MOJOK.CO – Sudah sejak lama bau busuk limbah Pabrik Gula Madukismo menyiksa hidung warga Jogja. Baunya busuk dan sangat menyiksa.
Tiga buah replika batu baterai ABC raksasa tegak berdiri di sisi selatan Kota Jogja. Landmark Kasihan, Bantul, ini seperti mengawasi kendaraan yang lalu-lalang. Terutama barisan truk pengangkut tebu yang berjalan ke selatan. Ikuti truk itu, dan Anda akan sampai ke sebuah kompleks pabrik tua. Sekarang tutup mata Anda, lalu biarkan hidung menghirup udara sedalam mungkin.
Bau sekali bukan? Kadang tercium aroma yang kelewat manis. Saking manisnya, warga sekitar sering bercanda kalau Anda bisa kena diabetes hanya karena menghirup baunya. Tapi tidak hanya bau manis, ada juga bau busuk yang menyengat. Sumber bau itu adalah Pabrik Gula dan Pabrik Spiritus (PGPS) Madukismo yang berada di Bantul, Jogja (Baca: Daerah Istimewa Yogyakarta).
Sialnya, tidak semua orang peduli pada masalah bau ini. Bahkan banyak memandang bau busuk Madukismo ini harus diterima. Alasannya sederhana tapi menyebalkan sekali: pabrik gula tersebut sudah berdiri lebih dahulu daripada permukiman warga. Akhirnya protes menjadi sunyi. Bau limbah tetap abadi.
Apa betul masyarakat tidak boleh protes hanya karena Madukismo berdiri lebih dulu? Apakah masyarakat tidak boleh bernafas lega tanpa terganggu “manisnya” limbah? Atau seperti template khas Jogja, warga harus narimo ing pandum? Narimo ketika Madukismo ngedum ambu badheg limbahnya?
Madukismo, penolong warisan Sultan HB IX
Mungkin kita membayangkan bahwa PGPS Madukismo sudah berusia ratusan tahun. Namun menurut website resmi Madukismo, pabrik ini baru berdiri pada 1955. Sultan Jogja membangkitkan pabrik ini dari puing-puing pabrik gula peninggalan Belanda.
Harapan Ngarso Dalem, berdirinya pabrik ini akan menolong masyarakat sekitar. Saat itu, banyak orang yang kehilangan mata pencaharian semenjak pabrik tersebut dihancurkan. Akhirnya pabrik warisan Sri Sultan HB IX hadir dan menjawab keresahan ini.
Tidak hanya mempekerjakan sebagai buruh pabrik. Madukismo juga menggerakkan ekonomi dari lini pariwisata. Kini Madukismo juga menjadi sentra agrowisata populer di Jogja. Ingin merasakan naik kereta lori keliling pabrik kuno ini? Sangat bisa.
Namun di balik gemerlap Madukismo, ada yang menyeruak mengganggu senyum bangga. Seketika bibir mengkerut dan dahi mengernyit. Menahan bau luar biasa yang katanya, “Kan sudah duluan pabriknya daripada penduduknya!”
Baca halaman selanjutnya: Mau sampai kapan bau busuk limbah menyiksa warga?
Bau manis yang tidak nyaman
Ada banyak hal yang bisa saya bahas tentang Madukismo. Tapi saya ingin membahas perkara bau menyengat ini. Alasannya sederhana: setiap hari saya, dan banyak orang Jogja, harus menghirup bau limbah pabrik tersebut. Mungkin Anda penasaran, memang separah apa bau limbah Madukismo?
Saya tidak bermaksud hiperbola. Namun, saya masih lebih memaklumi bau depot pembuangan sampah Jogja yang sudah tidak karuan itu. Kalau beruntung, Anda akan mencium bau limbah Madukismo bahkan dari jarak satu kilometer. Kadang bisa lebih jauh jika alam sedang tidak berpihak. Apalagi ketika pabrik ini sedang masuk musim giling dan suling.
Bau limbah Madukismo itu unik. Kadang baunya sangat manis. Seperti bau karamel yang mendidih. Menusuk hidung dan bikin eneg. Wajar jika muncul gurauan kalau bau Madukismo bisa membuat diabetes. Tapi bau ini masih lebih mending daripada bau setelah beberapa minggu berjalan.
Bau manis Madukismo beralih menjadi bau busuk. Saya merasa ini seperti bau fermentasi. Maklum saja, namanya juga pabrik gula yang tinggi glukosa. Bau busuk ini jelas tidak nyaman, meskipun mau diromantisasi seperti apapun. Menyengat tajam apalagi jika Anda masih dalam radius satu kilometer dari pabrik.
Apakah semua orang tak acuh pada bau ini? Atau pura-pura melupakan bau limbah Madukismo? Sebenarnya, pabrik ini telah mendapat protes keras pada 2016. Terutama perkara limbah cair yang diduga dibuang di Sungai Bedog. Namun, dari 2016 sampai sekarang, bau limbah Madukismo tetap tidak berubah. Tetap mengganggu dan meneror orang yang melintas.
Apakah perlu maklum pada bau limbah?
Setiap berdiskusi tentang bau limbah Madukismo, pasti argumen pertama adalah perkara siapa yang duluan ada di sana. Sebenarnya Madukismo tidak setua itu. Namun tetap saja dianggap lebih dulu daripada masyarakat. Sayang, saya belum menemukan data kependudukan area Padokan sebelum Madukismo. Tentu data itu bisa menjadi sanggahan argumen yang sebenarnya nggak masuk akal sama sekali itu.
Tapi, apakah perkara siapa yang lebih dulu ini penting? Tidak! Karena setiap orang Jogja berhak untuk hidup nyaman dan bebas dari polusi. Mau berdiri dari era Medhang Kamulan sekalipun, pabrik harus menjamin lingkungan yang aman dan nyaman bagi masyarakat.
Mari kita kembali pada UUD 45. Tepatnya pasal 28H ayat (1). “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Setiap orang, tidak peduli warga asli maupun pendatang di daerah sekitar Madukismo. Bahkan bagi pengendara motor seperti saya yang wira-wiri di sekitarnya.
UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menegaskan perihal ini. UU ini mengatur kewajiban setiap orang dan badan usaha untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan mengendalikan pencemaran. Sekali lagi, hukum ini tidak dihalangi oleh argumen, “Pabriknya yang duluan berdiri.”
Masih kurang? Ada pula P.68/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Industri. Serta P.18/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2016 tentang Baku Mutu Udara Ambien Nasional. Kedua peraturan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyoroti perkara emisi standar, termasuk bagi pabrik.
Tidak ada satu saja Undang-Undang yang membebaskan pabrik untuk menebarkan bau busuk limbah. Bahkan jika pabrik tersebut sudah berdiri ratusan tahun. Mengolah limbah adalah tugas pabrik, termasuk Madukismo. Bahkan jika sudah dilakukan pengolahan, tetap harus dimaksimalkan. Pokoknya sampai setiap orang mendapat hak untuk hidup di lingkungan baik dan sehat.
Tidak perlu menunggu protes, Madukismo pasti peduli
Mungkin protes langsung tentang bau limbah ini tidak benar-benar muncul. Tapi keluhan dan rasan-rasan warga sekitar Madukismo pasti sudah terdengar. Sekarang tinggal PGPS Madukismo yang bisa mengambil keputusan.
Tentu jangan tanyakan solusi pada kami, warga Jogja. Tidak semua masyarakat punya ilmu yang cukup untuk mengatasi masalah bau limbah. Apalagi dengan takaran sebesar Madukismo. Tapi saya yakin, Madukismo sedang menyiapkan program untuk ini. Yah, mungkin hanya sedikit lama saja… dari delapan tahun lalu.
Tapi, sampai hari itu tiba, jangan lupa memakai masker setiap lewat Madukismo. Hidung Anda berhak menghirup udara yang sedikit lebih segar. Tapi tetap saja, bau manis yang terlalu manis itu akan mencari celah. Bertemu dengan impuls saraf Anda sebagai sapaan, “Selamat datang di Madukismo!”
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Manisnya Jogja sebagai Kota Gula di Awal Abad ke-20 dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.