Maksud Mulia di Balik Pernyataan “Bukan Mudik tapi Pulang kampung”, “Bukan Kolaps tapi Overcapacity”, dan “Bukan Kelangkaan tapi Keterbatasan”

jokowi mojok.co

Ilustrasi Jokowi. (Mojok.co)

MOJOK.CODi masa pandemi ini, beberapa pejabat pemerintah diketahui memberikan pernyataan doublespeak. Hal ini perlu dibedah dengan serius.

Pada mulanya adalah Jokowi yang ditanya oleh Najwa Shihab dalam salah satu sesi wawancara eksklusif di Istana Merdeka pada Selasa, 21 Maret 2021 lalu.

Najwa bertanya kepada Jokowi terkait fenomena orang berbondong-bondong mudik ke kampung halaman beberapa hari sebelum aturan larangan mudik diterapkan.

Jawaban Jokowi amat brilian. “Kalau itu bukan mudik, itu pulang kampung. Yang bekerja di Jabodetabek, di sini, tidak ada pekerjaan, mereka pulang,” jawab Jokowi.

“Apa bedanya?” tanya Najwa Shihab.

“Kalau mudik itu di hari lebarannya. Kalau pulang kampung itu bekerja di Jakarta pulang ke kampung.”

Jawaban Jokowi tersebut kelak kemudian membuat publik sibuk berdebat terkait istilah mudik dan pulang kampung. Ribuan orang mendadak menjadi ahli bahasa yang mumpuni.

Banyak yang membela pernyataan Jokowi, pun tak sedikit yang menyinyirinya. Maklum, di kamus bahasa Indonesia, mudik dan pulang kampung sejatinya memang tak ada beda, sehingga pembedaan yang disebutkan oleh Jokowi tersebut justru bikin bingung publik.

Kelak, jawaban “brilian” ala Jokowi tersebut kemudian ditiru dengan amat sempurna oleh Direktur Utama PT KAI (Persero) Didiek Hartantyo terkait kenaikan tarif layanan GeNose di stasiun dari Rp20 ribu menjadi Rp30 ribu pada pertengahan Maret lalu.

“Sekali lagi, tarif itu bukan naik ya, tapi penyesuaian tarif,” terangnya.

Didiek mengatakan bahwa tarif Rp20 ribu sebenarnya adalah tarif khusus soft launching, sehingga ketika tarifnya berubah menjadi Rp30 ribu, maka itu bukanlah kenaikan tarif.

Hal serupa pun kembali terulang. Kali ini melalui Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi. Nadia membantah laporan Koalisi Warga LaporCovid19 yang menyebut bahwa rumah sakit kolaps akibat lonjakan pasien Covid-19 benar-benar menjadi puncak buruknya pola komunikasi pemerintah.

“Kolaps tidak, tapi overcapacity itu iya. Karena jumlah pasien yang sangat banyak dan dalam waktu bersamaan,” begitu kata Nadia kepada Tempo.

Fenomena istilah ganda ini kemudian makin sempurna saat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno ikut bersuara terkait makin susahnya masyarakat maupun rumah sakit untuk mendapatkan stok oksigen.

“Bukan terjadi kelangkaan, tapi keterbatasan yang bisa dipetakan pada tiga lini yang harus kita perhatikan secara bersama-sama,” begitu kata Sandiaga Uno dalam diskusi daring dengan PT Aneka Gas Industri pada Kamis, 8 Juli 2021.

Parade silat kata yang dipamerkan oleh pejabat-pejabat pemerintah di masa pandemi ini tentu menjadi hal yang menarik.

William Lutz, profesor di Rutgers University menyebut fenomena ini dengan istilah “doublespeak”. Semacam penggunaan istilah yang membuat sesuatu yang buruk menjadi tampak lebih bagus, atau setidaknya tidak seburuk itu.

Lantas, apakah pernyataan-pernyataan doublespeak dari para pejabat pemerintah di atas adalah bukti bahwa pemerintah memang sedang ingin menutupi hal-hal buruk yang sedang terjadi dan membuatnya agar terkesan baik-baik saja? Entahlah. Namun, sebagai warga negara yang bijak dan penuh dengan prasangka yang baik kepada pemerintah, saya menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah di atas adalah sebuah upaya untuk mencerdaskan masyarakat agar lebih teliti dalam berbahasa.

Para pejabat sadar betul bahwa penggunaan bahasa di masyarakat masih salah-kaprah, karena itulah perlu adanya perbaikan yang masif dan menyeluruh.

Contoh sederhana saja, tidak seperti negara berbahasa Inggris yang punya istilah “we” yang bisa berarti “kami” atau “kita”, Indonesia merupakan negara yang memisahkan penggunaan kata “kami” dan “kita”. Kendati demikian, masih banyak masyarakat yang tidak bisa menempatkan penggunaan kata “kami” dan “kita” dengan benar.

Contoh yang tak kalah sederhana lagi, masyarakat Indonesia masih banyak yang tidak bisa membedakan istilah “absensi” dan “presensi”. Absensi yang artinya ketidakhadiran justru kerap dipakai dalam konteks kehadiran. Hal ini dilakukan bahkan oleh mahasiswa sekalipun. Istilah”titip absensi” pun sejatinya salah besar, yang benar adalah “titip presensi”.

Atau yang paling sering menjadi kesalahan umum tentu kata “acuh”. Acuh yang artinya adalah mengindahkan, memedulikan, justru sering dipakai dalam konteks yang sebaliknya.

Orang yang bermaksud ingin mengatakan bahwa dirinya tidak diperhatikan sering mengungkapkannya dengan istilah “Aku diacuhkan begitu saja.” Padahal hal tersebut artinya justru sebaliknya.

Dengan latar belakang kesalahan berbahasa yang amat parah itu, bangsa ini sudah selayaknya mendapatkan pendidikan berbahasa yang baik dan benar. Nah, pada titik inilah para pejabat pemerintah seperti Pak Jokowi, Bu Nadia, Pak Didiek, dan Pak Sandiaga mengambil peran.

Mereka sengaja menggunakan istilah-istilah yang artinya hampir sama atau malah mirip semata untuk memancing dan merangsang kecakapan masyarakat dalam berkosakata dan berbahasa.

Konon, kemajuan sebuah bangsa bisa dimulai dari kemajuan sastranya. Dan kemajuan sastra didahului dengan kecapakan berbahasa.

Maka, bagaimana mau menjadi bangsa yang maju jika dalam berbahasa saja masyarakat Indonesia masih belum menggunakan bahasa dengan baik dan benar.

Oleh sebab itu, marilah kita mulai memaklumi silat kata yang belakangan ini amat sering ditunjukkan oleh para pejabat pemerintah. Saya yakin, hal tersebut bukan karena mereka ingin menutupi hal buruk menjadi tampak baik, melainkan karena mereka sedang berusaha meningkatkan mutu berbahasa masyarakat kita. Dan itu harus kita apresiasi sebesar-besarnya.

Silat kata ini masih terus akan muncul dari mulut para pejabat pemerintah selama masyarakat belum juga mampu mempraktikkan bahasa dengan baik dan benar.

Maka dari itu, mulai sekarang, jangan kaget jika kita akan banyak mendengar istilah-istilah baru yang digunakan untuk menggantikan istilah yang artinya sebenarnya tak jauh berbeda.

Jangan kaget pula kalau suatu saat Anda bertemu pejabat pemerintah yang sedang memesan soto di sebuah warung soto dan ia tidak mau bilang kalau nasinya dipisah.

“Ini nasinya dipisah, Pak?”

“Bukan dipisah, tapi dikotomi saja.”


BACA JUGA Ketika Dokter Faheem Younus dan Ariel Noah Lebih Bisa Diandalkan Ketimbang Pejabat Pemerintah dan artikel AGUS MULYADI lainnya. 

Exit mobile version