Seorang ibu tiba-tiba bertanya di medsos. Bunyinya kurang lebih, Bakal seperti apa ya sikap perempuan muda yang sekarang edgy jika anak perempuannya kelak berkelakuan seperti si ibu saat muda?
Adalah biasa seorang ibu mengkhawatirkan masa depan anaknya. Namun, yang ini menarik karena yang dikhawatirkan adalah ibu-ibu lain serta anak perempuan orang lain yang tak sesuai standar moralnya.
Si ibu tidak mempertanyakan nilai moral dan tindakan si bapak. Si ibu yang bertanya ini juga tidak memikirkan nilai moral dan tindakan anak laki-laki di masa depan. Ia hanya mempertanyakan nilai moral dan sikap ibu (sebagai sosok yang mewakili perempuan dewasa) dan anak perempuan yang seolah akan mengganggu jalannya kehidupan normal.
Apakah itu berarti anak laki-laki boleh “edgy” sedangkan anak perempuan tidak? Apakah anak perempuan “edgy” lebih berbahaya dibanding anak laki-laki “edgy“?
Adakah seorang bapak di luar sana yang mengkhawatirkan bapak-bapak lain beserta anak-anak lelaki mereka? Apakah standar nilai moral “menjadi perempuan” berbeda dengan “menjadi laki-laki”?
Penting untuk memeriksa kenapa sebuah pertanyaan ada dan muncul dari kepala seseorang. Bahasa ndakik-nya, menarik untuk mengecek epistemologi berpikir seseorang sehingga ia bisa memunculkan pertanyaan untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Pertanyaan itu banyak dibicarakan di media sosial. Khalayak ramai mempertanyakan “edgy” seperti apa yang dimaksud.
Edgy dalam wacana budaya berasal dari kata edge, yang berarti ‘ujung’. Kira-kira yang dinamakan edgy adalah subkultur alternatif yang menekan norma-norma sosial sampai ujung. Jadilah musik edgy sebagai musik yang menginduk pada genre musik tertentu, tapi berbeda bentuk dari induknya. Jadilah gaya fesyen edgy tampak unik serta menjadi benar-benar berbeda dari tren sebelumnya.
Tapi, dalam pertanyaan tadi, makna edgy yang dimaksud kurang jelas.
Edgy menurut si Ibu ditandai dengan bertato, suka party, merokok, minum alkohol. Ia juga menyebut “edgy kategori ‘open minded’” yang penganutnya berciri savage, fearless, dan lain-lain.
Dari penjelasan itu, definisi edgy tidak ditemukan. Kita hanya bisa membaca kategorisasi edgy, mulai dari yang sifatnya pilihan fesyen hingga hobi. Oh ya, sebagai disclaimer, saya juga suka party karena hobi saya ngundang-ngundang teman ke rumah buat makan-makan dalam rangka syukuran ini-itu.
Untuk kategori open minded, saya tidak paham kenapa kategori tersebut bisa tergolong edgy. Saya kira setiap manusia fardhu ‘ain buat open minded. Juga, tentu saja untuk fearless. Seumur hidup saya bercita-cita sebagai manusia fearless agar bisa lebih percaya diri buat hidup.
Jika boleh menambah asumsi dalam tulisan ini, dengan merangkai bermacam kategorisasi itu jadi satu paket, jadilah yang dimaksud dengan perempuan edgy oleh si ibu adalah perempuan yang pada masa mudanya bertato, suka party, merokok, dan minum alkohol. Perempuan muda edgy itu juga terbuka pada pemikiran baru dan tertantang oleh banyak hal.
Kategori di atas sebetulnya tak satu pun tergolong kriminal dan melanggar hukum. Jika deskripsi perempuan seperti di atas dianggap berbahaya sampai-sampai dikesankan tak layak ditiru oleh anak sendiri, tentu saja domain ini bersifat stereotyping.
Ada banyak perempuan dewasa bertato, suka party, merokok, dan minum alkohol yang catatannya bersih di kepolisian. Tak kalah banyak mereka dengan ciri ini yang sebagai manusia, punya peran sosial yang besar dalam masyarakat. Tapi, seberapa pun besar sumbangsih mereka kepada sesama, perempuan bertato, suka party, merokok, dan minum alkohol masih mendapat label negatif dalam pandangan masyarakat bias gender. Pilihan penampilan seperti bertato dan merokok lebih dimaklumi jika dilakukan oleh laki-laki, tapi tidak untuk perempuan.
Saya tidak sedang mempromosikan tato atau aktivitas merokok. Kita bisa berdebat secara lebih jernih jika mendasarkan pendapat pada alasan lain, seperti kesehatan. Kejernihan argumen itu tidak akan ada jika larangan yang dibangun berlandaskan jenis kelamin. Lebih-lebih jika larangan untuk perempuan karena dihubungkan dengan ibuisme perempuan. Beban tubuh saja sudah berat, masih juga beban urusan-urusan moral semua dilimpahkan kepada ibunya, tanpa perlu bertanya kepada bapaknya. Sungguh berat.
Saya kira, yang harus diajarkan kepada anak perempuan dan laki-laki bukanlah harus edgy atau tidak edgy. Yang harus mereka tahu adalah bagaimana cara menalar yang benar serta bagaimana cara mengambil keputusan berdasarkan kesiapan bertanggung jawab atas risiko keputusan itu.
Jadi, seperti apa sikap perempuan muda yang sekarang edgy jika anak perempuannya kelak berkelakuan seperti si ibu saat muda?
Ya, biasa saja. Ibunya juga sampai sekarang nggak kenapa-kenapa kan? Bisa punya anak dan hidup baik-baik. Tidak terganggu selera fesyen dan standar moral orang lain.
BACA JUGA Aa Gym dan Riwayat Mangkelnya Ibu-ibu. Kamu bisa baca kolom Kelas-Kalis lainnya di sini.