Saya bangun pagi jauh lebih terlambat dari yang saya rencanakan. Alarm di ponsel saya tak sempat terdengar, padahal itu biasa saya pakai untuk menandai batas akhir bangun pagi. Artinya, saya telah bangun siang. Menyeret tubuh yang terasa sangat berat ke kamar mandi, saya tahu bahwa pagi ini saya lebih jauh lagi terlambat dari apa yang saya rencanakan dari berencana bangun pagi.
Terlambat karena kita tak bisa mengatasi kenapa kita terlambat jauh lebih tidak menyenangkan dibanding terlambat karena kita lalai atau disebabkan melakukan hal lain. Dan itulah yang terjadi dengan saya kali ini. Mana mungkin saya lalai, sementara saya sudah memikirkan apa yang kemudian terlambat saya lakukan itu selama 3 x 24 jam. Juga, saya tak sedang mesti melakukan hal lain; hal lain saya tunda justru dengan alasan bahwa saya mesti melakukan hal ini. Tapi seperti yang sudah-sudah, memikirkan dan mengerjakannya selalu berada di dua puncak gunung yang berbeda; kita mesti memindahkan salah satu gunung untuk menyatukannya.
Setelah melakukan kesalahan konyol di awal pekan (menerjemahkan berpuluh halaman sebuah bab buku yang ternyata sudah pernah saya terjemahkan), saya gondok dan tak ingin melakukan apa-apa. Sejak itu, saya berkunjung ke rumah teman, dan menyambut setiap ajakan nongkrong dengan sangat bersemangat. Puncaknya terjadi ketika saya keluar rumah persis sehabis Jumatan, berpindah-pindah tempat warung makan dan kedai kopi, mengobrolkan isu dan gosip lama dengan orang-orang yang sama, mengejek hal-hal dan orang-orang yang sama, dan baru balik ke rumah dini hari dengan membawa pulang satu-satunya keinginan: tidur sampai akhir pekan.
Saya ingin bangun tidur dengan segar dan kemudian menulis. Tapi saya lupa, itu rencana seorang utopis yang tak berpengalaman—itu mitos yang diciptakan di sekitar para penulis hebat yang mungkin saja berbohong, dan diceritakan ulang para penulis buruk yang hampir pasti membual. Yang sebenarnya terjadi: saya bangun dengan keinginan sangat besar untuk tidur lagi, dan ketika memaksa bangun dan mandi dan bikin sarapan dan menyalakan komputer saya benar-benar jatuh tertidur, dan itu terjadi berulang-ulang. Saya mencoba memutuskannya dengan mengerjakan ritual yang lebih kompleks, yaitu membuat makanan camilan dan membikin kopi, tapi ujungnya tetap sama: punggung saya hanya ingin ditelentangkan.
Kopi saya nyaris tak tersentuh, dan saya memang tak ingin menyentuhnya. Pada bibir cangkir yang mengerak oleh warna cokelat, saya tak lagi melihat undangan seperti biasanya; yang saya lihat sepenuhnya paksaan. Ia tak hadir di saat yang dibutuhkan; ia justru tengah menghalau saya, seumpama sipir bagi seorang tahanan. Saya tahu itu, karena sayalah yang membuatnya. Dan sebagaimana saya bisa membuatnya, saya tentu saja bisa mengabaikannya. Dan saya memang mengabaikannya. (Lagi pula, ia bukan kopi pertama yang saya abaikan dalam minggu ini, jadi apa susahnya?) Saya ingin tidur, bahkan ketika tak cukup mengantuk.
Ketika pagi ini, pagi yang sangat terlambat ini, saya memaksa diri ke kamar mandi, salat Subuh kesiangan, dan membuat sarapan, saya menghampiri kembali kopi yang terabaikan itu. Ia nyaris tak tersentuh; saya bisa mengingat dua hirupan berat penuh keharusan yang saya lakukan belasan jam sebelumnya, dan oleh karenanya cangkir itu masih sepertiga lebih isinya. Dengan rasa bersalah, saya mengentas beberapa ngengat dari permukaannya; dari jumlah ngengat yang menceburkan diri, saya bisa menghitung berapa jam kopi tersebut hanya jadi air putih yang malang.
Saya menghirupnya dengan semangat penebusan. Saya tentu saja menyukai kopi hangat, tapi saya tak punya persoalan dengan kopi dingin. Yang jadi persoalan, saya tetap tak tahu apa yang mesti saya tulis untuk akhir pekan ini.
***
Agama memuliakan orang yang sedikit tidur. Demikian juga tradisi para orang sakti. Tanpa menjadi terlalu saleh, dan tak harus jadi pendekar pilih tanding, saya sudah bertahun-tahun melakukannya.
Saya baru punya kamar tidur sendiri di usia 17, lalu tinggal di masjid hingga usia 22, dan seterusnya tinggal di kantor Unit Kegiatan Mahasiswa bahkan sampai jauh setelah saya lulus, jadi sebenarnya saya dikondisikan untuk tak terlalu suka tidur. Lagi pula, saya adalah seorang penggila bola yang mesti melek hingga dini hari, maka saya terbiasa tahan untuk tak tidur. Saya juga tumbuh menjadi penonton film yang gigih, dan saya punya cukup reputasi untuk nonton ngebleng, melewati waktu siang dan malam dan siang lagi, jauh sebelum muncul fenomena para ibu muda menonton drama Korea.
Saya diusir keluar rumah oleh Bapak pada usia belum genap sembilan tahun: “Aku dulu tidur di masjid jauh lebih kecil dari kamu!” hardiknya. Dan sejak itu saya tidur di masjid, berjubel-jubel dengan teman sebaya, berbantal tangga beranda, atau bahkan gelondongan kayu tempat beras zakat fitrah ditumpuk. Ketika masjid kami dibongkar untuk didirikan masjid baru yang lebih besar, kami kemudian menyebar ke musala-musala kecil di belahan lain desa, atau bahkan beranda rumah orang yang malamnya memutar televisi. Ketika tidur secara buruk ini saya putuskan untuk tak lagi dilakukan, dan itu belum terlalu lama terjadi, saat itu saya dibangunkan ibu saya di sebuah pos ojek di pertigaan desa.
Tidur yang sedikit lebih metodik saya lakukan saat tiga tahun berada di pesantren. Kondisi tidurnya tak lebih baik dari tidur di masjid, atau malah lebih buruk. Jumlah kami yang tidur tak sebanding dengan jumlah ruangan yang tersedia, maka bertahun-tahun saya tidur di atas lemari pakaian yang dijejer. (Kutu busuknya minta ampun!) Tapi di sinilah saya memulai kebiasaan baru dan menyenangkan berkait tidur: tidur siang. Di antara sekolah dari pagi hingga siang dan mengaji setelah magrib, ada dua-tiga jam yang sangat nikmat di sana; sekitar jam setengah tiga siang, kami bergeletakan di lantai dan atas meja di tempat kami nanti malam belajar nahwu-sharaf. Namun yang paling metodik adalah bangun di sepertiga malam. Saya nyaris tak pernah absen tahajud, meminta agar diberi kesehatan dan ilmu yang bermanfaat, dan terutama lulus Ebtanas dan tes UMPTN.
Ketika menjadi mahasiswa pendatang dan tinggal di masjid di sebuah kampung padat di tengah pemukiman miskin Jogja, sebenarnya tak banyak yang dituntut untuk saya lakukan. Saya hanya harus menjadi muazin di waktu-waktu salat “utama”, seperti Magrib dan Isya dan Subuh, juga kesediaan diri menjadi imam cadangan atau penceramah cadangan—itu pun tak sering. Tetap tak ada kasur dan bantal untuk saya sebagaimana yang sudah-sudah (hanya sebuah kamar yang jembar, sebuah tikar plastik anyam, dan sajadah tua yang digulung), saya kira waktu tidur saya jauh lebih longgar dari yang pernah saya punya di masa sebelumnya, lagi pula inilah untuk pertama kalinya saya merasa benar-benar punya kamar. Tapi selama hampir tiga tahun, saya tak bisa mengingat saat-saat tidur yang menyenangkan di sana. Mungkin karena memang tak pernah ada tidur di masjid yang menyenangkan; mungkin juga karena saat itu saya mulai menulis. (Saya masih mengingat masa-masa ketika saya ada di puncak keasyikan menulis, tapi harus berhenti karena waktu sudah menunjuk setengah tiga, sementara setengah empat saya mesti bangun untuk azan Subuh). Pada masa inilah saya kira saya menulis sebuah cerpen pseudo-surealis yang menggambarkan mahasiswa yang kurang makan dan kurang tidur, dan terlalu banyak memaki.
Saya merasa kembali ke masa-masa di pesantren ketika secara teknis tinggal di kampus: sebuah rumah kantor berkamar tiga, dihuni dua lembaga pers mahasiswa, dan setiap harinya biasa menjadi tempat berkumpul puluhan orang. Ia persis pesantren saya setidaknya untuk dua hal: 1) terlalu sedikit tempat tidur untuk terlalu banyak orang yang tidur; 2) saya, setelah bertahun-tahun, akhirnya kembali tidur di atas lemari. Bedanya, tidur kali ini jauh dari metodik, juga jauh dari kesalehan, bahkan jika itu sekadar meminta kepada Tuhan untuk hal paling ketengan, katakanlah agar cerpen saya dimuat Kompas. Yang benar-benar baru saya lakukan di sini adalah: saya bisa tidur kapan pun saya mau, dan sepenuhnya terserah saya kapan pun saya bangun. Tidur siang dan tidur malam tak lagi relevan.
Kebiasaan “tidur di kantor” bahkan saya bawa hingga ke Jakarta. Tentu saja saya punya kamar kos sendiri, tapi kamar itu sangat kecil, terpojok di sebuah loteng di kompleks kos-kosan yang padat di tengah rumah berdempet-dempet dan pengap di Utan Kayu. Dan kamar itu tak sendirian saya huni. Kamar kos itu bukan hanya tak enak untuk tidur, ia juga tak enak untuk membaca, dan secara umum tak enak untuk ditinggali. Satu-satunya yang baik adalah: kamu bisa tidur di mana pun, tapi di Jakarta kau sebaiknya punya sesuatu untuk bisa kau sebut sebagai tempat pulang. Dan hal terakhir itulah yang saya tak punya selama tahun-tahun terakhir di Jakarta: saya tak mampu membayarnya.
Tempat tidur pertama paling fungsional adalah sebuah kos murah di Klaten. Dihuni nyaris keseluruhan oleh orang-orang yang saling mengenal karena satu kantor, ia juga jadi tempat pulang yang sangat diinginkan ketika kami pulang kerja sepanjang hari, dari sangat pagi hingga hampir petang. Ia juga kamar dengan isi yang paling lengkap yang pernah saya punya: ada dipan, kursi, dan meja. Sementara persis di depannya, ada halaman luas yang enak untuk main bola plastik. Tapi, di kamar ini pula, untuk pertama kalinya saya bisa membeli komputer dan bertekad sangat kuat untuk menjadi novelis. Bagaimanapun, tidur tak pernah lagi sama sejak itu.
Tidur dan menulis berebutan dengan bekerja dalam tubuh dan kepala saya. Dan ketika untuk pertama kalinya mengontrak rumah, lalu disusul keluar dari pekerjaan, saya rasa saya jelas-jelas berpihak kepada dua hal yang pertama. Tapi keberpihakan saya kepada keduanya tak membuat saya bisa menghentikan pertarungannya paling pamungkas yang kemudian tersisa, terutama karena saya selalu punya rasionalisasi yang membuat keduanya terasa seiring-sejalan. Tidur saya butuhkan agar saya cukup segar untuk menulis, sementara menulis saya perlukan agar tidur saya terasa sahih dan pantas.
Masalahnya: kesegaran sesudah tidur tak menjamin saya bisa menulis, sementara saya sering tak memerlukan menulis untuk bisa tidur.
***
Kopi yang sejak sore tak terminum, dan saya mesti mengentas beberapa ngengat untuk bisa meminumnya kembali, pada akhirnya habis. Juga setangkup roti isi pisang coklat. Saya juga dalam keadaan segar; kemalasan dan kepenatan yang biasa menggelendoti badan sudah saya tundukkan. Yang jadi persoalan, saya tetap tak tahu mesti menulis apa.
Mungkinkah saya membutuhkan sedikit tidur lagi?
BACA JUGA Populer dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.