Lakukan Perbuatan Burukmu Sendirian, Tak Usah Bawa Agama atau Ajak-ajak Tuhan - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Logo Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Beranda Esai

Lakukan Perbuatan Burukmu Sendirian, Tak Usah Bawa Agama atau Ajak-ajak Tuhan

Abdul Gaffar Karim oleh Abdul Gaffar Karim
5 Juni 2020
0
A A
Lakukan Perbuatan Burukmu Sendirian, Tak Usah Bawa Agama atau Ajak-ajak Tuhan

Lakukan Perbuatan Burukmu Sendirian, Tak Usah Bawa Agama atau Ajak-ajak Tuhan

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Banyak perilaku dan kebiasaan manusia yang sebenarnya bersifat fungsional, tapi mengalami pendalaman makna. Lantas jadi bawa-bawa atas nama agama.

Dalam sebuah karyanya yang sangat menarik (introductory tapi begitu komprehensif) tentang agama dan politik (2018), ilmuwan politik Jonathan Fox mengatakan bahwa agama adalah fenomena dan institusi sosial yang sangat memengaruhi perilaku.

Ini tentu bukan argumen yang mengejutkan. Semua orang juga paham bahwa agama sangat memengaruhi perilaku manusia. Tapi Fox juga mengingatkan bahwa seringkali agama berfungsi—terutama—untuk memberi legitimasi perbuatan manusia.

Perang, misalnya, sebenarnya sangat jarang yang terjadi karena benar-benar alasan agama. Tapi agama kerap memberi pembenaran atas perang yang terjadi. Di situlah kita seolah melihat perang atas nama agama. Padahal bukan.

Tak hanya urusan perang yang memperoleh pembenaran dengan bawa-bawa agama, dalam tindakan sehari-hari, banyak hal yang sebenarnya didasari oleh pilihan-pilihan rasional yang sekular, namun banyak orang membutuhkan alasan relijius terhadap tindakannya.

Dengan memberi alasan relijius, seseorang bisa meletakkan tindakannya dalam sebuah kebenaran universal. Tindakan itu tak akan terasa sendirian. Si pelaku yakin bahwa ada orang-orang lain yang juga melakukannya. Minimal, ada orang lain yang akan membenarkannya.

Baca Juga:

menikah beda agama MOJOK.CO

MK Tolak Permohonan Nikah Beda Agama, Pupus Harapan Banyak Pasangan

2 Februari 2023
perang nuklir mojok.co

Indonesia Siapkan SDM Nuklir, Waspadai Perang Nuklir Rusia vs Ukraina

16 Oktober 2022

Pertanyaannya: mengapa itu penting?

Sebab manusia pada dasarnya takut sendirian. Hanya orang-orang dengan keberanian tinggi yang berani melawan arus, memutuskan pilihan-pilihannya secara independent. Kebanyakan manusia butuh melakukan tindakan secara beramai-ramai.

Ada orang yang harus menentukan pilihan atas kandidat dalam pilkada atau pilpres—misalnya, tapi tak paham apa program kandidat itu. Ada orang yang suka pada kandidat tertentu—contoh yang lain, tapi tak tahu cara menjelaskan yang rasional, apa kelebihan kandidat itu.

Orang-orang seperti itu dengan sangat mudah bisa menemukan pembenaran lewat agama. “Oh, kandidat ini adalah Islam moderat,” atau, “kandidat yang ini lebih saleh.”

Kali lain: “Pilih ini saja, dia sedang ditindas oleh kelompok radikal,” atau, “mending yang ini saja, seiman.”

Semua sama saja, meski nuansanya berbeda. Sama-sama bawa-bawa agama sebagai legitimasi tindakan politik.

Tak hanya tindakan politik. Banyak sekali tindakan manusia yang sebenarnya bersifat fungsional, tapi mengalami pendalaman makna karena harus bawa-bawa agama. Tindakan yang sebenarnya sangat profan, menjadi sakral karena diberi nilai agama. Mari kita lihat dua contoh saja (bisa minimal empat kalau mau, tapi nanti tulisan ini terlalu panjang).

Pertama, busana. Dalam urusan berbusana, manusia sebenarnya sangat fungsional. Busana adalah upaya manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hewan punya mekanisme fisiologis yang canggih untuk menyesuaikan dengan pergantian musim. Tapi manusia tidak tidak secanggih hewan untuk urusan itu.

Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah karena manusia berpindah jauh lebih kencang daripada kecepatan evolusi-nya. Itu menyebabkan tubuh manusia tak terlalu mampu menyesuaikan diri dengan perubahan iklim di luar. Untuk mengatasinya, manusia memakai busana.

Konon, manusia sudah mengenal busana setidaknya sejak 100.000 tahun yang lalu. Dalam bukunya yang berjudul Prehistoric Textiles (1991), Barber menulis bahwa manusia sudah mulai mengenal kain seperti yang kita kenal sekarang sekitar 5.000 SM. Itu bertarti sekitar 3.000 tahun sebelum Ibrahim.

Busana manusia pun menyesuaikan dengan kebutuhan tempat dan musim. Pada musim dan tempat yang lebih dingin atau berangin, manusia membuat busana yang lebih tertutup. Pada musim dan tempat yang lebih hangat, manusia membuat busana yang lebih terbuka. Begitulah pola umumnya.

Di tempat dengan musim yang lebih stabil, banyak tumbuhan dan lebih sedikit debu, manusia lebih leluasa menggelar rambutnya. Tapi di tempat dengan musim yang beragam, sedikit tumbuhan dan berdebu, manusia harus menutup rambutnya.

Itu semua fungsional saja. Tapi agama lalu memberi makna pada pilihan-pilihan manusia akan busananya. Cara berpakaian para pendiri agama (manapun) cenderung diidealkan sebagai busana paripurna, yang mencerminkan nilai keagamaan.

Padahal mereka mengenakan busana itu pada awalnya untuk alasan fungsional. Sebagian—malah—cuma melanjutkan kebiasaan lama di tempat kelahirannya.

Kedua, puasa. Tindakan berpantang makanan tertentu sepanjang hidup, atau berpantang semua makanan pada masa tertentu, atau kombinasi keduanya (berpantang makanan tertentu di masa tertentu), sudah lama dilakoni oleh manusia.

Pengalaman memberi pelajaran pada manusia bahwa mengelola cara makan bisa memberi manfaat besar bagi tubuh manusia. Para dokter tahu betul bahwa Hipokrates, yang kerap disebut sebagai bapak pengobatan modern, adalah orang yang menekankan betul pentingnya mengurangi makan sebagai metode penyehatan.

Pada setiap peradaban, ada cerita tentang orang baik yang menghindari makan banyak, dan bahkan sama sekali tak makan dalam periode tertentu. Tujuannya adalah murni untuk penyehatan tubuh.

Tak hanya berpantang makanan tertentu, mengombinasikan makanan juga adalah metode penyehatan yang lama dikenal.

Mantan panglima perang Mesir, Musa, menerapkan pola makan khusus untuk memulihkan kekuatan fisik keturunan Israel yang dibawanya eksodus dari Mesir. Selama 400 tahun masa perbudakan oleh penguasa Mesir, keturunan Israel itu terpaksa mengalami hidup yang buruk, sehingga fisik mereka lemah.

Setelah berhasil membawa mereka pergi dari Mesir, salah satu yang ditata oleh Musa adalah cara makan. Hasilnya? Keturunan Israel dengan lekas bertransformasi menjadi salah satu manusia unggul.

Sayangnya, berpuasa tak akan syahdu kalau tak diberi muatan nilai keagamaan. Dari masa ke masa, agama institusional meromantisir puasa dan diet khusus itu sebagai nilai keagamaan. Rumus kuliner yang dibuat oleh Musa, misalnya, belakangan dikodifikasikan sebagai hukum Kashrut di agama Yahudi. Islam mengenal versi lebih nyantai bernama makanan halal.

Perintah puasa yang sampai ke orang Islam pun, sebenarnya adalah hasil meromantisir praktek berpantang makan yang terbukti membawa manfaat bagi tubuh. Al-Quran sendiri menegaskan bahwa berpuasa itu dilakukan oleh orang-orang sebelum Muhammad. Islam bukan yang pertama mewajibkan puasa.

***

Saya ceritakan dua contoh tadi untuk menegaskan bahwa: agama seringkali hadir memberi makna atas perbuatan baik yang telah terbiasa dilakukan oleh manusia.

Sebagai orang beragama yang paripurna, kita seharusnya meneruskan kebiasaan itu. Menjadikan agama sebagai pemberi makna atas kebaikan yang muncul dari sanubari. Jangan malah sebaliknya.

Jangan jadikan agama sebagai legitimasi atas tindakan buruk. Jangan bawa agama ketika Anda sedang menyakiti orang lain dan merusak peradaban. Lakukanlah perbuatan buruk itu sendirian, jangan ngajak-ngajak orang, apalagi sampai ngajak-ngajak Tuhan.

BACA JUGA Kebiasaan Bawa Nama Tuhan untuk Urusan yang Selesai di Tukang Laundry atau tulisan Abdul Gaffar Karim lainnya.

Terakhir diperbarui pada 5 Juni 2020 oleh

Tags: AgamaperangperilakuTuhan
Abdul Gaffar Karim

Abdul Gaffar Karim

Dosen FISIPOL UGM

Artikel Terkait

menikah beda agama MOJOK.CO
Kilas

MK Tolak Permohonan Nikah Beda Agama, Pupus Harapan Banyak Pasangan

2 Februari 2023
perang nuklir mojok.co
Kilas

Indonesia Siapkan SDM Nuklir, Waspadai Perang Nuklir Rusia vs Ukraina

16 Oktober 2022
Anak muda lintas agama
Kilas

Perbedaan Keyakinan Jadi Masalah Sensitif, Srawung Pertemukan Orang Muda Lintas Agama

7 Agustus 2022
DN Aidit
Arsip

Etika Kaum Komunis Tidak Memaksa Mereka yang Beragama Meninggalkan Kepercayaannya

27 April 2022
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Rasis sejak dalam Pikiran

Rasis sejak dalam Pikiran

Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

sekolah kedinasan mojok.co

10 Sekolah Kedinasan yang Paling Ramai dan Sepi Peminat

22 Maret 2023
Lakukan Perbuatan Burukmu Sendirian, Tak Usah Bawa Agama atau Ajak-ajak Tuhan

Lakukan Perbuatan Burukmu Sendirian, Tak Usah Bawa Agama atau Ajak-ajak Tuhan

5 Juni 2020
5 Jurusan yang Lulusannya Paling Dicari Perusahaan

5 Jurusan yang Lulusannya Paling Dicari Perusahaan

27 Maret 2023
unpad mojok.co

10 Jurusan Tersepi di UNPAD yang Pendaftarnya Hanya Ratusan

27 Maret 2023
perguruan tinggi muhammadiyah mojok.co

5 Perguruan Tinggi Muhammadiyah Terbaik di Indonesia

25 Maret 2023
kip mojok.co

Kecewa dengan Mahasiswa Penerima KIP

26 Maret 2023
kampus bumn mojok.co

9 Kampus Milik BUMN di Indonesia, Prospek Lulusannya Bisa Kerja di Perusahaan Plat Merah

29 Maret 2023

Terbaru

Ibadah Sastra dan Cinta Ala Jalaluddin Rumi di Pesantren Maulana Rumi

Ibadah Sastra dan Cinta Ala Jalaluddin Rumi di Pesantren Maulana Rumi

31 Maret 2023
piala dunia u-20 mojok.co

Jogja Gagal Dapat Limpahan Wisatawan Akibat Indonesia Batal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20

31 Maret 2023
da 29 Menu Nusanatara di Masjid Syuhada, Buka Puasa Serasa Keliling Indonesia. MOJOK.CO

Ada 29 Menu Nusantara di Masjid Syuhada, Buka Puasa Serasa Keliling Indonesia

31 Maret 2023
sekolah kedinasan mojok.co

Pendaftaran Sekolah Kedinasan Dibuka April 2023, Cek Kuotanya!

31 Maret 2023
koruptor

Hadeh! Pasutri Tersandung Korupsi, Duitnya Buat Bayar Lembaga Survei dan Modal Politik

31 Maret 2023
6 juta data pemilih tidak memenuhi syarat

Daftar Pemilih Belum Beres, Lebih dari 6 Juta Pemilih Tidak Memenuhi Syarat

31 Maret 2023
perguruan tinggi islam mojok.co

7 Perguruan Tinggi Islam Terbaik di Indonesia

31 Maret 2023

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Kanal Pemilu 2024
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Sosial
    • Tekno
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-Uneg
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In