Puasa untuk Kemanusiaan dan Puasa untuk Kehambaan

Apabila dianalogikan sebagai semacam software atau aplikasi, dalam diri manusia secara integral telah ditanam dua fungsi yaitu ‘kemanusiaan’ dan ‘kehambaan’. Allah menanamkan dua fungsi ini ke dalam diri manusia sebagai modus keberadaan, pola tindakan, juga orientasi segala aktivitasnya.

Dengan istilah berbeda, Al-Quran menyebut kehadiran manusia di muka bumi ini setidaknya mengemban dua amanat utama: menjadi ‘abd dan khalifah-Nya, dengan maksud yang sama, yaitu kehambaan dan kemanusiaan.

Menjadi ‘abdi–Nya ditandai dengan kepatuhan dan kepasrahan mutlak, itulah kehambaan; dan menjadi khalifah-Nya ditandai dengan ikhtiar dan daya upaya sepenuh potensi dan daya yang dimiliki untuk menata dan mengelola diri dan semesta, itulah kemanusiaan.

Kehambaan berarti kewajiban manusia untuk mantap menegaskan kepatuhan dan kepasrahan total kepada apapun ketetapan dan keputusan-Nya, sementara tanggung jawab kemanusiaan adalah kewajiban pengelolaan diri, termasuk hubungan dengan sesama dan semesta, sesuai dengan fitrah dan jalan kebenaran-kebaikan yang dituntunkan-Nya.

Hakikat kemanusiaan adalah kehambaan, karena menghidupkan sisi manusia secara penuh akan membawa kepada kesadaran dan kepasrahan total kepada-Nya, karena di titik itulah kemanusiaan berujung.

Hakikat kehambaan adalah pula kemanusiaan, karena segala ketetapan dari-Nya untuk dipatuhi dan dijalankan sebenarnya berujung pada kepentingan dan kebutuhan manusia, selaras dengan status dan situasi kemanusiaannya.

Dalam konteks pemenuhan amanat kemanusiaan dan kehambaan inilah Allah dengan segala kasih sayang-Nya yang tak terbatas kepada manusia, mengirimkan utusan dan menurunkan wahyu sebagai tuntunan dan pedoman.

Segala ajaran dan pedoman yang diturunkan Allah kepada manusia hakikatnya mengandung dua misi ini, kemanusiaan dan kehambaan, termasuk juga dalam puasa.

Dalam perspektif kemanusiaan, tidak ada yang membantah bahwa manusia membutuhkan puasa. Berbagai kajian di level medis, psikologis, bahkan sosiologis-politik menemukan bahwa puasa adalah jalan kesehatan, jalan ketenangan batin, bahkan memiliki kekuatan sosial-politik yang luar biasa.

Secara medis tidak perlu panjang lebar lagi dijelaskan bagaimana manfaat puasa ini demi kesehatan.

Ada yang menyatakan puasa dapat secara signifikan menurunkan tekanan darah, kadar trigliserida, dan kolesterol jahat dalam darah. Ada yang menyatakan puasa dapat mengurangi peradangan dan dapat membantu mencegah gangguan neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer dan Parkinson.

Ada pula yang menyatakan puasa dapat melindungi kesehatan otak dan meningkatkan pembentukan sel saraf untuk meningkatkan fungsi kognitif.

Secara mental berbagai kajian tentang kejiwaan manusia telah menyebut bagaimana ketentraman jiwa manusia teramat bergantung pada kemampuannya berpuasa atau mengendalikan diri.

Bahkan sebuah penelitian menyebut puasa juga dapat meningkatkan hormon endorfin. Saat tubuh memiliki lebih banyak hormon endorfin, kita bisa merasa lebih baik atau lebih bahagia, berarti kita mendapatkan kesehatan mental yang lebih baik.

Secara sosial-politik Dunia mungkin masih ingat bagaimana Mahatma Gandhi sekitar 90 tahun yang lalu berpuasa 21 hari untuk melawan penindasan Inggris yang kala itu menjajah India. Kita juga pastinya masih belum lupa bagaimana Mahapatih Gajah Mada bersumpah untuk tidak berhenti puasa sebelum menyatukan Nusantara.

Sedemikian besar manfaat puasa ini di level kemanusiaan, sementara Allah secara tegas telah mewajibkan umat Islam untuk berpuasa. Bukankah ini merupakan salah satu indikasi bahwa segala ketetapan Allah hakikatnya adalah untuk kepentingan manusia, dan segala pemenuhan kita terhadap ketetapan Allah hakikatnya adalah pemenuhan terhadap kebutuhan kemanusiaan kita?

Demikian juga sebaliknya, saat kita berikhtiar untuk memenuhi segala kebutuhan dan tuntutan fitrah kemanusiaan kita, seperti makan-minum-menikah dan lain sebagainya, hakikatnya kita sedang menempuh jalan kehambaan, mewujudkan amanah dan ketetapan-Nya.

Premis-premis di atas pada akhirnya mengarah kepada satu kesimpulan, bahwa menjadi manusia yang baik dan menjadi hamba yang baik itu sebenarnya satu paket.

Seandainya ada laku kehambaan yang kita rasakan jauh dari manfaat-maslahat kemanusiaan, kemungkinan itu karena daya jangkau penalaran kita belum mencapainya, atau terjadi salah niat, cara dan tujuan.

Sebaliknya, seandainya dorongan kemanusiaan yang ada dalam diri kita mengarahkan justru semakin menjauh dari kehambaan kita kepada-Nya, kemungkinan kita meleset memahami diri dan sisi kemanusiaan kita, atau pandangan kita terdistraksi atau terhijab oleh beragam kepentingan, hasrat dan ambisi keduniaan.

Puasa kita adalah puasa manusia, baik prosedur, tata cara maupun mekanismenya. Tidak ada satu variabel pun dari puasa itu yang mengarah kepada penegasian kemanusiaan, baik secara jasmaniyah maupun ruhaniah.

Ia membuahkan beragam manfaat kemanusiaan: jasmani yang sehat, ruhani yang terkendali, hubungan dengan sesama dan semesta yang harmoni.

Puasa kita adalah juga puasa seorang hamba. Ia adalah manifestasi kepatuhan kita kepada perintah-Nya, kepasrahan kita kepada apapun keputusan-Nya. Ia membuahkan manfaat puncak dalam tuntutan hidup beragama, yaitu takwa, yang diidamkan oleh setiap hamba yang mengenal-Nya.


Sepanjang Ramadan, MOJOK menerbitkan KOLOM RAMADAN yang diisi bergiliran oleh Fahruddin FaizMuh. Zaid Su’di, dan Husein Ja’far Al-Hadar. Tayang setiap waktu sahur.

Exit mobile version