Selain katanya ada unsur riba, risiko lain akibat berhubungan dengan bank adalah menjadi target para telemarketer: para pemasar produk yang menggunakan media telepon.
Keresahan atas ulah para telemarketer rupanya menimpa banyak orang. Keluh kesah tumpah di sejumlah postingan. Banyak yang tak tahan dengan omongan panjang mereka. Dan lebih banyak lagi yang tidak kuat dengan kegigihan yang ditampilkan oleh para telemarketer.
Maka, ada yang kemudian memilih mengabaikan panggilan, mematikan ponsel di tengah pembicaraan, atau membiarkan mereka bicara sendiri seperti penyiar radio. Dulu saya juga sering melakukan cara-cara tersebut, meski disertai rasa bersalah. Bayangkan betapa sakitnya jika Anda berada dalam posisi mereka.
Belakangan saya melunak. Hitung-hitung menerima tamu. Toh, tidak ada ruginya. Bagi seorang staf marbot di langgar dusun kecil seperti saya, telepon itu malah lumayan untuk pencitraan, setidaknya dikira punya banyak relasi dari Ibu Kota.
Nah, untuk Anda yang sering kesal dengan telemarketer, beberapa cara ini mungkin bisa membuat Anda menyambut panggilan mereka dengan lebih asyik dan gagah.
Pertama, ciptakan lalu lintas dua arah
Salah satu faktor yang membuat komunikasi dengan telemarketer terasa menyebalkan adalah karena sifatnya yang satu arah. Mereka mengendalikan interaksi dan kita merasa tidak punya kekuatan kecuali menjawab “iya”. Padahal kenal saja tidak.
Maka, agar nyaman, ciptakan komunikasi dua arah. Seperti ketika Anda sedang bertemu orang baru di angkot atau antre di puskesmas. Bersikaplah sedikit aktif, berikan umpan balik. Bila perlu ajak kenalan terlebih dahulu, tanyakan alamat, zodiak, weton, sekolah, hobi, keluarga, cita-cita, makanan favorit, sampai motto dan kata-kata mutiara mereka. Siapa tahu ternyata mereka adalah teman lama Anda, teman Facebook, tetangga, atau minimal tetangganya tetangga kita.
Atau jika diperlukan komunikasi yang lebih formal dan berkelas, ajak mereka berdiskusi. Misal, yang ditawarkan adalah produk-produk berbasis syariah, kita bisa mengobrol tentang kesyariahannya. Cobalah meminta dalil atau pendapatnya tentang hasil bahtsul masail, keputusan dewan tarjih, atau fatwa para ulama tentang produk-produk terkait.
Selain menambah wawasan, kedekatan, obrolan dua arah akan membuat komunikasi lebih cair, dan yang lebih penting, Anda tidak merasa dalam posisi yang dikendalikan.
Kedua, jadi pendengar yang baik
Ernest Hemingway pernah berkata, “Dua tahun kita belajar bicara, dan lima puluh tahun kita belajar diam”. Diam memang sulit, kecuali jika Anda pendiam, tapi yakinlah lebih sulit lagi adalah mendengarkan. Jadi manfaatkanlah telepon dari telemarketer untuk mempraktikkan nasihat bijak Hemingway.
Telepon yang bertubi-tubi dari para telemarketer setidaknya telah menjawab keheranan saya tentang ide telemarketing; bagaimana penawaran yang dilakukan jarak jauh, tidak ada tatap muka, dan tidak sampai berjam-jam bisa menarik konsumen?
Ini menyadarkan saya tentang pentingnya strategi komunikasi. Para telemarketer adalah orang-orang terampil dalam bidang itu. Saya mulai tertarik mengamati cara mereka menyapa, bertanya, mengarahkan pembicaraan, memasang perangkap, dan akhirnya menempatkan lawan bicara dalam situasi yang sulit untuk kembali.
Saya mengingat beberapa pola, misalnya:
Masih tinggal di jalan anu?
Kartunya akan dikirim ke alamat kantor atau rumah?
Bisa saya bantu untuk meng-update data yang ada?
Jenis pertanyaan yang mengandaikan kita sudah mengambil keputusan (presumtive close) ini sering membuat kita hanyut. Tiba-tiba kita sudah berada di ujung. “Bisa diberikan kata setuju-nya, Bapak?” Nah, kalau Anda paham polanya, Anda tahu di mana mesti membuat keputusan sebelum tergagap-gagap untuk menjawab tidak.
Ketiga, mendadak bolot
Saya tidak merekomendasikan langkah ini, kecuali jika suasana hati Anda benar-benar sedang rusuh. Trik ini saya pelajari dari seorang teman yang diamuk gelisah menghadapi pendadaran. Kabar bahwa salah satu penguji skripsinya adalah dosen killer membuat nyalinya mengkeret. Padahal ia sudah menguasai bahan.
Kegelisahan akhirnya membukakan jalan. Pada hari pendadaran tiba, sesaat sebelum acara dibuka teman saya meminta waktu. Kepada dewan penguji ia mohon maaf karena hingga saat itu telinganya masih terganggu. Sambil meletakkan obat tetes di hadapan dewan juri sebagai bukti ia menghiba agar pertanyaan-pertanyaan disampaikan dengan suara yang keras.
Lalu layaknya Bolot yang mendadak sembuh bila berbicara tentang uang dan wanita, pendengaran teman saya jadi selektif. Ia lancar menanggapi pertanyaan-pertanyaan mudah dan mendadak jadi budeg ketika pertanyaan yang diajukan membuatnya merasa buntu. Pertanyaan harus diulang. Bahkan sang dosen killer beberapa kali dibuat nyaris berteriak. Persidangan akhirnya dipercepat. Jelas, para penguji itu tak sudi terlalu lama terlihat seperti Malih.
Trik ini sering terbukti membuat telemarketer menyerah, entah karena kehabisan waktu atau frustrasi. Mereka meminta diri, berterima kasih sambil berbasa-basi akan menelepon lagi lain hari. Percakapan itu mungkin membuatnya berpikir bahwa orang budeg seharusnya dilarang buka rekening.