MOJOK.CO – Seorang lelaki ditimpa kesulitan dan mengucap nazar. Setelah tiba waktunya membayar nazar, ia membuat perhitungan agar mudah melunasinya. Apakah kau pikir Tuhan adalah pedagang yang bisa kau tawar?
Seorang lelaki sedang mengalami sebuah masalah besar yang melanda hidupnya. Sudah berbulan-bulan masalah ini belum bisa ia pecahkan. Dalam rangka mengurai masalahnya ia mendatangi teman-temannya agar mendapat masukan dan solusi. Namun, tak satu pun masukan maupun solusi dari temannya bisa membantu mengurai masalah yang mengimpit itu.
Suatu hari seorang teman menyarankan agar dia memintakan petunjuk kepada Allah. Ia disarankan agar banyak berdoa untuk membuka diri pada hidayah Tuhan. Dalam rangka meneguhkan niat keseriusannya mendapat petunjuk dan solusi, ia juga disarankan untuk menyatakan nazar agar permasalahannya bisa segera mendapat petunjuk.
“Kau sebaiknya menyatakan sebuah nazar, kawanku,” kata seorang teman. “Dengan cara itu kau menunjukkan kesungguhan niatmu mendapat petunjuk Tuhan.”
Saran temannya sempat menjadi perhatiannya. Tak lama setelah itu ia menyatakan nazarnya secara lisan.
“Jika masalahku ini terpecahkan, aku bernazar akan menjual rumahku ini dan uangnya akan kesedekahkan seluruhnya kepada fakir miskin,” ucapnya di suatu malam.
Hari segera berganti. Setelah nazar yang ia ucapkan ia mengalami banyak peristiwa dan mendengar saran-saran yang bisa membantunya menyusun sebuah tindakan dan solusi bagi permasalahannya. Lambat laun masalah besar yang melilit hidupnya bisa terpecahkan. Sungguh betapa bahagianya ia karena terlepas dari masalah besar yang telah menggelisahkannya berbulan-bulan. Saking senangnya, ia melupakan nazarnya.
Suatu malam saat memasuki kamar salatnya, ia melihat sebuah tasbih tergeletak di atas sajadah. Benda itu mengingatkannya pada malam yang pedih saat ia tenggelam dalam doa dan mengucapkan nazarnya.
Oh, iya, aku harus melunasi nazarku. Kenapa aku begitu pelupa, batinnya.
Sejak itu ia ingin segera menununaikan nazarnya. Ia merasa itu sebuah janji kepada diri sendiri dan Tuhan yang harus ia penuhi. Ia tidak ingin mengkhianati janjinya sendiri. Ia tak mau menjadi orang munafik.
Akan tetapi, ia punya masalah saat hendak menunaikan nazarnya. Ia berpikir jika rumahnya ia jual dan uang hasil penjualan itu ia berikan seluruhnya kepada fakir miskin, alangkah sayangnya. Ia menyesal kenapa dulu terlalu bersemangat mengucapkan nazar. Seharusnya ia tidak bernazar menjualnya rumah. Seharusnya ia menazarkan barang lain yang lebih kecil harganya.
Sayangnya, nazar tak bisa dicabut. Ia berusaha memutar otak agar bisa mengurangi kerugian akibatnya nazarnya yang tak mungkin ditarik kembali.
Setelah beberapa lama ia menemukan solusi jitu. Ia akan menjual rumahnya dengan harga satu dinar. Itu harga yang sangat murah. Selain itu ia juga akan menjual kucing yang meninggali rumah tersebut dengan harga sepuluh ribu dinar. Rumah yang ia jual tersebut harus dibeli sebagai paket tunggal bersama kucingnya. Jadi, seseorang yang ingin membeli rumah ini tidak boleh membeli rumahnya tanpa membeli kucingnya atau sebaliknya, hanya membeli kucing tanpa membeli rumahnya. Rumah dan kucing dijual sebagai kesatuan tunggal.
Tak lama setelah penjualan itu diumumkan, datanglah seorang pembeli yang tanpa menawar membeli paket jual ini. Sang pembeli menyerahkan uang sebesar sepuluh ribu satu dinar.
Sehari setelah jual beli dilakukan, si lelaki segera menunaikan nazarnya dengan membagikan uang satu dinar sebagai hasil penjualan rumahnya kepada fakir miskin. Sementara itu, uang hasil penjualan kucing yang bernilai sepuluh ribu dinar menjadi miliknya utuh dan ia simpan rapat-rapat. Di kemudian hari uang sepuluh ribu dinar tersebut ia belikan rumah lagi untuk ia tinggali.
Memang manusia sering melakukan tindakan seperti di kisah itu. Mereka punya tekad kuat untuk menjalankan ajaran agama atau ajaran-ajaran lain, tetapi mereka cenderung menafsirkan ajaran tersebut sesuai apa yang bisa menguntungkan diri mereka. Jika mereka tidak segera melatih dirinya untuk mengatasi dan menghilangkan kecenderungan ini, mereka sungguh tidak akan pernah benar-benar belajar.
Dinukil, disadur, dan dikembangkan dari Idries Shah Tale of Dervish, 1969.
Baca edisi sebelumnya: Cara Burung India Lepaskan Diri dari Kurungan Tuannya dan artikel kolom Hikayat lainnya.