Puasanya Para Pecinta Tuhan

Dalam hierarki nilai, tindakan manusia (yang berhubungan dengan agama) diteorikan memiliki tiga orientasi, yaitu kewajiban, kebutuhan, dan cinta.

Orientasi kewajiban berarti menjalankan tuntunan agama sebagai pemenuhan kewajiban yang telah digariskan oleh Allah, sebagai pertanggungjawaban atas keimanan yang sudah terpatri dalam hati.

Sementara itu orientasi kebutuhan berpandangan bahwa ketika Allah menetapkan satu perintah atau larangan, di balik semua itu terkandung hikmah dan manfaat yang besar bagi manusia.

Karena Allah sendiri pada dasarnya tidak membutuhkan segala amal peribadatan manusia; manusia itu sendirilah yang sebenarnya membutuhkannya.

Adapun dalam orientasi cinta, segala amal ibadah yang dilakukan tidak lagi dipandang sebagai penuntas kewajiban atau pemenuhan kebutuhan, tetapi merupakan manifestasi dari rasa cinta kepada-Nya.

Semata-mata karena kebahagiaan terbesar adalah dengan selalu dekat dengan-Nya, bisa memenuhi harapan-Nya dan mengikuti keinginan-Nya.

Tentu saja menapaki level cinta adalah ideal yang diharapkan dan diimpikan setiap orang yang serius dan mendalam dalam menjalani tuntunan beragama, termasuk dalam menjalankan puasa.

Bahkan para sufi seperti Imam Ghazali menyatakan bahwa puasa di maqam cinta ini adalah khawas al-khawas, yang khusus dari yang khusus. Para pecinta inilah yang dalam salah satu Hadis Nabi disebut sebagai orang-orang yang mampu merasakan kenikmatan iman.

Bagi para pecinta-Nya, puasa hakikatnya adalah penghargaan tertinggi kepada Dia yang dicintai. Sebagaimana saat seseorang jatuh cinta, maka apapun harapan dan keinginan yang dicintai adalah perintah untuk dijalani, sepenuh hati, tanpa mengharap balasan apapun, kecuali kerelaan  yang dicintai.

Bagi para pecinta-Nya, puasa hakikatnya adalah pembuktian dalamnya cinta dalam dada. Puasa menampakkan kerelaan diri untuk berkorban demi yang dicintai, juga kepasrahan diri untuk mewujudkan apapun keinginan yang dicintai.

Puasa menampakkan dengan tegas bahwa segala sulit dan susah terasa mudah asalkan Dia yang dicintai memberikan Ridho-Nya.

Bagi para pecinta-Nya, bulan puasa hakikatnya adalah bulan pesta raya, ketika Dia membuka pintu-Nya lebar-lebar, untuk sebulan penuh bersama berdekatan. Lalu mereka melonjak gembira, karena inilah saatnya yang paling membanggakan itu, ketika kerinduan untuk selalu berdekatan dengan-Nya terlampiaskan sepenuhnya.

Bagi kita yang belum mampu menapaki maqam cinta tersebut, bukan berarti puasa kita tidak ada harganya, namun kesadaran kita untuk semakin meningkatkan kualitas ibadah semoga mampu menghadirkan hidayah dan anugerah Allah sehingga kita juga mampu merambah ranah mulia tersebut.

Ada kisah yang indah dari ranah tasawwuf, tentang naiknya level dan kualitas diri sebagai buah puasa yang berbuah anugerah cinta tertinggi dari Allah. Kisah ini tentang seorang Sufi dan penyair dari Syiraz Persia, yang dikenal dengan nama Hafiz Asy-Syirazi.

Saat Hafiz berusia 21 tahun ia bekerja sebagai pembantu di sebuah toko roti. Pada suatu hari, ia disuruh mengantar roti oleh majikannya ke sebuah rumah besar. Di sana ia melihat seorang gadis sangat cantik yang berdiri di teras rumah. Hafiz terpana dan jatuh cinta kepada gadis itu pada pandangan pertama.

Tentu saja sang gadis tidak mempedulikannya, karena ia adalah putri bangsawan kaya raya yang sangat cantik, sementara Hafiz hanya seorang pembantu yang miskin.

Namun Hafiz sangat terpesona dengan gadis tersebut hingga ia banyak menggubah puisi dan kidung-kidung cinta untuk merayakan kecantikan sang gadis pujaan. Puisi-puisi itu begitu menyentuh, sehingga membuat namanya terkenal di seantero Syiraz. Ia pun dikenal sebagai pujangga cinta.

Begitu berhasrat ia memenangkan hati sang gadis, sampai suatu ketika seseorang menyarankannya untuk berpuasa dan berkhalwat di makam seorang Waliyullah selama 40 hari 40 malam. Ia pun menuruti saran ini dan secara serius menjalaninya.

Setiap siang ia bekerja di toko roti sambil berpuasa, dan ketika malam tiba ia berkhalwat dan berzikir sepanjang malam demi memohon kepada Allah agar cintanya kepada sang gadis berbalas.

Pada fajar di hari ke-40, tiba-tiba muncullah sesosok malaikat di hadapan Hafiz. Malaikat tersebut meminta Hafiz untuk menyampaikan apa yang menjadi keinginannya. Hafiz tergetar, terpesona.  Ia belum pernah melihat sesosok wujud yang demikian indah seperti sang malaikat itu.

Dalam keterpukauannya Hafiz berfikir, “Jika utusan-Nya saja begitu indah, pastilah Allah jauh lebih indah!”

Sambil menatap cahaya malaikat yang berkilauan itu, lupalah Hafiz menyangkut segala hal tentang sang gadis, sirnalah segala keinginanya; dan dari lisannya hanya keluar satu kalimat: “Aku menginginkan Allah!”

Konon kabarnya, sang malaikat kemudian mengarahkan Hafiz kepada seorang guru ruhani yang juga hidup di Syiraz, yaitu seorang sufi bernama Muhammad Aththar.

Dari kisah Hafiz kita belajar bahwa di level apapun puasa kita, mungkin masih di level kewajiban atau sedang mandeg di level kebutuhan, namun kesungguhan upaya kita untuk menjalankannya akan dapat mengundang hidayah dan anugerah dari Allah sehingga pada akhirnya kita sampai ke maqam cinta, level ketulusan dan keikhlasan.

Segalanya, termasuk lapar dahaga, dipersembahkan hanya untuk Allah saja.


Sepanjang Ramadan, MOJOK menerbitkan KOLOM RAMADAN yang diisi bergiliran oleh Fahruddin FaizMuh. Zaid Su’di, dan Husein Ja’far Al-Hadar. Tayang setiap hari.

Exit mobile version