Apa kabar, kawan-kawan? Alhamdulillah, selesai berlebaran juga kita tahun ini. Sudah sungkeman kan? Dengan bumbu nangis sesenggukan tidak? Hidup memang perlu drama, termasuk menangis haru ketika mencium tangan orang tua atau saat ziarah kubur.
Lalu bagaimana selanjutnya? Pamer kesuksesan dong. Datang menggunakan motor atau mobil baru lalu bagi-bagi uang ke keponakan dan orang tua hingga mentraktir makan keluarga besar. Sesekali dengan sengaja membuka jendela mobil di depan rumah mantan sembari berharap dia melihat kita di dalam mobil. Dalam hati kita berbisik, rasain dulu mutusin aku, sekarang aku sudah mapan dan kamu cuma pacaran dengan orang yang bergaji UMR.
Bahagia sekali. Mendapat THR dan menggerakkan sektor riil di daerah. Menambahkan jumlah uang beredar sekaligus membagi kebahagiaan. Senyum merekah seperti Kalis Mardiasih setiap selfie terhampar di banyak lokasi. Lebaran kerap disebut dino becik (hari baik) untuk bertemu keluarga dan berbahagia bersama.
Dengan tulisan ini saya hendak “sedikit” merusak kesempurnaan kebahagiaan itu. Mengapa? Karena tidak semua orang mengalami keberuntungan. Saya dengan sengaja akan menuliskannya.
Korban Infrastruktur
Jakarta—Surabaya akan kian dekat. Jarak 800-an km itu akan dilancarkan dengan jalinan tol Trans-Jawa yang membentang dari Jakarta—Cikampek, Cikopo—Palimanan, Palimanan—Kanci, Kanci—Pejagan, Pejagan—Pemalang, Pemalang—Batang, Batang—Semarang, Semarang—Solo, Solo—Kertosono, Kertosono—Mojokerto, dan Berakhir di Surabaya.
Dengan kecepatan 80 km/jam, pada suatu masa Jakarta—Surabaya dapat ditempuh dalam 10 sampai 11 jam saja.
Berkah ekonomi dari perputaran usaha quarry batu, pasir, urukan, split, semen, besi, dan baja. Ribuan pekerja diserap. Ekonomi bergerak bahkan sejak infrastruktur dibangun. Warung-warung makan dan tempat tinggal pekerja memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat sekitar proyek.
Pembangunan tol juga akan menjadi infrastruktur dasar pembangunan infrastruktur lainnya. Serat optik bisa menyewa lahan atau jalur pembatas di tengah tol. Kanan kiri koridor tol bisa menjadi jalur pipa gas, kabel listrik, air bersih, jalur limbah, bahkan mungkin juga jalur irigasi. Belum lagi penurunan biaya logistik.
Indah memang. Namun, saat mudik dari Malang menuju Tangerang Selatan, saya keluar di exit toll Semarang untuk membeli tahu bakso Ungaran yang dijual di kios oleh-oleh yang berjajar di sepanjang jalan. Pak Hartono, pemilik kios menyambut saya. Saya menanyakan penjualan dan beliau jawab lumayan. Sampai kemudian beliau berkata, “Tapi, saya tidak tahu nasib kios ini nanti setelah semua ruas tersambung, Mas.”
Dalam jarak 800-an km tersebut ada berapa ribu usaha yang akan berkurang pendapatannya bahkan tutup? Entah. Sepertinya untuk studi seperti ini jarang ada yang mau bikin. Beda dengan bikin survei elektabilitas pilkada. Banyak lembaga yang bikin dengan independen. Katanya.
Saya belanja di toko Pak Hartono kira-kira Rp250 ribu. Bayangkan ada traffic arus mudik dan balik dari jutaan mobil. Jika ada satu mobil belanja Rp200 ribu, ada Rp200 miliar penjualan oleh-oleh. Belum termasuk tempat makan, wisata sederhana, hotel/losmen untuk istirahat. Semua akan turun drastis ketika infrastruktur tersambung. Lalu siapa yang menikmati kue traffic di rest area jalan tol? Tentu saja waralaba padat modal yang sanggup membayar sewa tempat di lokasi utama yang tentu tak terjangkau pengusaha kecil minim akses seperti Pak Hartono.
Harga Stabil dan Nasib Petani Kecil
Stabilitas harga yang terjadi dalam suasana Ramadan hingga Lebaran adalah hal yang patut disyukuri. Pemerintah menyatakan bekerja keras untuk membuat hal ini terjadi. Pengkritik pemerintah mengatakan tidak ada kenaikan harga adalah sinyal ekonomi melambat/memburuk. Pemuja akan membela, pembenci akan mencaci. Basis data sudah tak penting lagi. Ya, ampun dua kalimat itu berima indah sekali. Saya tak akan membahasnya. Biarlah pemuja dan pencaci saling memuaskan hasrat sampai mengalami multiple orgasm.
Saat kita bahagia melihat notifikasi THR, gaji sudah masuk, dan merasakan harga stabil, ada banyak yang tak seberuntung kita. Banyuwangi—Jember kelebihan produksi cabai merah besar. Harga Rp25 ribu/kg di level petani sebelum puasa terjun bebas hingga Rp6 ribu/kg.
Biaya tanam untuk balik modal petani cabai besar yang berpengalaman Rp3.500/kg. Yang kurang pengalaman atau kurang modal, bisa produksi di harga Rp5.500. Untung sangat rendah. Kabar baik di sepuluh hari terakhir puasa, harga di tingkat petani meningkat ke Rp17 ribu. Nasib lebih buruk dialami petani cabai hijau besar yang di level petani hanya dihargai Rp3.500/kg. Rugi membayangi petani. Demikian juga terong di Grobogan. Entah apa yang terjadi hingga panenan terong hanya dihargai Rp500/kg.
Yang hobi membuat kue tentu bahagia. Harga telur awal puasa Rp18 ribu. Paling mahal yang saya dapati di sekitar rumah adalah Rp24 ribu. Publik bersorak karena leluasa membikin kue dengan anggaran relatif rendah. Bisa memasak opor ayam dengan banyak telur. Adakah yang sejenak bertanya bagaimana nasib peternak ayam petelur yang Anda kenal?
Harga jagung pakan dari Rp3.700/kg meningkat ke Rp4.200. Biaya pakan untuk ayam petelur bisa berkontribusi 60—70% terhadap biaya produksi. Ketika harga jagung naik sementara harga telur standar, berarti ada yang kehilangan margin. Siapa mereka? Ya jelas peternak skala kecil dan menengah.
Jangan lupakan mereka, petani dan peternak. Tanah mereka akan kian terkikis karena perkembangan infrastruktur. Harus ada keseriusan mendampingi, mendukung, dan membantu mereka agar tak tersapu zaman begitu saja. Harga lahan di sekitar proyek akan melambung ratusan persen dalam jangka pendek. Rayuan tenaga marketing otomotif, elektronik, hingga penyanyi di kafe dangdut bisa membuat pemilik lahan melepas tanahnya dan tenggelam dalam konsumsi. Sesaat bahagia lalu menangis berkepanjangan karena kehilangan alat produksi.
Pekerja yang Kelelahan
Bersabar, menunggu Magrib, menahan diri dari emosi dan tingkah berlebihan lainnya. Sebulan penuh dijalani, tetapi banyak yang tak meneladani Ramadan. Ramadan usai, Lebaran tiba, kembali lagi ke sifat asal.
Tak semua orang bisa memperoleh cuti bersama bahkan menambah cuti saat dekat Lebaran. Mereka harus kerja keras dalam puasa bahkan saat takbir berkumandang. Yang beruntung bisa cuti kadang minim empati.
Banyak tempat makan kekurangan pekerja hingga pelayanannya lambat. Saat Lebaran, sebagian yang sudah belajar sebulan menahan diri tak tersisa lagi jejaknya. Sibuk memarahi pekerja di rumah makan karena banyak menu kosong dan makanannya tak kunjung datang.
Saya menemui beberapa kasus seperti ini. Seorang penyelia rumah makan yang saya datangi sempat saya tanya jumlah orang yang bekerja. Dia menjawab, di hari biasa ada 15 orang, kini hanya 5 orang. Sibuknya luar biasa, melayani “orang liburan” yang lapar dan marah-marah. Beberapa terlihat kelelahan walau berupaya tetap senyum.
Pegawai SPBU juga mengalami hal yang sama. Tak hanya mengurusi antrean mobil dan motor yang kadang tak sabaran, tapi juga mengurus mereka yang numpang istirahat dan membuang sampah seenaknya di sekitar SPBU. Mau diingatkan, tapi yang buang sampah rombongan banyak banget. Cuma bisa diam dan saat sepi mereka harus merangkap petugas kebersihan. Membersihkan sampah mereka yang katanya sebulan penuh berupaya membersihkan hatinya.
Beberapa pengurus masjid dan pesantren juga kerepotan. Ini malah tidak ada unsur ekonomi sama sekali. Bekerja hanya mengharap rida Allah Swt. Saya dan keluarga tertolong ketika salat Subuh di masjid Pesantren Zaenuddin, Tegal. Dibantu parkir, dijagakan mobil karena ada anak bungsu saya yang sedang tidur. Saya, istri, dan dua anak yang dewasa bisa salat dengan tenang.
Saya tak sendirian. Ada banyak sekali mobil yang menumpang istirahat. Pengurus masjid dan masyarakat sekitar terlihat santai saja. Mungkin sudah biasa melakukan perbuatan baik tanpa berharap dipuji atau mendapat keuntungan materi. Lelah, tapi banyak pahala. Kalian tidak usah nanya mobil apa saja yang parkir di sana. Tak perlu.
Banyak hal terjadi selama Ramadan, mudik, dan akhirnya kembali beraktivitas. Rindu Ramadan datang adalah satu hal, tetapi meneladani pencapaian kita sendiri dalam menahan diri untuk terus diaplikasikan di hari-hari biasa juga tak kalah penting. Semangat zakat fitrah, zakat mal, dan sedekah selama Ramadan juga perlu terus dilanjut terutama dalam hal mengasah empati. Setidaknya mendoakan saudara-saudara yang tidak seberuntung kita.
Selamat menempuh perjalanan kembali ke perantauan. Mudik selesai, kerja dimulai.