MOJOK.CO – Kita kadang harus “percaya total” bahwa apa yang terjadi dan kita hadapi adalah untuk sebuah “tujuan besar” yang baik. Husnuzan terhadap itu.
Demi kepraktisan kehidupan sehari-hari, kita kerap-kali dipaksa untuk melakukan “penundaan” atas skeptisisme, keragu-raguan, dan kecurigaan pada semua hal. Kehidupan seringkali hanya bisa dijalani secara normal jika kita menerima semacam “realisme pragmatis”: yaitu, menerima apa yang ada agar kehidupan bisa berjalan dengan relatif mulus.
Segala bentuk pertanyaan, untuk sementara, ditaruh di antara dua tanda kutip; ditunda dahulu. Sebab, jika tidak, ritme kehidupan akan terganggu, dan, secara psikologis, kita tak nyaman.
Contoh sederhana adalah sebagai berikut: saat naik pesawat, kita biasanya menaruh “kepercayaan total” kepada sang pilot: bahwa ia akan benar-benar membawa kita ke tujuan.
Inilah yang saya sebut sebagai realisme-pragmatis. Kita bisa saja mengambil sikap skeptis. Kita bisa meragukan bahwa pilot akan benar-benar membawa pesawat ke tujuan yang kita kehendaki. Kita lalu “rempong” menginterogasi pilot untuk memastikan apakah dia benar-benar akan menerbangkan pesawat ke tujuan kita. Jika benar-benar melakukan ini, kemungkinan besar kita akan diamankan oleh petugas!
Betapa tidak praktisnya kehidupan jika setiap hendak melakukan sesuatu, seseorang bersikap curiga dahulu. Ada situasi-situasi yang memang mengharuskan kita untuk mencurigai, bertanya-tanya, skeptis. Tetapi sikap ini tidak bisa kita pakai dalam semua keadaan; hanya bisa kita lakukan dalam keadaan khusus. Agar kehidupan berjalan dengan normal, dia harus “percaya total” bahwa orang lain akan melakukan sesuatu sesuai dengan yang ia harapkan.
Harapan ini bisa saja meleset. Pesawat yang kita tumpangi bisa saja membelot, tidak meluncur ke tujuan yang kita kehendaki. Tak ada jaminan bahwa “realisme pragmatis” yang kita pakai itu menjamin kesuksesan, dan sesuatu akan berjalan sesuai dengan harapan kita. Tetapi ini hanya terjadi dalam situasi yang spesial, ketika disrupsi atau gangguan atas kenormalan hidup berlangsung.
Apa kaitan ini semua dengan pembahasan mengenai sifat iradah Tuhan?
Dalam skala kehidupan yang lebih besar, sikap “realisme-pragmatis” ini juga amat relevan. Agar tak risau, kita kadang harus “percaya total” bahwa apa yang terjadi dan kita hadapi adalah untuk sebuah “tujuan besar” yang baik. Segala yang terjadi adalah manifesti iradah Tuhan. Sikap husnuzan ini membantu kita untuk “letting go of things,” melepaskan diri dari ikatan yang berlebihan kepada sesuatu.
Ini bukan berarti kita tak boleh mempertanyakan, bahkan memprotes: kenapa hal-hal tertentu terjadi. Dalam situasi-situasi yang bersifat “liminal,”ß artinya sudah mencapai batas terjauh yang tidak mungkin lagi dipikul bebannya oleh manusia, seseorang akan sangat wajar untuk bertanya, mungkin dengan nada protes: Kenapa Tuhan berbuat demikian?
Inilah momen yang disebut “the dark night of soul”—malam kelam bagi jiwa seseorang. Momen-momen semacam ini biasanya terjadi ketika seseorang berhadapan dengan “momen liminal” yang menguji batas kesabaran. Inilah “momen Ayub,” merujuk kepada kisah Ayub yang menerima cobaan begitu berat.
Ketika terjadi bencana besar yang menimbulkan kesengsaraan massal, pertanyaan ini biasanya menyeruak ke permukaan. Pada momen seperti ini manusia bisa saja merasa bahwa ia seperti “ditinggalkan” oleh Tuhan.
Ujian seorang beriman terjadi pada momen-momen seperti ini. Inilah keadaan yang dialami oleh ribuan, bahkan jutaan pengungsi di berbagai belahan dunia yang harus menderita selama bertahun-tahun, menghadapi masa depan yang sama sekali muram; keadaan yang dialami oleh, misalnya, para pengungsi Rohingya, Syria, atau warga Palestina.
Pada momen seperti ini, manusia bisa menempuh dua kemungkinan: ia menyangkal keberadaan Tuhan sama sekali, sebab, jika Tuhan benar-benar ada, tentulah Ia akan segera menolong; atau ia menaruh husnuzan dan kepercayaan total pada “kebaikan iradah” Tuhan. Sebab segala yang terjadi, terjadi karena memenuhi “rencana besar” yang hanya diketahui oleh-Nya.
Pada sikap yang kedua itu, kita menghentikan segala pertanyaan, menerima kenyataan sebagai manifestasi dari iradah besar Tuhan yang kita percaya secara total akan berujung kepada sesuatu yang baik.
Setelah mengambil sikap ini, seseorang bisa “move on”, bergerak ke etape hidup berikutnya dengan perasaan yang mungkin sedikit lebih legawa. Di sini, ia menjalani sikap seorang penumpang pesawat yang menaruh husnuzan penuh pada sang pilot yang akan membawanya ke tujuan akhir.
Inilah sikap orang beriman—orang yang menaruh “total confidence” kepada arus peristiwa, karena ia melihat iradah Tuhan sedang menjelma di sana.
Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.