Perempuan zaman sekarang berisik banget. Apa-apa dibilang pelecehan. Apa-apa dibilang seksis dan misoginis. Apa-apa dibilang patriarkis. Apa-apa tersinggung.
Kalau kalian udah mulai keganggu banget sama protes para perempuan, tenangkan diri kalian… soalnya, protes itu akan terus berlangsung dan kayaknya belum bisa berhenti! Wekawekaweka.
Gara-gara kelamaan di rumah selama pandemi, saya jadi punya waktu luang buat nonton serial Jinny Oh Jinny di YouTube. Anak-anak yang lahir tahun 90-an pasti kenal dengan kecentilan Diana Pungky sebagai Jinny dan pernah bermimpi tinggal di dalam kerang ajaib yang kayaknya enak banget buat jadi tempat kabur dari segala beban duniawi itu.
Ketika nonton ulang Jinny Oh Jinny, banyak sekali perasaan nggak nyaman dalam diri saya. Saya tetap ketawa sih, tapi saya tahu, saya nggak nyaman dengan jokes-jokes Pak Baroto yang penuh stigma kepada perempuan janda, adegan catcalling Bagus, dan Jaka tiap ada perempuan seksi lewat, atau manipulasi Pak Baroto ke istri tiap mau selingkuh sama perempuan lain.
Saya menyadari satu hal, jokes-jokes di film tahun 90-an memang dibangun dari pelecehan dan stigma kepada perempuan.
Apakah berarti perempuan zaman sekarang nggak asyik lagi buat diajak bercanda?
Bisa kok. Tapi, seiring dengan kesadaran baru dalam masyarakat, bahwa materi komedi yang menajamkan label negatif kepada perempuan itu udah nggak zaman. Artinya, masyarakat perlu materi komedi yang lebih segar.
Janda, misalnya, dalam budaya populer jaman dulu selalu dibahas seksualitasnya semata. Janda dalam film semata dikarakterisasi sebagai perempuan penggoda, perempuan perusak rumah tangga orang, dan perempuan kesepian. Padahal, janda di dunia nyata tuh secara fungsi adalah perempuan kepala keluarga atau single mom, lho.
Kalian yang punya ibu janda pasti tahu perjuangan para ibu kalian menjadi ibu tunggal yang banting tulang buat nyekolahin anaknya. Nggak ada nyambung-nyambungnya kan sama karakter janda gatel yang digambarkan dalam film lawasan?
Itulah sebabnya ada perlawanan.
Dulu, zaman saya SD-SMP-SMA, saya masih lihat adegan live temen cowok yang jebretin tali beha temen cewek di kelas. Di depan mata saya juga, saya lihat temen perempuan dengan payudara besar diledek beramai-ramai ketika jalan ke kantin.
Anak-anak perempuan sepuluhan tahun lalu kayaknya masih nggak pada bisa melawan. Kebanyakan anak perempuan pada masa itu belum bisa mendefinisikan apa yang menimpa kami, anak perempuan, sebagai pelecehan seksual.
Kami hanya tahu peristiwa yang menimpa kami itu kayaknya dialami juga oleh generasi-generasi sebelum kamu dan kami hanya mendefinisikan peristiwa menyebalkan semacam itu sebagai “kesialan perempuan”.
Anak perempuan zaman sekarang nasibnya sudah lebih beruntung. Sejak lima tahun terakhir, di semua platform, anak-anak muda ramai mendiskusikan pelecehan seksual dan kekerasan seksual. Remaja usia SMP hari ini sudah sangat familiar dengan istilah “catcalling” dan tahu bahwa disiuli orang asing itu bukan kesialan, melainkan tindakan pelecehan dari pelaku dengan otak terbelakang yang boleh ia lawan.
Remaja usia SMP hari ini sudah mulai mengenal istilah-istilah yang saya sendiri bahkan baru beruntung memahaminya belum cukup lama, seperti manipulasi, gaslighting, hingga toxic relationship.
Ternyata, apa yang dianggap “normal” pada masa lalu, bisa punya nilai yang berbeda di hari ini. Sesuatu yang diperbolehkan pada masa lalu bisa jadi sesuatu yang ditolak oleh budaya hari ini dan itu nggak masalah.
Contoh lain adalah tradisi bullying. Orang-orang di media sosial terus mendiskusikan bahwa acara orientasi siswa atau mahasiswa baru dengan cara pelonco atau membentak-bentak tanpa alasan itu sama sekali nggak keren.
Panitia OSPEK yang viral gara-gara bikin acara norak via Zoom juga sempet dikritik keras oleh netizen gara-gara acara meriksa-meriksa ikat pinggang sambil akting otoriter itu dianggap udah nggak berkelas.
Orang tua zaman sekarang juga sering memprotes guru yang pakai kekerasan fisik untuk mendisiplinkan siswa. Awalnya, ada guru tradisional yang berupaya mempertahankan sikapnya dengan kelakar, “Kalau nggak mau anaknya dimarahin guru, ya didik sendiri aja di rumah.”
Namun lama-lama, lebih banyak gelombang guru generasi baru yang sepakat bahwa mendidik anak tanpa kekerasan itu lebih efektif dan ada PR besar untuk mencari cara-cara kreatif mendidik anak tanpa kekerasan.
Perubahan itu mutlak dan perlu. Sepanjang perubahan itu baik, tandanya peradaban manusia udah semakin bener. Seperti hari ini ketika perempuan sudah semakin sadar akan nilai dirinya.
Maka, para perempuan ini memproses segala macam nasib buruk yang pernah teralami di masa lalu dan berharap menciptakan perubahan biar generasi selanjutnya nggak ngalamin nasib buruk yang sama di masa depan. Caranya?
Nggak ada cara lain selain dengan bersuara. Nggak ada cara lain selain dengan bawel di media sosial.
Ada media yang bikin berita perkosaan dengan nyalahin korban, siap-siap aja, pasti perempuan akan berisik melawan.
Ada media yang bikin berita janda dengan mempertanyakan kebutuhan seksualnya, perempuan akan bersatu buat belain sesama perempuan tertindas bareng-bareng.
Ada perempuan ngomongin hak-hak pekerja di perusahaan, udah dua hari ribut di temlen nggak uwis-uwis. Lebih baik diomongin dengan berbagai perbedaan pendapat, daripada nggak pernah diomongin dan dianggap bukan persoalan.
Ada predator yang beredar di aplikasi kencan online, para perempuan jadi intel bareng-bareng.
Ternyata bukan perempuan zaman sekarang yang dikit-dikit tersinggung, tapi budaya masa lalu yang terlalu primitif.
Kalau kamu nggak nyaman dengan keberisikan suara perempuan, nggak apa-apa, alias ya maaf, perempuan-perempuan ini akan terus berisik, dan berisiknya masih lama…
Mamam.
Kamu bisa baca kolom Kelas-Kalis lainnya di sini. Rutin diisi oleh Kalis Mardiasih, tayang saban hari Minggu.