MOJOK.CO – Malioboro kini bukan Malioboro yang dulu. Kini, ia tak punya nyawa dan gairah. Persis seperti kata “istimewa” dari Jogja yang ternyata pencitraan semata.
Dengan dalih mencari referensi untuk skripsi, pada 2019, saya seorang diri menempuh perjalanan dari Purwokerto ke Jogja. Kala itu ada kali kedua saya datang ke Jogja dan menjadi satu titik dalam pusaran kerumunan yang tersedot citra “Istimewa”.
Destinasi pertama saya jelas Taman Pintar untuk mencari buku di lapak-lapak yang koleksinya bertumpuk-tumpuk. Beberapa buku berhasil saya beli berbekal ilmu menawar yang sungguh payah.
Usai memburu buku, salah satu kawan saya yang di ada Jogja menghampiri. Olehnya, aku di ajak ke Masjid Kauman. Kami mengobrol selayaknya kawan yang lama tidak bertemu, sembari menikmati cilok seharga lima ribu. Sayang, kawan saya tak bisa berlama-lama. Dia mahasiswa yang aktif berorganisasi, harus rapat dan ini itu. Jadi, saya kembali seorang diri.
Merasakan Malioboro yang bukan main ramainya
Lantaran hanya sendirian, saya memutuskan untuk jalan-jalan di Malioboro. Bukan main ramainya.
Para penjual begitu bergairah di sisi kanan kiri pinggir jalan. Pelancong dari berbagai daerah dan luar negeri lalu-lalang. Pengamen tunanetra mengamen dengan speaker di dekatnya. Para nenek penjual sate ayam dan sate telur mengisi tempat kosong di sela-sela bangku-bangku Malioboro.
Seniman-seniman jalanan tak kurang kreatif. Penari diiringi musik tradisional berjoget dengan lincahnya. Baju-baju, pernak-pernik, makanan semuanya ada!
Malioboro memang penuh dengan seni kehidupan. Semakin larut, pengunjung semakin padat. Hingga pukul 6 pagi saja, Malioboro masih ramai. Orang-orang menyeringai dengan berbagai gaya menghadap kamera.
Beberapa bangku terisi orang-orang yang terlelap dengan damainya. Saat sarapan gudeg di emperan, si ibu penjual bilang, “Malioboro baru mulai akan lengang sekitar jam 10 pagi.”
Covid menghantam Jogja
Pada 2020, pemerintah memberlakukan lockdown karena Covid-19 di banyak tempat. Termasuk Jogja dan Malioboro.
Saya melihat dari layar televisi, Malioboro begitu lengang, begitu kosong, dan terlihat petugas sedang menyemprotkan disinfektan. Melihat itu batin saya seketika terguncang.
“Ke mana ribuan orang yang menggantungkan hidup di Malioboro? Bagaimana cara mereka melanjutkan hidup? Apa kabar para nenek penjual sate, para pengamen, seniman, dan pedagang kaki lima di sana?”
Agak sulit membayangkan keadaan mereka. Ketidaksiapan menghadapi situasi ini terlihat di mana-mana, tidak hanya di Jogja dan penghuni Malioboro.
Bergeser 2 tahun kemudian, pada 2022, Covid mereda. Apakah kesejahteraan kembali memeluk PKL Malioboro seperti sediakala?
Pada 2022 itu, saya kembali ke Jogja dan menetap selama 2 tahun. Dan sampai saat ini, saya belum memutuskan untuk tinggal lebih lama atau benar-benar meninggalkannya.
Setelah 2 tahun tinggal di Jogja, saya masih sempat menilik Malioboro, meski tidak sering. Malioboro masih ramai, dan selalu ramai. Terlebih malam Minggu, ketika naik motor saja sulit untuk menembus kemacetan di depan Stasiun Tugu.
Ternyata, orang-orang masih penasaran dengan Istimewanya Jogja di Malioboro. Antusiasme para penikmat romantisme tak berkurang sejak dulu, mungkin malah bertambah. Terlebih kalau mendengar lagu Adhitia Sofyan “…terbawa lagi langkahku kesana, mantra apa entah yang Istimewa, kupercaya selalu ada sesuatu di Jogja.”
Baca halaman selanjutnya: Jogja tidak istimewa, Malioboro tak lagi sama.