Apa yang terlintas dalam benak sampeyan ketika mendengar kata ‘Madura’? Sate, pedagang barang bekas, mur dan baut Suramadu yang hilang , manusia tempramental, carok atau penyair Zawawi Imron? Betul, bisa saja yang terlintas demikian, semua yang disebut memang identik dengan Madura. Tapi ada satu hal lagi yang sangat identik dengan Madura, yaitu Pak Sakera (catat, Sakera, bukan Shakira yang waka waka).
Selain ‘Karapan Sapi’, Pak Sakera juga sangat melegenda dan acap dianggap menjadi simbol Madura: Seorang lelaki berkumis tebal, memakai udeng, kaos bergaris horisontal merah putih, dan kerap berpose sambil mengacungkan clurit.
Jika sampeyan tengah jalan-jalan di daerah Jawa Timur lalu menemukan poster yang ditempel di tembok atau lukisan mural pinggir jalan dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan di atas, itulah Pak Sakera, si mandor perkebunan tebu dari kota kecil barat Pasuruan, Bangil, pada masa penjajahan Belanda.
Dengan clurit di tangan dan kebengalannya—karena harga dirinya diinjak-injak—ia membuat bule-bule dari negara Kincir Angin kewalahan. Tak salah jika kemudian Pak Sakera adalah representasi (maskulinitas) Madura.
Tapi, sebentar, kok justru orang Pasuruan menjadi simbol Madura?
Memang aneh kedengarannya, sebab secara geografis, Pasuruan dan Madura jaraknya relatif jauh, lebih-lebih dengan kota Sumenep sebagai pusat kebudayaan Madura. Pasuruan dengan kotanya penyair M Faizi itu berjarak kurang lebih 250 KM. Namun, meski jauh dalam jarak, kedua kota tersebut tetap dekat secara emosional dan kultural.
Pasuruan, sebagaimana kota-kota di bagian timur (dikenal juga dengan istilah wilayah ‘Tapal Kuda’) Jawa Timur yang meliputi Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, Lumajang dan sebagian Banyuwangi, memang lebih dekat dan lebih lekat dengan budaya Madura ketimbang Jawa, meski secara geografis letaknya berada di pulau Jawa. Ini berkaitan dengan sejarah perpindahan orang Madura pada dahulu kala.
Maka, jangan heran ketika ada orang bertanya, “dari mana asalnya, Mas?” lalu dijawab “Probolinggo”, balasan selanjutnya sudah pasti bisa ditebak: “O, Madura, ya?”. Atau ketika sampeyan pergi ke Jakarta atau Bali, atau di mana saja, lalu makan di warung sate Madura dan bertanya ke penjualnya, “Madura mana, Pak?” lalu dijawab “Jember”, Anda tak perlu lagi bingung memikirkan sejak kapan Jember masuk Madura.
Persis di sinilah letak fungsi budaya dan bahasa. Seperti bunyi pepatah Melayu itu, “bahasa menunjukkan bangsa”. Seseorang dapat dikatakan sebagai Madura tanpa harus mendiami pulau Madura, namun cukup dengan berbahasa dan berbudaya Madura saja. Pas sudah!
Orang-orang yang mendiami wilayah ‘Tapal Kuda’ ini: Pasuruan, Probolinggo, sampai Banyuwangi, biasa dirangkum dengan sebutan orang ‘Pendalungan’, atau ‘Madura Pendalungan’. Namun, tak sedikit pula dari mereka yang berkelakar menyebut dirinya sebagai ‘Madura Swasta’.
Sebutan yang terakhir tadi kerap muncul dari orang-orang yang saya duga tidak pede dengan budayanya sendiri, tidak memahami sejarah tanah airnya, dan terlebih lagi tidak pernah memegang clurit. Ya, clurit, senjata yang berbentuk tanda tanya itu.
Dan juga, para ‘Madura Swasta’ itu tadi biasanya mati-matian menggunakan bahasa Jawa dalam setiap tuturnya untuk menghilangkan jejak orisinil ke-Madura-annya. Meski pada akhirnya tetap saja gagal lantaran aksen te satte dan tellok lema’-nya terlalu kental.
Padahal, jika kita mau sedikit lebih sportif, ‘Madura Swasta’ itu sebenarnya tidak ada. Semua Madura itu ori, asli, sebab letak geografis bukanlah penentu sebuah identitas.
Sebagaimana kita mengatakan orang Australia atau New Zealand itu orang barat, meski letaknya dari posisi kita tidak berada di barat. Atau menyebut orang Turki sebagai orang Timur, padahal negaranya saja terletak di Eropa.
Lalu apa yang membedakan ‘Madura Swasta’ dengan ‘Madura Ori’ yang ada di seberang sono? Salah satunya adalah gaya ‘campur sari’-nya.
Bagi sampeyan yang ingin berpergian ke daerah ‘Tapal Kuda’ dan bisanya hanya berbahasa Jawa, jangan khawatir orang sana akan mencampakkan omongan sampeyan karena tak dimengerti. Sebab orang ‘Tapal Kuda’ pun juga menggunakan bahasa Jawa, meski dengan gaya bahasa Jawa tersendiri yang dicampur aduk.
Itulah ‘Madura Tapal Kuda’ atau ‘Pendalungan’. Madura dengan wilayah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Majapahit Timur pada zaman Arya Wiraraja.
Nah, bagaimana dengan persamaannya? Ya, keduanya sama saja.
Ada ‘Karapan Sapi’. Ada orang yang tiap ngomong selalu berteriak-teriak macam orang marah. Ada deretan pesantren–bahkan dalam satu desa ada tiga sampai empat pesantren. Ada clurit dan ‘Carok’. Sebaiknya Anda jangan coba-coba nyolek istri orang sana, karena untuk kasus ‘Carok’, tak ada Madura yang “swasta”.
Selain itu, ada pula “agama” Nadlatul Ulama (NU).
Lho gimana?
Bagi orang Madura, NU itu bukan sekadar organisasi atau kelompok yang diketuai Gus Said. NU sudah mendarah daging dan dianggap semacam sub judul dari agama Islam yang juga memiliki kedudukan sama tinggi dengan Islam itu sendiri. NU dengan Islam, bagi orang Madura, tak ubahnya Romeo dan Juliet, atau Mas Anang dengan Mbak Ashanty.
Maka jangan heran ketika orang yang sangat dihormati di dalam NU, lalu ia menjadi presiden dan dilengserkan begitu saja, pohon-pohon asam di sepanjang jalan di Situbondo akan ditumbangkan sebagai bentuk protes. Dan ribuan orang ‘Tapal Kuda’ pun akan bergegas menyerbu Jakarta. Itulah orang-orang NU Madura.
Anda kira kenapa almarhum Gus Dur mengambil menantu orang Madura dari Probolinggo? Tentu karena beliau sangat paham bagaimana loyalitasnya orang Madura.
Jadi, bagi sampeyan mbak-mbak muslimah yang masih jomblo dan ingin punya pria setia, segeralah cari orang Madura. Karena selain sebagian besar dari mereka adalah santri, pria Madura juga menawarkan sensasi liar lewat ramuan obat kuat yang terkenal itu, lho. Satu hal lagi: para pria Madura itu rajin menabung demi mewujudkan cita-citanya untuk naik haji.
Ya, naik haji memang cita-cita Madura kebanyakan, entah itu yang konon ‘Madura Swasta’ maupun yang ori.
Sebelum menutup tulisan ini, berikut dua hal lain yang perlu Anda ingat ketika berbincang dengan orang Madura:
Pertama, jangan pernah sekali-kali menanyakan warna hijau kepada orang Madura karena warna itu memang tak dikenal oleh mereka. Dan kedua, jangan pernah pula tanyakan mengapa di Madura tak pernah ada Taman Kanak-Kanak. Karena apa?
Karena yang ada hanyalah Taman Nak-kanak.