Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Mata Uang Surga

Candra Malik oleh Candra Malik
20 Juni 2015
A A
mata uang surga
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Yang paling membahagiakan dari Ramadan hari-hari pertama adalah saya bisa berangkat ke masjid bersama anak laki-laki sulung saya untuk menunaikan ibadah salat Isya, dilanjutkan Tarawih. Meski harus memberinya uang saku Rp 5 ribu untuk jajan di jeda antara salat wajib dan sunnah, itu tidak mengurangi kebahagiaan saya. Di usianya yang belum genap 11 tahun, anak saya itu belum bisa menikmati sajian kultum.

Tapi, saya mulai berpikir, jika setiap hari harus menyogoknya untuk ke masjid selama 30 hari Ramadan, jumlahnya menjadi Rp 150 ribu. Padahal anak saya empat. Jika kepada setiap satu anak harus memberi sejumlah nominal yang sama, atas nama keadilan, sepertinya saya harus membiarkan kotak amal lewat begitu saja sebulan ke depan. Apalagi, saya masih harus membayar zakat, beli baju lebaran, dan lain-lain.

Bulan Suci Ramadan yang seharusnya menjadi bulan penghematan justru tak ubahnya menjelma bulan pemborosan. Diam-diam saya bersyukur: untung malam itu saya pergi ke masjid hanya dengan satu dari empat anak saya. Tapi, tebersit juga perasaan bersalah: mengapa harus khawatir tak punya duit yang cukup untuk memberi uang jajan selama Musim Tarawih? Ya, memang musim karena memang musiman.

Dan, ramai-ramainya orang pergi ke masjid untuk berjamaah Tarawih cuma pada sepekan pertama. Semakin ke tengah bulan, semakin sepi. Akhir bulan, atau menjelang Lebaran, angka kehadiran jamaah di masjid kompleks bisa menurun drastis karena Musim Mudik telah tiba. Musim Tarawih telah berganti Musim Mudik. Jumlah jamaah di masjid-masjid di daerah tujuan mudik-lah yang akan relatif membludak.

Saya mulai menghitung ulang potensi pengeluaran jika keempat anak saya ikut ke masjid setiap malam sepanjang Bulan Puasa. Jangan-jangan, semakin tengah bulan semakin besar pula kemungkinan anak-anak tidak mau ikut saya ke masjid. Oleh karena itulah, tidak ada salahnya jika sepekan pertama ini saya berusaha maksimal mengajak mereka ke masjid. Saya tak khawatir lagi pembengkakan akan sebesar kalkulasi sebelumnya.

Senyum saya semakin lebar menyadari anak bungsu saya yang masih berumur dua tahun tak akan jajan apa-apa—meski menerima pula selembar uang Rp 5 ribu. Begitu pun kakaknya yang belum genap berusia lima tahun. Keduanya bahkan belum tahu apa bedanya selembar Rp 5 ribu dan Rp 1 ribu. Ah, saya menjadi semakin bersemangat mengajak anak-anak ke masjid selama Ramadan tanpa khawatir kehabisan “uang sogokan”.

Kotak amal yang melintas di depan saya pun saya ganjal. Tidak boleh lewat sebelum saya masukkan selembar uang Rp 10 ribu, ditambah senyuman lebar. Apalagi ini Bulan Suci Ramadan yang penuh berkah. Di bulan-bulan di luar Ramadan, Allah akan membalas satu kebaikan dengan sepuluh pahala. Di Bulan Suci Ramadan, pahalanya akan dilipatgandakan! Uang Rp 10 ribu yang saya infakkan akan dilipatgandakan!

Tapi, nanti dulu. Dilipatgandakan jadi berapa ya, kira-kira? Jika pada hari-hari ke depan mendapat rezeki Rp 100 ribu, apakah itu dari pelipatgandaan sepuluh kali infak saya? Bila yang memasukkan uang ke kotak amal ini anak bungsu saya, apakah juga akan mendapatkan pelipatgandaan yang sama—meski ia tidak tahu beda antara lembar uang yang satu dengan yang lain? Bagaimana sesungguhnya definisi pahala itu?

Seringkali dalam kehidupan, terutama dalam beribadah, saya melakukan atau tidak melakukan sesuatu bukan lagi karena Allah, melainkan karena pahala. Jika ada pahalanya, saya cenderung ringan tangan mengerjakannya. Tanpa iming-iming pahala, sungguh berat hati saya untuk berletih-letih. Bahkan saya sempat berpandangan bahwa pahala adalah mata uang surga, sebagaimana rupiah adalah mata uang negeri saya.

Tak punya pahala, tidak bisa mendapat apa-apa di surga. Menjadi sangat beralasan jika saya rajin menabung pahala: mumpung masih di dunia. Hanya saja, terus terang, saya belum pernah melihat buku tabungan pahala saya, tidak tahu nomor rekeningnya, apalagi neraca saldo saya. Saya percayakan saja kepada malaikat pencatat. Saya kepincut sejak tahu sistem pelipatgandaan pahala berlaku setara untuk semua umur.

Sejak awal, Allah memang berpihak pada manusia. Kebaikan yang material (dengan uang) maupun yang immaterial (non-uang) sama-sama dikonversikan menjadi mata uang surga, yakni pahala. Di satu sisi, Allah akan membalas satu kebaikan dengan sepuluh pahala. Di sisi lain, satu keburukan akan dibalas satu dosa saja. Niat baik sudah dihitung satu kebaikan. Niat buruk tidak dihitung satu keburukan jika masih sebatas niat.

Betapa Allah itu Maha Pemurah dan Pengasih, pun Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Tidak tiap perbuatan buruk berujung dosa. Siapa tahu hanya berhenti pada urusan terhadap sesama manusia, bukan urusan dengan Allah. Pun jika terhubung pada Allah dalam urusan dosa, satu keburukan dibalas dengan satu dosa. Duh, betapa rendah akhlak saya yang hobi menyalahkan dan mengadili keburukan orang lain?

Saya melirik orang di sebelah saya yang tidak mengisi kotak amal, menilainya buruk dan salah. Boros untuk dunia, namun pelit untuk akhirat. Tapi, setelah saya pikir-pikir, dia tidak berbuat buruk dan salah apa pun—hanya tak mengisi kotak amal. Jangan-jangan, dia justru membatin,”Kelak jika sekaya orang di sebelahku ini, aku sisihkan rezeki untuk mengisi kotak amal.” Gara-gara niat baik, dia bisa mendapat satu pahala.

Selesai mengerjakan rangkaian ibadah di masjid, saya dan anak sulung saya bergegas pulang. Ada janji dengan ustadz yang akan mengajar anak-anak saya mengaji Al Qur’an. “Ustadz, kita terbuka saja. Berapa apresiasi yang harus saya siapkan untuk Ustadz tiap bulannya?” Ustadz itu menjawab, “Saya tidak tahu, Pak. Silakan saja berapa. Saya tidak sedang berjualan ilmu dan ayat Allah. Saya ini guru ngaji.”

Iklan

Saya terkejut mendengar Ustadz ini. Dia bilang, jika pun ilmu dan ayat Allah diperjualbelikan, tak ada yang sanggup membelinya. “Satu huruf Al Qur’an itu lebih baik daripada dunia seisinya. Saya harus jual berapa?” ujarnya.

Meski mengagumi sikapnya, saya toh realistis. “Ustadz tidak butuh uang?” Dia cepat menjawab,”Yang butuh uang itu transaksi.”

Duh, jangan-jangan selama ini saya mendekati Allah secara transaksional.

Terakhir diperbarui pada 7 April 2019 oleh

Tags: AllahSurgauang
Candra Malik

Candra Malik

Artikel Terkait

Rahasia di Balik “Chindo Pelit” Sebagai Kecerdasan Finansial MOJOK.CO
Esai

Membongkar Stigma “Chindo Pelit” yang Sebetulnya Berbahaya dan Menimbulkan Prasangka

29 Oktober 2025
Bagiku yang Pelajar, Uang Itu Penghalang. MOJOK.CO
Kilas

Bagiku yang Pelajar, Uang Itu Penghalang

11 Juni 2023
pahlawan pertama di uang rupiah mojok.co
Ekonomi

Siapa sih Pahlawan Pertama di Uang Rupiah Terbitan Bank Indonesia?

17 Desember 2022
Indra Ismawan: The Art of Money, Mengenal secara Mudah Seni Mengelola Uang
Video

Indra Ismawan: The Art of Money, Mengenal secara Mudah Seni Mengelola Uang

22 Agustus 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.