Sebagai bangsa yang masih makan produk pertanian karena share-share-an hoax dan komen di FB belum bisa ditongseng atau dikukus, September hari ke-24 yang merupakan Hari Tani Nasional justru bergaung kecil. Padahal, sebagai penduduk negara agraris, orang Indonesia masih menyebut negerinya “tanah air”.
Saya cucu seorang petani. Jadi, ada rasa wajib untuk meramaikan peringatan ini. Hari ini saya ingin cerita tentang suka duka kehidupan saya yang meski bukan lulusan IPB, tapi tidak juga menjadi petani ataupun mengerti dunia pertanian.
Jadi cucu maupun anak petani jaman now singkatnya seperti ini: nggak tahu-tahu banget soal siklus tanam, nggak tahu-tahu banget gimana cara ngurusin tanaman, nggak tahu-tahu banget soal pupuk-pupukan, nggak tahu-tahu banget soal hama-hamaan. Yang saya tahu adalah cara selfie yang baik, menyuburkan jumlah like, dan menyemai bibit-bibit debat nirfaedah di media sosial.
Lalu bedanya dengan anak kota apaan? Tempat pacarannya. Titik.
Memang begitulah adanya, meski nggak semua anak/cucu petani kayak gitu. Kebanyakan anak/cucu petani malah nggak mudeng babar blas sama dunia pertanian. Pada diri saya, yang demikian bisa terjadi justru karena saya mengikuti apa yang kakek-nenek dan orang tua harapkan: sekolah, sekolah, sekolah. Kerja, kerja, kerja. Nikah, nikah, nikah.
Ketika kecil, saya cukup sering diajak ke sawah, semacam trip field begitu, melihat langsung apa yang kakek nenek kerjakan. Sambil menatap bahagia diselingi senyuman kepada generasi penerus, simbah berkata, “Begini lo, Le, caranya nanam padi,” atau “Begini lo, Le, caranya bersihin rumput.” Tapi, itu informasi untuk sekadar tahu, besok-besok saya tidak perlu melakukannya kalau tidak terpaksa, atau melakukannya hanya sebagai selingan. Karena petani kok saya rasa oleh orang desa saya tidak dianggap sebagai pekerjaan, tetapi lebih sebagai jalan hidup. Seperti Naruto yang memilih jalan hidup untuk menjadi seorang hokage.
Maka, wajar apabila anak cucu petani lebih didorong untuk berprestasi di sekolah daripada tahu ilmu menanam padi agar nasinya nanti enak dimakan. Hal penting seperti itu tidak diajarkan di sekolah, tapi ya bodo amat, anak-anak nggak perlu tahu, yang penting bisa kerja kantoran. Nasihat-nasihat yang muncul kemudian, “Sudah, kamu mikir sekolah aja, urusan sawah biar aku saja”. Celakalah ketika semua anak petani akhirnya jadi pintar di sekolah tapi ketika disuruh bantu menanam ataupun panen tak berguna sama sekali.
Dan itulah yang saya alami.
Sawah simbah saya cukup banyak dan terletak di dua desa berbeda. Tiga petak ada di dekat rumah, dua petak ada di desa lain yang jaraknya 5 km. Untuk mengurus sawah ini, karena cucunya useless, simbah sering meminta bantuan beberapa tetangga ataupun saudara. Karena nggak bisa bantu praktik di sawah, hal yang bisa saya bantu di antaranya ialah memasak dan mengantarkan makanan untuk mereka yang bekerja di sawah, dan ketika panen memaksimalkan timbunan lemak tubuh untuk ikut mengangkut hasil panen ke lumbung. Prestasi saya sebagai cucu petani mentok di situ.
Di saat menjadi useless seperti itulah kadang saya membatin, mbok ya muatan lokal di sekolah itu jangan cuma bahasa daerah, tetapi juga pelajaran yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Kalau di lingkungan petani ya pelajaran tentang tanam-menanam, hama dan membaca iklim serta cuaca, kalau di lingkungan pantai ya tentang ikan begitu. Soalnya orang-orang tua yang petani maupun nelayan ya nggak bakal mengajarkan kecuali si anak kepepet menjalani pekerjaan yang sama dengan orang tuanya.
D sisi lain, meski cucu dan anak petani jaman now lebih melek teknologi dibanding tentang jagung, kacang, dan padi, bukan berarti nggak ada gunanya juga sih. Dulu gapoktan (gabungan kelompok tani) di desa saya terpilih untuk mengikuti lomba tani tingkat provinsi. Salah satu yang harus disiapkan adalah membuat video dokumentasi. Oleh sebab bapak ibu petani ini lebih fasih memegang cangkul dibanding memegang kamera, mereka membutuhkan bantuan pihak lain. Menyewa jasa pembuatan video jelas memakan biaya banyak, apalagi waktunya sudah mepet. Walhasil, salah satu pengurusnya yang notabene tetangga saya sendiri meminta bantuan kepada saya. Di situlah saya merasa bangga bisa ikut andil dalam dunia pertanian meski dengan cara yang berbeda.
Memang apa yang saya lakukan di atas bukanlah langkah untuk mengurangi kekhawatiran bakal berkurangnya jumlah petani di masa depan, tetapi membuka suatu jalan baru bahwa pendekatan pertanian dengan teknologi sudah tidak bisa dianggap remeh lagi. Mungkin petani sekarang jarang mengajarkan ilmunya kepada keturunannya tetapi itu bisa diakali dengan membuat video tutorial, misalnya. Yang kayak gini kan disukai oleh generasi sekarang.
Untuk itu, saran aja sih ya buat pemerintah, kalau ingin anak muda mau bertani, jangan cuma memperbanyak sekolah formalnya saja, tetapi juga sekolah informal yang dikolaborasikan dengan teknologi. Saya yakin sih kids jaman now itu kalau sudah ada embel-embel teknologi terkini bakal tertarik. Ini bukan hanya PR-nya menteri pertanian, tetapi juga menteri pendidikan dan menteri komunikasi.
Tapi … usul itu jadi nggak berguna kalau kondisi petani masih kayak sekarang: disibukkan dengan urusan ke pengadilan karena tanahnya dijadikan tambang, pembangkit listrik, wilayah konservasi, perkebunan, tempat latihan militer, bandara, hingga kota/pulau baru. Itu kelihatan kok ketika menyaksikan bagaimana petani merayakan Hari Tani dari tahun ke tahun. Bukan dengan festival, pesta, atau perayaan kegembiraan, tapi dengan aksi demonstrasi.
Memang ya, sudah benar itu mahasiswa pertanian IPB nggak cocok jadi petani jaman now. Anak-anak lulusan Fakultas Hukum yang lebih pantas. Siang nyangkul, malam nyusun berkas pengadilan. Itu pun kalau anak hukumnya nggak jadi lawyer korporat.