MOJOK.CO – Sukarno juga pernah menjajaki penguatan langit Indonesia. Supaya, Indonesia, selain kuat di darat, juga jago di air, dan piawai di angkasa.
Barangkali, di beranda media sosialmu nggak lewat informasi dari Semeru ini jelang 1 Suro. Yakni, sebuah video TikTok yang memperlihatkan jajaran benda bercahaya mirip bintang melintasi langit Indonesia.
@gbchannel87 Setelah muncul pelangi ditengah malam,lalu muncul seperti bintang yg berjajar memanjang melintas di Gunung Semeru.. ☝🌋🌟🌟🌟🌟😧 #fenomena #gunungsemeru #fyp #misteri #semeru #fypシ #bintang #meteor @Jhony Vanbejhon ♬ original sound – putriariani
Portal Kompas yang memberitakan konten Tiktok itu. Dan, konten berita “rasi bintang” ini menjadi salah satu yang terpopuler. Jarang-jarang soal “langit Indonesia” seperti ini menjadi viral dan menempati artikel terpopuler.
Baguslah Kompas nggak terkena delusi sebagaimana gaya tekno media yang masih berada dalam satu keluarga mereka, Tribunnews. Sudah terbayang seperti apa judulnya. Amit-amit.
Jurnalis Kompas ini tampaknya masih sangat waras dan awas. Maka, berita soal Tiktok itu hanya dikasih dua paragraf paling atas, selanjutnya konfirmasi sains. Bahwa, apa yang dilihat di Gunung Semeru itu bukan sesuatu yang gaib-gaib; itu jajaran satelit Starlink yang dipunyai SpaceX. Perusahaan Lord Elon Musk.
langit Indonesia: Mistis, takhayul, dan dongeng
Sebelum Kompas mengikutkan wawancara peneliti antariksa yang bergiat di BRIN atau Badan Riset dan Inovasi Nasional, komentar spekulasi menjadi-jadi memang di kolom komen.
Rata-rata berbau mistis dilambari beragam narasi bercorak agama. Dan, memang, apa pun soal “langit Indonesia”, narasi agama yang mendominasi. Langit itu sesuatu yang misterius. Narasi yang menjangkau hal-ihwal misterius itu biasanya menjadi lahan basah agama.
Misalnya, gerhana matahari total di tahun 1983. Ah, lihat sendiri saja, video dokumenter dari TVRI saat mengadakan siaran langsung. Terutama, bagaimana respons masyarakat dan bagaimana negara “membiarkannya”.
Nah, di tahun 2022, walau tak ada seujung kuku kehebohan gerhana ’83 dibanding dengan fenomena “bintang berjejer di Semeru”, cara berpikir tetap saja sama. Apalagi, kemunculannya tepat jelang datangnya 1 Suro. Syedap. Langit Indonesia makin mistis.
Di langit yang sama, di negara yang sama, di generasi masyarakat yang berbeda, tetapi cara memandang langit umumnya sama. Tidak banyak beranjak.
Ini mirip respons pengurus negara atas angkasa. Tidak jauh berbeda. Langit Indonesia itu dianggap hal sepele. Atau, terra incognita. Daerah tak bertuan. Bahkan, tak terjangkau dengan akal dan pengetahuan sains. Puluhan tahun diabaikan.
Bukannya hal itu tidak disadari para pemimpin setelah Indonesia berhasil menekuk Belanda di KMB di akhir 1949 dan kita mulai menapaki bagaimana bernegara yang tidak terlalu nauzubillah salahnya.
Yuri Gagarin
Tan Malaka pernah bilang jauh sebelum Indonesia Merdeka di Madilog, masyarakat berpikir mistis menjadi penghambat kemajuan. Sukarno tak ingin punya bangsa yang cara berpikirnya menghambat. Tidak ingin negara yang dipimpinnya berjalan di atas titian takhayul dan selubung mistika.
Maka, selain memperkuat laut, Sukarno juga menjajaki penguatan langit Indonesia. Supaya, Indonesia, selain kuat di darat, juga jago di air, dan piawai di angkasa. Demi sebuah ambisi besar menguasai dunia langit, tidak main-main, Sukarno meniatkan betul bertemu dengan idola baru sejagat: Yuri Gagarin.
Sepanjang 1961 sampai 1963, masyarakat Indonesia sedang geger dengan nama Yuri Gagarin. Dia kosmonot Rusia yang sukses terbang ke ruang angkasa dengan Vostok I. pada tahun 1961 dengan naik Vostok I. Bayangan akan kejayaan di langit Indonesia pun menguat.
Mengapa Gagarin menjadi berita nyaris tiap hari? Karena, Sukarno saat berkunjung ke Moskow berfoto dengan si doi. Bukan itu saja, Sukarno menganugerahi Yuri dengan Bintang Adipradana pada Juni 1961. Wow.
Pantas saja, nyaris tiap hari, Harian Rakjat memberitakan apa itu Vostok, siapa itu Gagarin, dan segala puja dan puji komunis tentu saja. Dan, soal ini pasti sampai ke desa-desa karena koran itu dibaca orang desa. Kalau di desa Anda, terutama di Jawa, para warga sepuh masih mengenal nama Yuri Gagarin, itu efek media yang bombastik mengabarkannya.
Saking terkenalnya, di tahun 2019, di Kebayoran Baru, Taman Mataram, berdiri patung Yuri Gagarin. Sekali lagi, patung Yuri Gagarin dengan pose sedang membentangkan tangan itu dibangun atas kerja sama pemerintah DKI dengan Rusia.
Cita-cita Sukarno
Kembali lagi ke Sukarno yang memang tidak main-main. Dia tidak sekadar asal berfoto dengan Yuri. Dia membawa misi di dadanya bahwa langit Indonesia haruslah kuat dalam pengertian yang sesungguh-sungguhnya. Bahwa, kita tidak boleh hanya bisa mendongak dengan donga tanpa kekuatan menggapai angkasa, tanpa ada ilmu menggapai langit.
Singkatnya, dongeng kehebatan di udara, di dunia pewayangan soal Gatotkaca, sudah cukup sebagai inspirasi, selanjutnya pembuktian. Berfoto dengan Yuri Gagarin adalah jalan mula bagi Sukarno membangun infrastruktur untuk kejayaan kita di angkasa.
Kronik sejarah kemudian mencatat, setahun setelah sesi berfoto dengan Yuri Gagarin di Moskow itu, menteri serba bisa H. Djuanda ditunjuk mengetuai panitia kecil bernama Panitia Austronautika. Dia dibantu R.J. Salatun.
Dari panitia kecil inilah terbentuk Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang ketetapannya diteken Sukarno sepekan setelah pagelaran olahraga Asia Afrika terbesar, Ganefo, ditutup.
Proyek ambisius memperkuat langit Indonesia ditetapkan. Yakni, bagaimana Indonesia bisa meluncurkan roket. Proyek yang kemudian bernama Proyek Roket Ilmiah dan Militer Awal (PRIMA) ini dikerjakan dua instansi berdasarkan nama proyeknya: AURI (militer) dan Institut Teknologi Bandung (ilmiah).
Proyek ini berjalan, sekali lagi, seiring berjalannya proyek besar lainnya. Ganefo atau olimpiade alternatif sukses. Proyek lebih besar lagi sedang disusun, yakni Conefo atau PBB tandingan. Industri besar seperti pabrik baja Krakatau Steel didirikan. Semuanya satu tarikan dengan proyek dirgantara dan keantariksaan PRIMA yang kemudian sukses meluncurkan dua roket seri Kartika I.
Bandara untuk roket yang belum juga terwujud
Lalu, saya pun membaca wawancara Ketua Lapan, Thomas Djamaluddin, pada 2014. Saya masygul bukan main karena sampai tahun 2014, kita tidak memiliki bandara antariksa. Bukan bandara di luar angkasa, lho, ya, tetapi bandara yang bisa meluncurkan roket ke langit Indonesia. Seperti bandara-bandara lain tempat menerbangkan pesawat.
Thomas juga membocorkan tempat strategi bandara itu. Kalau bisa, pas dengan garis Khatulistiwa supaya lebih dekat. Pilihannya, kalau bukan Morotai di Maluku Utara, ya, di Biak, Papua. Dan, di kedua daerah itu, tidak ada semeter pun tanah LAPAN.
Barulah medio tahun ini, 2022, pendirian bandara antariksa itu menjadi kasak-kusuk setelah didahului gosip panas pertemuan pejabat tertinggi negara dengan pengusaha tajir antariksa Lord Elon Musk.
Tampaknya, setelah pejabat teras negara itu balik lagi ke Indonesia, isu pembebasan lahan untuk LAPAN di Biak mulai menyeruak yang tentu saja bakal berhadapan dengan masyarakat adat.
Mari kita menunggu sambil mengukur betapa ada jarak begitu jauh dan renggang ketika bangsa ini malas-malasan memikirkan hal-ihwal langit Indonesia dengan segala daya upaya.
Sukarno sudah merintis dan terputus karena kudeta politik. Setelah itu, jalan di tempat dan kehabisan ambisi sambil menumpuk pikiran: kalau di darat masih luas untuk dijarah, ngapain mikirin yang tinggi-tinggi.
Bukan soal roket-roketan yang coba diterabas Sukarno, melainkan masyarakat kita bisa memandang langit Indonesia dengan rasa ketakjuban dan kebanggaan. Syukur-syukur kita punya lagu baru pendamping lagu lama itu: “Bintang Kecil”.
Ketakjuban yang tentu saja bukan tumbuh dari mistika karena sesuatu yang misterius, melainkan karena kita memiliki nama dan punya daulat ilmu mengelola kekayaan atas angkasa sendiri.
Kekayaan langit Indonesia
Kita memang berterima kasih kepada pemuka agama yang selalu menarasikan langit dengan bahasanya sedemikian rupa. Bahkan, setiap tahun jelang sehari lebaran, kita mengobrolkan langit dengan mengekernya sebagai penanda berakhirnya Ramadan dan besoknya makan kue nasional sepuas(a)nya.
Tapi, selain soal-soal itu, langit Indonesia juga menyimpan kekayaan. Tapi, bukan dengan agama menggapai dan mengeksplorasi kekayaan itu, melainkan sains.
Sialnya, saat kita masih sibuk mengukur lahan LAPAN untuk membuat bandara antariksa (roket), Lord Elon sudah buka toko waralaba bernama Starlink di bawah perusahaan besar SpaceX di angkasa tinggi sana.
Demikianlah. Bahkan, pada langit pun kita hanya men-donga-k sambil melihat dengan nanar berbagai tindakan konyol Kominfo termutakhir mengurus informasi dan situs web. Blokir. Itu.
BACA JUGA Manfaat Pesawat Luar Angkasa bagi Bangsa dan Manusia dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Editor: Yamadipati Seno