atau yang di buku sejarah sekolah acap disebut Mataram Kuna atau Mataram Hindu-Buddha. Berdasarkan lokasi tapak berdirinya, candi-candi di Jawa Tengah dapat digolongkan ke dalam empat klaster utama.
Klaster pertama adalah Dataran Tinggi Dieng yang meliputi Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara saat ini. Klaster kedua, lereng Gunung Ungaran dan seputaran Rawa Pening. Candi-candi yang ada di dua klaster ini terbilang mungil-mungil.
Untuk candi-candi dengan ukuran lebih besar, megah, bahkan raksasa, berdiri di klaster ketiga dan keempat. Klaster ketiga, Dataran Kedu yang kini meliputi Kabupaten berikut Kota Magelang serta Kabupaten Temanggung. Di klaster ketiga ini ada candi-candi semacam Borobudur, Mendut, dan Ngawen. Klaster keempat, Dataran Prambanan yang kini meliputi sisi timur Kabupaten Sleman, sisi barat Kabupaten Klaten, juga sekerat kecil dari Kabupaten Gunungkidul dan Kota Yogyakarta. Di klaster keempat ini ada candi-candi semacam Sewu, Prambanan, Ratu Boko, Kalasan, dan Sojiwan.
Nah, pernahkah bertanya tentang siapa sebenarnya pihak yang terlah membangun candi-candi di daerah ini? Tulisan in mencoba mengulas lebih lanjut lima versi tafsir tentang pihak yang telah membangun candi-candi besar-kecil di Jawa Tengah. Ya, ada soal alien yang membangun Candi Borobudur.
Tafsir 1 dan 2: Dari nabi hingga teknologi luar angkasa
Dua yang pertama dari versi tafsir tentang pihak pembangun candi-candi di Jawa Bagian Tengah, khususnya yang berdimensi megah hingga raksasa, bukanlah tafsir arus utama. Mereka menempati tafsir minor atau arus tepi dalam pemaknaan kesejarahan bangunan-bangnan kuno monumental di Jawa.
Tafsir yang pertama menyebut beberapa candi sebagai ciptaan Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis, penguasa Negeri Saba. Dua candi yang dikaitkan dengan dua tokoh tadi adalah Candi Borobudur dan Ratu Boko.
Beberapa buku terkait beredar di pasaran untuk menjadi bacaan penarasi tafsir tadi kepada publik. Bahkan konon sang penulis bukunya sampai bisa menjual semacam tur wisata ke Candi Borobudur dan Ratu Boko untuk orang-orang yang terpikat dan percaya versi tafsirnya.
Tafsir kedua menyebut canci-candi raksasa semacam Candi Borobudur dan Candi Prambanan sebagai kreasi alien. Tafsir ini beredar sporadis di medsos. Agaknya, banyak dari kandungan isinya terpengaruh narasi ala program dokumenter legendaris “Ancient Aliens” yang tayang sejak 2009. Acara ini bermula dari kanal televisi berbayar History.
Kita akan diajak meragukan kemampuan manusia abad VIII-IX Masehi untuk melakukan pemotongan presisi menghasilkan balok-balok batu andesit maupun memindah-mindahkan hingga mengangkat balok-balok tersebut. Jangan heran jika Anda sampai ketemu yang percaya tafsir ini.
Pengimannya bisa saja mengklaim adanya memori lamat-lamat orang Jawa terhadap keterlibatan alien dalam membangun Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Yang disodorkan antara lain kisah keterlibatan bala tentara makhluk halus yang membantu Bandung Bondowoso guna memenuhi permintaan ayang, Roro Jongrang.
Namun, dua versi tafsir ini merupakan contoh pseudohistori dan pseudoarkeologi. Tidak perlu dianggap serius. Tafsir ini dasarnya lebih banyak otak-atik gathuk alias cocokologi, tapi tanpa adanya sumber sejarah yang mencukupi. Alih-alih bisa menyodorkan bukti arkeologis maupun sumber sejarah yang valid, pencipta dan pengiman dua tafsir ini justru menyodorkan hitung-hitungan angka yang terkesan “wah” untuk dapat mengimpresi pembaca atau pendengarnya. Padahal ya itu permainan falasi red herring saja.
Karena itu, ulasan singkat tentang dua tafsir ini sejatinya bisa saja Anda skip saja. Tak masalah dan malah saya sarankan jika Anda langsung membaca tiga versi lain, yakni tafsir nomor 3, 4, dan 5.
Tafsir 3, 4, dan 5: Debat panjang tentang dinasti yang membangun candi
Tiga tafsir selanjutnya merupakan tafsir-tafsir tentang pembangunan dan pembangun candi-candi di Jawa Tengah, termasuk Candi Borobudur dan Prambanan yang mendasarkan tafsirnya kepada pendekatan ilmiah dan bukti historis. Tiga tafsir ini pada dasarnya menyepakati bahwa candi-candi besar-kecil di Jawa Bagian Tengah adalah hasil pembangunan yang dititahkan serangkaian raja yang berkuasa pada abad VIII hingga X Masehi. Raja-raja itu pun dapat dipastikan oleh para arkeolog dan sejarawan—dengan berdasarkan rujukan tulisan kuno maupun bukti artefak—bukanlah alien.
Tiga versi tafsir ini bolehlah kita sebut tafsir nomor tiga, empat, dan lima. Masing-masing berbeda pendapat tentang asal-asul para wangsa penguasa Jawa abad VIII hingga X Masehi.
Tafsir nomor tiga meyakini para wangsa penguasa Jawa, baik yang menganut agama Hindu maupun Buddha, sejatinya adalah pendatang dari luar pulau. Ada beberapa pendapat tentang asal-usul mereka. Ada yang menyebut datang dari India, Sumatera, Funan, maupun Champa di Indocina.
Tafsir nomor empat memiliki kemiripan dengan tafsir nomor tiga. Menurut tafsir ini, Jawa sampai abad IX Masehi menjadi tempat eksisnya dua dinasti penguasa yang saling bersaing. Satu di antaranya adalah Wangsa Sailendra yang beragama Buddha dan disebut berasal dari luar Jawa, khususnya Sumatera.
Namun, ada pula yang menyebut Wangsa Sailendra berasal dari India atau Indocina. Selama eksis di Jawa, Sailendra digambarkan berkontestasi hingga bahkan menjajah dinasti lain, yakni Wangsa Sanjaya yang kerap disebut wangsa asli Jawa.
Kisah kontestasi Wangsa Sailendra dan Wangsa Sanjaya inilah yang juga dikenal sebagai Teori Dua Dinasti. Ini terbilang menjadi pengetahuan yang paling populer sejak awal XX Masehi. Ini karena para sejarawan dan arkeolog yang paling awal mengkaji sejarah Nusantara serta mengilmiahkan narasinya memang berpendapat demikian. Pengajaran sejarah untuk murid-murid sekolah Indonesia berikut buku pelajarannya pun agaknya masih diwarnai oleh narasi Teori Dua Dinasti, Sailendra versus Sanjaya tadi.
Tafsir yang mengisahkan para penguasa pendatang dari luar Jawa yang lantas berkuasa muncul karena beberapa faktor. Pertama, tentu ketidakpercayaan bahwa orang-orang dari Jawa sanggup merintis sendiri peradaban maju hingga membentuk organisasi berlevel kerajaan dan imperium.
Kedua, prasasti-prasasti awal yang ditemukan di Jawa memang beberapa di antaranya memakai bahasa dan aksara dari luar Jawa. Contoh dari hal ini tentu adalah prasasti-prasasti keluaran Maharaja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanagara yang memakai aksara Pallawa dan berbahasa Sanskerta.
Oleh sebab itu, baik aksara maupun bahasa prasasti-prasasti dari Jawa Barat abad V Masehi itu memakai aksara dan bahasa dari India. Prasasti-prasasti awal di Jawa Tengah, abad VII hingga VIII Masehi, juga beraksara dan berbahasa luar Jawa. Sebut saja dalam hal ini Prasasti Sojomerto temuan di Batang dari abad VII Masehi yang berbahasa Melayu Kuna, lalu Prasasti Kalasan dari 778 Masehi yang berbahasa Sanskerta dan beraksara Pranagari, juga Prasasti Manjusrigrha dari 792 Masehi yang berbahasa Melayu Kuna.
Faktor ketiga yang menjadikan narasi condong kepada pemikiran bahwa penguasa Jawa wajar saja berasal dari puar pulau adalah keberadaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatera. Ingat bahwa Sriwijaya yang merujuk isi prasasti-prasastinya berdasar catatan pihak Tiongkok, diyakini berteritori sangat luas meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Tanah Genting Kra, hingga beberapa bagian pesisir utara Jawa, khususnya lagi di Jawa Barat.
Jadi, tak sedikit orang kemudian mewajarkan jika penguasa Medang alias Mataram Kuna di Jawa adalah percabangan dinasti penguasa di Sriwijaya. Kalau tidak demikian, penguasa Medang alias Mataram Kuna di Jawa pernah menjadi vasal para penguasa pendatang dari Sriwijaya di Sumatera.
Beberapa pakar sejarah yang berpendapat wangsa penguasa Jawa berasal dari luar Jawa adalah RC Majumdar dan George Coedes. Majumdar berpendapat bahwa penguasa Jawa, khususnya Dinasti Sailendra, berasal dari India Timur. Coedes berpendapat Wangsa Sailendra berasal dari Indocina. Pendapat dua pakar ini sering dipakai bagian argumen dari para pendukung versi tafsir nomor tiga dan empat soal asal-usul penguasa Jawa pada milenia I Masehi
Nah, versi tafsir nomor lima tentang asal-usul penguasa Jawa, khususnya yang berkuasa di Jawa Tengah abad VII-X, justru meyakini bahwa asal mereka ya dari Jawa. Tafsir yang meyakini wangsa penguasa Jawa adalah asli orang Jawa terbilang mantap berkembang sejak medio 1960-an, yakni sejak penemuan Prasasti Sojomerto di Batang yang lalu dibaca oleh epigraf Boechari. Pakar sejarah lain yang menjadi pendukung kuat versi tafsir nomor lima ini adalah Riboet Darmosoetopo.
Menurut tafsir nomor lima ini, dinasti penguasa di Jawa Tengah abad VII hingga X Masehi ya satu saja, yakni Wangsa Sailendra. Namun, di dalam wangsa ini ada para maharaja yang menganut Hindu dan ada yang menganut Buddha. Meski begitu, dengan merujuk isi Prasasti Mantyasih dan Prasasti Wanua Tengah III, para penguasa berbeda agama itu tetap satu keluarga besar, sama-sama orang-orang asli Jawa.
Menurut tafsir nomor lima ini, prasasti-prasasti berbahasa Melayu Kuna di Jawa abad VII-IX Masehi lebih merupakan indikasi lambatnya evolusi bahasa Jawa untuk mencapai taraf yang dapat digunakan sebagai alat literasi dan administrasi oleh kaum penguasa di Jawa. Prasasti dengan bahasa Melayu Kuna di Jawa tidak serta merta dapat dimaknai sebagai keterkaitan genealogis sejak awal penguasa Jawa dengan penguasa Sriwijaya. Jadi, siapa yang membangun Candi Borobudur dan Prambanan?
Hal ini juga tidak pula langsung menujukkan subordinasi pihak Jawa terhadap penguasa pihak Sumatera. Ini setidaknya ditandai dari isi Prasasti Sojomerto yang berisikan kalimat puja terhadap Dewa Siwa. Ini mengindikasikan keluarga penguasa yang mengeluarkan prasasti itu sebagai pemeluk Hindu. Ini artinya berbeda keyakinan agama dengan para penguasa Sriwijaya di Sumatera yang pada kurun yang sama sudah memeluk Buddha.
Nah, Anda mau percaya dengan tafsir yang mana? Alien yang membangun Candi Borobudur dan Candi Prambanan? Saya cuma bisa turut prihatin kalau begitu. Tapi, setidaknya, Anda membaca tulisan ini sampai selesai. Terkadang, sejarah itu sudah lumayan kalau dibaca, karena lebih seringnya diputarbalikkan.
BACA JUGA Panduan Menjawab di Mana Letak Candi Borobudur agar Kalian Nggak Salah Tag Lokasi di Instastory dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Yosef Kelik
Editor: Yamadipati Seno