Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Kita Mau Apa Kalau Minang Niat Minggat dari Negara Pancasila?

Muhidin M. Dahlan oleh Muhidin M. Dahlan
13 September 2020
A A
Kita Mau Apa Kalau Minang Niat Minggat dari Negara Pancasila?

Kita Mau Apa Kalau Minang Niat Minggat dari Negara Pancasila?

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Sejarah menunjukkan, penantang utama idealisasi “Negara Pancasila” model “NKRI Harga Mati” adalah orang Minang.

“PRRI tidak memberikan perlawanan? Orang Minang hanya pintar berdagang.”

—Kolonel Ahmad Yani, pemimpin operasi penumpasan PRRI di Sumatera Barat.

Saya bisa memaklumi kalau Ketua DPR RI, Dr. (H.C.) Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi, S.I. Kom. menunjuk Sumatera Barat sebagai provinsi yang jauh dari “Negara Pancasila”. Paling tidak, “Negara Pancasila” yang selama ini diidealisasikan pelaksana negara.

Parameternya satu: semua sila dari Pancasila jika diperas, bukan menjadi “keADILan sosial” atau “keMANUSIAan yang ADIL dan berADAB” atau “keTUHANan” atau “keRAKYATan”, melainkan “per-SATU-an”.

Harus ber-SATU, walaupun nggak adil, nggak beradab, nggak merakyat.

Sejarah penyusunan konstitusi menunjukkan bahwa penantang utama idealisasi “Negara Pancasila” model “NKRI Harga Mati” adalah orang Minang yang menubuh dalam diri Mohammad Hatta.

Bahkan, sejak ide “per-SATU-an Indonesia” itu dalam bentuk zigot di pikiran Sukarno, Hatta sudah mati-matian mengadangnya dengan mempelesetkannya dengan “per-SATE-an”. Dan, kita tahu jua, Dr. (H.C.) Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi, S.I. Kom. generasi ketiga dari garis keturunan langsung Sukarno.

Pertimbangan “per-SATU-an nasional” itu juga kemudian bikin Sukarno mau didampingi Hatta dalam peristiwa Proklamasi. Bahwa, perlu ada “faksi Sumatera” yang potensial dan menjadi oposan kuat yang perlu dirangkul.

Sebentar, sebentar. Bukankah ada Mohammad Yamin yang juga dari Sumatera?

Tidak, Yamin hanya singgah lahir di Sumatera Barat. Dia lebih Jawa dari Jawa. Secara ide, Sukarno dan Yamin punya impian dan imaji yang sama tentang imperium “per-SATU-an Nasional”.

Dilarang menyanyi di kamar mandi

Sukarno sendiri memang sudah sering dibikin jengkel oleh orang Minang. Sutan Sjahrir yang berdarah Minang pernah dibuang bersama Sukarno di kamp yang sama di Toba, Sumatera Utara.

Suatu hari, Sutan Sjahrir jengkel dengan Sukarno yang berlama-lama di kamar mandi sambil menyanyikan “One Day When Were Young” dari Great Waltz: One day when were young/ That wonderful morning in May/ You told me you loved me/ When we were young one day.

Dalam adegan “dilarang menyanyi di kamar mandi”—pinjam judul cerpen Seno Gumira Ajidarma—Sjahrir mengucapkan kata-kata telangas: “Houd je mond!”

Ditegur demikian, Sukarno marah sekali!

Iklan

Bayangkan, seorang presiden dibentak oleh “seorang bawahan”. Tentu saja, bukan sekali itu saja Sjahrir bikin murka Sukarno. Berkali-kali.

Sampai pada suatu hari, tepatnya 21 Juli 1960, Sukarno selaku presiden memanggil pimpinan Masyumi dan PSI di Istana Merdeka. Dua partai itu, entah kebetulan atau tidak, sama-sama dipimpin tokoh berdarah Minang. Masyumi oleh M. Natsir, PSI oleh Sjahrir.

Pemanggilan tokoh teras dua partai peserta Pemilu 1955 itu untuk mendengarkan secara langsung partai mereka dibubarkan dengan tuduhan terlibat dalam pemberontakan PRRI.

Yang menarik dari peristiwa itu adalah foto bagaimana Sjahrir duduk bak pesakitan di hadapan Sang Garuda bernama Sukarno. Sjahrir yang pernah menjadi Perdana Menteri, ketua DPR (dulu: KNIP), dan ketua delegasi perundingan Indonesia-Belanda, dengan mengenakan setelan jas putih-putih, hanya duduk merengut mendengarkan nasib buruknya dibacakan langsung oleh “sahabatnya”.

Foto nomor 92 yang membikin hati trenyuh itu dimuat di buku foto karya Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir (2010).

Satu setengah tahun kemudian, Sjahrir ditangkap dan dibui di penjara Madiun, Jawa Timur. Sementara, M. Natsir yang juga pernah menjadi Perdana Menteri, ditangkap dan dipenjarakan oleh Sukarno di Batu, Malang, Jawa Timur.

Dalam konteks “Pancasila”, partai yang dipimpin M. Natsir ini, selain tertuduh sebagai pihak yang berkomplot dalam pemberontakan PRRI, juga menjadi batu sandungan yang liat dari usaha Presiden Sukarno yang ingin “kembali ke UUD 1945”.

Di Dewan Konstituante yang gagal merumuskan asas baru dengan suara yang bulat itu, Masyumi (di dalamnya tokoh-tokoh Muhammadiyah banyak) yang dipimpin oleh tokoh berdarah Minang itu dipandang sebagai biang kerok oleh kubu nasionalis yang tidak mau “meneken kesepakatan asas” jika tidak mengembalikan “sila pertama Pancasila yang (di)hilang(kan)”.

Bagi sosok seperti M. Natsir, ayo, mari ber-Pancasila, asal “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kalau nggak, ya, situ aja, kita ogah.

Pancasila 22 Juni ’45 yes, Pancasila 18 Agustus ’45 no.

Kira-kira begitu.

Mau “minggat”, tetapi (masih ada) “cinta”

Singkat kalimat, hubungan antara Minang dan Negara Pancasila seperti foto legendaris di mana tiga bung—Sjahrir, Hatta, dan Karno—duduk bersama dalam satu bingkai sesaat sebelum bertolak ke Yogyakarta pada malam 4 Januari 1946.

Di kursi panjang itu, Sukarno duduk diapit Sjahrir dan Hatta. Dua pengapit itu terkesan menjaga jarak. Posisi duduk Hatta miring ke luar bingkai seperti tidak mau mendekati Sukarno.

Sjahrir lebih-lebih lagi, ia bahkan menggeser posisi duduknya seperti orang yang ingin cepat-cepat pergi, tetapi tidak enak.

Nah, Minang itu seperti posisi duduk Hatta dan Sjahrir itu: pingin minggat, tetapi nggak enak! Pengin cerai, tetapi (mungkin) masih ada cinta.

Itulah bedanya dengan Papua dan Aceh yang mengungkapkan semuanya secara frontal. Minang nggak. Nggak enak mengutarakan “gugatan cerai”.

Mau cerai bagaimana kalau tokoh-tokoh dari Minang yang dipenjarakan Sukarno justru dianugerahi oleh “Negara Pancasila” sebagai Pahlawan Nasional?

Atau, dalam kalimat yang adiluhung: betapapun, orang-orang terpelajar Minang adalah penyumbang gagasan ke-Indonesiaan utama, adalah manusia-manusia revolusi penegak Republik.

Serba tidak enak.

Atau, seperti kalimat “ngehek” dari Kolonel Ahmad Yani yang sudah dikutipkan pada awal tulisan ini, mana berani orang Minang melawan yang tahunya cuma berdagang itu?

Sampai di sini, ujaran Ketua DPR RI, Dr. (H.C.) Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi, S.I. Kom., yang sekaligus cucu Sukarno itu—dan bagaimana (elite) Minang meresponsnya—tidak terlalu mengagetkan.

Sekadar ulangan tengah semester mapel sejarah Indonesia.

Itu.

BACA JUGA Puan Maharani Tak Perlu Minta Maaf soal Sumatera Barat atau tulisan Muhidin M. Dahlan lainnya.

Terakhir diperbarui pada 13 September 2020 oleh

Tags: Hattaminangnegara pancasilaPuan MaharaniSukarno
Muhidin M. Dahlan

Muhidin M. Dahlan

Penulis dan kerani partikelir IBOEKOE dan Radio Buku.

Artikel Terkait

Seputar Peristiwa 65 yang Tak Mungkin Ada di Buku Sejarah MOJOK.CO
Esai

Seputar Peristiwa 65 yang Tak Mungkin Ada di Buku Sejarah

30 September 2024
Cerita 2 Pemuda yang Hidup di Jakarta: Harusnya Merantau ke Jakarta dari Dulu, Nggak Perlu Mampir Jogja! minang
Liputan

Perjalanan Perantau Minang Menantang Jakarta: Jakarta Itu Keras, Lebih Baik Putar Balik!

23 Juni 2024
Jawa Ngatain “Polisi Rendang” ke Orang Sumatera. Nggak Sopan! MOJOK.CO
Esai

Rendang Dikira Kalio, Sudah Salah Ngotot Pula: Ketika Orang Jawa Menista Warisan Masakan Padang

18 April 2024
pedagang minang di malioboro jogja.MOJOK.CO
Ragam

Kisah Para PKL dari Minang di Malioboro, Sejak 1970 Merintis Usaha sampai Beranak Cucu di Jogja

31 Januari 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.