Dalam kondisi wabah seperti saat ini, orang introvert-cum-pengangguran macam saya sepertinya jauh lebih nyaman dibanding kebanyakan orang. Bayangkan, hal yang selama ini saya lakukan dengan sedikit rasa bersalah, kini dianjurkan sebagai kebaikan. Rebahan, tiduran, bengong berlama-lama memandangi rak buku, memikirkan apakah ada buku yang seharusnya ada di sana namun tak ada, atau menemukan buku yang tak seharusnya ada namun justru ada di sana, tiba-tiba kini punya alasannya: demi keselamatan kita bersama. Terdengar mulia.
Tapi itu hanya separo fakta. Separo lagi, dalam kondisi begini, saya bisa saja adalah orang yang paling mungkin membunuh diri sendiri selain juga orang lain. Tidak saja ceroboh soal kebersihan, lebih-lebih berkait higienisme, saya sejak dulu menganggap sebagian dari itu cuma tipu-tipu perusahaan sabun dan makanan—apalagi setelah belakangan ini pabrik sabun mulai bikin makanan dan/atau sebaliknya. Sebagian lagi, dan ini mungkin paling susah saya hilangkan, saya menganggap tetek-bengek soal kebersihan itu adalah bentuk dominasi satu budaya atas budaya lainnya.
Ketika pertama kali melihat iklan pembersih lantai, mungkin jenis yang pertama di Indonesia, dengan tagline “belum lima menit” yang terkenal itu, saya dan teman-teman di kampung menertawakannya. Saat iklan itu muncul di televisi swasta, ritus harian kami masih berhubungan dengan makanan dan buah-buahan yang bukan hanya tak terjamin kebersihannya tapi jelas-jelas kotornya. Sepulang mengaji subuh, kami berlarian adu cepat untuk berburu buah sawo yang jatuh di depan rumah Carik Muin. Lima menit? Boleh jadi sawo matang yang setengah bonyok itu sudah tergeletak di tanah sepanjang malam. Di sepanjang siang, di antara jam-jam sekolah, baik yang kosong maupun yang sengaja kami tinggalkan, kami keluyuran, kelaparan, dan bergelantungan di pohon apa pun, mulai dari kersen, jambu, duwet, kedondong, mangga, asam, bahkan jati (yang rasa buahnya mendekati kacang). Lima menit? Kamu bahkan cukup beruntung jika temanmu hanya meludahi buah yang sudah ada di tanganmu dan bukannya menginjaknya. Saat sore, ketika angin menjadi lebih kencang dibanding waktu lainnya, kami menunggu dengan sabar di bawah kanopi dahan-dahan sukun, dan bergerak secepat kilat begitu ada suara kerosak menembus daun-daun yang diakhiri suara gedebuk. Lima menit? Kami bahkan akan tetap mengambil dan membawanya pulang jika benda itu jatuh dan menggelinding ke bekas galian batu yang sudah menjadi tempat pembuangan tahi manusia dan bau busuknya masih tersisa, karena buah sukun yang jatuh adalah buah sukun!
Lagi pula, dibanding semua itu, ada yang lebih tak masuk akal lagi dengan iklan “belum lima menit” tersebut. Bagaimana bisa kami ditawari pembersih lantai dari debu dan kuman sementara sebagian besar lantai kami masih tanah? Saya masih ingat, cara Ibu dan Nenek membersihkan lantai adalah dengan menyapunya bersih-bersih terus menyiramkan air banyak-banyak ke bawah meja dan kursi dan kolong tempat tidur. Mereka mencegah lantai berdebu, dan karena itu memilih menciptakan kubangan.
Ketika orang macam saya belum juga tercerahkan soal definisi “kotor”, para penjual sabun itu sudah 180 derajat berbalik arah; “Berani kotor itu baik!” seru mereka kemudian. Boleh juga. Tapi itu tetap tak cukup mengesankan. Apa yang istimewa dari semboyan itu bagi bocah macam saya yang masih menyaksikan kakeknya mengunyah tanah?
Pengalaman-pengalaman itu, yang menempel di kulit sebagai luka sobek dan beset dan bahkan bacok (karena masa kecil yang penuh risiko di kebun dan di hutan), tapi terutama yang menempel di kepala sebagai memori indah dan sering kali membanggakan (karena orang-orang kota sekarang tampak berusaha sangat keras, dan karena itu kadang terlihat konyol, untuk merekaulang semua itu dengan berbagai istilah asing), pada hari-hari berwabah ini bergulat melawan pengetahuan yang saya dapat di sekolah, tapi terutama rasa sok tercerahkan ala kelas menengah yang saya cerap selama hidup di Jogja. Dan ini kadang lebih mengganggu dibanding batuk lama yang datang di saat yang tidak tepat.
Tapi, setidaknya di sini ada pergulatan. Dan semua jenis pergulatan, menurut kelas menengah terdidik Jogja, setahu saya adalah baik.
***
Sebelum ada kata kuman, lalu bakteri, dan kemudian virus, kami punya sebutan untuk penyebab sakit yang tidak tampak. Namanya sogok pethek.
Sogok pethek (cara pengucapan “o” mirip kata momok, sementara “e”-nya mirip dengan kata nenek), sejauh yang saya tahu, tak saya temukan dipakai di luar kampung kami, tak juga di tempat lain. Saya tak tahu sejak kapan frasa ini muncul. Tapi, konon, frasa ini banyak dipakai orang untuk merujuk wabah kolera (mungkin saja muntaber) di akhir ’50-an, yang menurut cerita Bapak menewaskan banyak teman masa kecilnya. Tak ada wabah lagi sejak itu, tapi frasa ini masih terus dipakai. Kali ini untuk menyebut penyakit yang membuat ayam tiba-tiba lemas dan mati (tampaknya yang dimaksud adalah penyakit tetelo). Frasa ini juga populer di kalangan ibu-ibu, menjelma menjadi makian khas mereka. Biasanya untuk mengutuk sesuatu yang membuat mereka jengkel, dan itu kebanyakan dilampiaskan ke anak-anak mereka.
Yang paling menarik, boleh jadi karena acuan bendanya tak pernah jelas, kata pethek (yang merupakan kata benda dari dua kata dalam frasa tersebut) kemudian dipakai untuk menamai film kartun di televisi. Jadi, sebelum kata kartun dan kemudian animasi menjadi lebih dikenal dan merebut definisi, pada suatu masa kami menyebut Donald Duck dan Mickey Mouse dan Centurion dan He-man sebagai pilem pethek. Dan definisi ini kemudian memperkaya khazanah hardikan, lagi-lagi di mulut para ibu. Sangat biasa, di sore menjelang senja, terdengar omelan seorang ibu kepada anaknya yang terlambat pulang dari bermain dan malas mandi: “Delok raimu sampek kaya pethek ngene!” (yang kira-kira bisa diterjemahkan sebagai, “Lihat, mukamu sampai mirip tokoh film kartun begini!”—biasanya dengan dibarengi gerujukan air dan gosokan kasar dengan sabun ke muka).
Bagi masyarakat dengan pandangan dunia macam itu, rezim kesehatan jelas punya tugas berlipat-lipat. Ketika Orde Baru, baik lewat buku-buku panduan kesehatan maupun lewat PKK dan Posyandunya, memberi tahu kami tentang pentingnya hidup bersih dan bahaya kuman, sebagian dari kami memahaminya dengan sangat kacau. Manakala penyuluhan tentang wabah demam berdarah digalakkan, pentingnya memberantas jentik nyamuk, dengan menutup wadah-wadah air dan rajin menguras bak mandi, kami menyerapnya dengan sangat sederhana: jangan minum air yang ada jentiknya, nanti mencret.
Sampai ketika kampanye-kampanye itu digalakkan, kami masih mandi di sendang-sendang yang bukan saja tak mungkin dikuras tapi juga tak mungkin ditutup. Yang “paling beradab” di antara ini adalah bak-bak mandi umum di masjid, yang tentu saja ditiru dari kamar mandi umum pesantren, tempat yang kemudian diciri dengan penyakit kudisnya. Orang sudah memasak air untuk minum, tapi air mentah tak terkalahkan segarnya—terutama bagi anak-anak. Ke sawah atau ke hutan, kami membawa air dalam jerigen-jerigen yang dibiarkan berlumut permukaan dalamnya agar memberi kesegaran, sementara kopi dibawa dalam botol-botol paling pertama yang bisa didapat: sebagian dari bekas botol kecap yang ditebus mahal, sebagian lagi dari bekas botol pestisida bermerek Endrine yang gratis dan telah dicuci bersih—saya masih mengingat bentuknya yang gemuk, kebanyakan berwarna cokelat gelap, bergambar tengkorak bersilang tulang yang dicetak timbul.
Saat itu, di pinggiran sendang atau di depan kamar mandi umum lazim ditemukan para laki-laki dewasa sedang menumbuk genteng atau batu kapur untuk bahan gosok gigi. Anak-anak dari keluarga paling makmur dan paling sadar kebersihan akan membawa sikat gigi dan sabun yang sama dengan yang dipakai bapak dan ibunya dan seisi keluarga, sementara bocah miskin yang ingin dianggap sadar kebersihan akan dengan gembira membawa sabun batangan Ekstra Aktif, sabun yang sebelumnya dipakai mencuci pakaian oleh ibunya, untuk sabun badan sekaligus sampo bagi rambutnya. Saya sendiri saat itu lebih suka memakai sabun colek, bisa Omo Biru atau Krim Ekonomi warna kuning; busanya banyak dan rasanya kesat di rambut, rambutmu akan tampak mengkilat begitu diterpa sinar matahari, baunya pun harum seperti baju bersih.
(Saat itu sebenarnya telah ada sabun yang murah dan sangat populer. Ukurannya selebar daun jeruk namun cetakannya tebal, dengan warna yang juga serupa daun jeruk. Tapi anak-anak membencinya karena busanya yang perih dan baunya yang tajam macam jamu. Dan sabun ini adalah ancaman mengerikan untuk wajahmu jika ibumu sudah menyebutmu mirip pethek.)
Ada yang bertanya soal handuk? Di tempat kami, handuk adalah kata lain untuk sajadah. Fungsinya untuk alas salat. Anda dilarang membawa handuk ke kamar mandi.
Karena rumah kami termasuk telat punya kamar mandi sendiri, saya juga termasuk paling terlambat menjadi bagian dari kebudayaan tinggi, yang mandi dan membersihkan badan dengan sabun dan sikat gigi sendiri-sendiri. Boleh dibilang, saya baru benar-benar punya sabun dan sikat gigi dan handuk sendiri, ketika hidup di pesantren—sabun saya Nuvo warna putih dan pasta gigi saya Close-up, setelah sebelumnya sempat menjajal Ritadent, President, Pepsodent, dan Darlie. Ironisnya, sepanjang mondok itulah saya didera gatal di selangkangan dan mulai secara rutin sakit gigi.
Sabun-sabun dan sampo cair dalam botol dan pasta gigi Colgate yang datang dari Malaysia bersama Milo dan sepatu Dallas pasti mengubah cara mandi kami, dan terutama keberadaban kami. Tapi, itu sedikit terlambat untuk saya. Saya sudah jauh dari rumah dengan bekal sangat sedikit uang. Untung saya ke Jogja. Meski memulai dari mencuri (pakai) sikat gigi milik teman di hari pertama ospek, kota dengan peradaban tinggi ini membimbing saya menjadi orang yang lebih berbudaya.
Tapi Anda tak bisa begitu saja menghapus 15 tahun pengalaman masa kecil yang liar itu, bukan? Jadi, selain masih bisa meminum air langsung dari mulut galon (sebagaimana dulu kami minum langsung dari mulut jerigen), makan jajanan dan minum es teh plastikan sambil jalan, tidak memakai sabun saat mencuci gelas atau mug bekas kopi dan teh, saya sesekali masih bisa mandi tanpa sabun, tanpa handuk, dan hanya karena ingin segar saja, juga tidak menyikat gigi jika sedang tidak ingin.
Dan, tentu saja, di masa ketika definisi bersih dan etiket tentang kebersihan dituntut sama di seluruh dunia seperti hari-hari ini, saya masih merasa kelabakan.
***
Kebiasaan masa kecil yang biadab pada diri saya akhirnya mengalah kepada naluri yang lebih purba: survive. Maka, sembari memikirkan daftar rekomendasi WHO, saya putuskan untuk memancal sepeda, mencari apa yang bisa didapat.
Tapi, sejak sebelum keluar rumah, saya sudah putuskan tak akan mencari masker wajah. Saya mungkin biadab soal kebersihan, tapi saya cukup melek tentang ekonomi-politik. Jika masih tersedia di minimarket, saya pikir orang lain akan jauh lebih merasa membutuhkan.
Cairan pencuci tangan, yang tiba-tiba terdengar keren dan penting dalam istilah Inggrisnya, juga tak akan saya cari. Bukan saja karena sangat mungkin telah habis, saya memang benar-benar tak bisa menerima benda ini. Saya sering melihat ibu-ibu protektif yang membasuh tangan anaknya dengan uring-uringan setiap lima menit dengan cairan alkohol di kendaraan umum atau di tempat-tempat ramai; tidak, tidak, saya mau saja beradab, tapi tidak dengan cara seperti itu. Toh, stok sabun cair saya masih banyak. Aroma lemonnya menyenangkan, dan saya kira bisa saya andalkan. Di wastafel juga masih tersedia Sunlight. Saya suka baunya—asal jangan sampai nyampur ke teh hangat, lebih-lebih kopi. Itu saya kira aman untuk tangan. Lagi pula, saya masih rutin ambil air wudhu, bahkan pada saat benar-benar malas salat. Saya hanya perlu melipatduakannya.
Tisu saya kira bolehlah. Saya sudah sangat lama tak membeli benda itu, jika bukannya tak pernah benar-benar beli. Saya seharusnya hidup dengan benda ini sejak lama, setidaknya sejak mulai gampang bersin karena alergi debu tak lama setelah jadi karyawan percetakan. Tapi, tak ada yang lebih nyaman dibanding lengan kaos. Dan itu membuat tisu yang tersedia selalu tak terpakai, dan karena itu saya merasa tak memerlukannya. Tapi saya kira itu bisa diubah. Saya bisa berubah.
Begitu masuk minimarket, saya menuju rak tisu. Masih banyak. Saya ambil yang ukuran agak besar. Tak perlu saya sebut mereknya, toh di mata saya semua terlihat serupa. Saya tertarik dengan deskripsi “terbuat dari bubur kayu Amerika Utara” di bawah kemasannya. Membelinya saya kira akan jadi balasan kecil untuk kayu kita yang jadi lantai rumah mereka; kecil saja. Deskripsi itu menyenangkan untuk saya yang masih menumpuk buku tanpa merasa bersalah terhadap lingkungan. Di atas semua itu, ada kekalahan kecil ketika melemparkan tisu itu ke pondongan. Kebiadaban lama harus dikikis. Selamat tinggal lengan kaos! Selamat tinggal pipa celana!
Tisu itu saya bawa pulang bersama dua kilo beras, dua botol suplemen, sebotol sirup obat batuk, sekilo telur, setengah kilo gula, sebuah toples kecil kosong, yang kemudian ditambah seplastik ubi kentang, tiga potong ketela pohon, seplastik besar kerupuk, dan beberapa jenis sayuran yang sedikit tahan lama dari kios sayur dekat minimarket. Tak boleh lupa, mi instan.
Setelah beberapa hari berdiam di rumah, ketela pohon telah tandas, kentang tinggal setengah plastik, beras terpakai lebih dari biasanya, gula masih aman tapi jelas berkurang banyak, sayur tinggal beberapa dan melayu, sirup obat batuk tinggal terpakai sepertiga, telur tinggal tiga butir, Indomie goreng habis. Namun, tisu wajah itu masih ada di situ, tak bergerak dari tempat terakhir saya meletakkannya sepulang belanja. Ia masih terlihat hijau, gemuk, dan “lembut”, seperti yang diklaimnya. Dan utuh.
Saya sedang tak punya alasan untuk memakai tisu, tapi tisu itu mesti dipakai. Saya membolak-baliknya. Saya tahu bagian bawahnya, tapi saya tak melihat sisi atasnya. Lalu dari mana saya membukanya? Saya temukan garis patah-patah di sana, tapi tak saya temukan tanda gunting atau pisau atau gancu. Saya yakin di situlah bungkus tisu itu harus dibuka, tapi saya ragu. Saya mau tanya ke grup WA kecil kami, tapi saya gengsi. Maka, saya buka paksa saja.
Akhirnya tisu itu terpakai. Terpaksa. Sebab, bungkus kemasannya berantakan. Dan saya tak punya wadah plastik untuknya.
Saya makan banyak, minum banyak, semuanya terasa baik-baik saja. Batuk pun batuk lama. Tak ada demam di sana. Tak ada juga keluhan lain. Saya kira saya akan survive. Saya harap begitu. Meski, mungkin, tetap saja gagal untuk jadi lebih beradab.
BACA JUGA Bonsai dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.