MOJOK.CO – Hari raya Idul Fitri bergema, hari kemenangan tiba. Manusia kembali ke fitri, manusia kembali suci dari dosa-dosanya. Jika kamu berkesempatan mendengar dosa-dosa manusia di muka bumi, yakin kamu kuat untuk mendengarnya?
Takbir menggema seantero desa melalui pengeras suara masjid. Malam selepas salat isya, tak ada lagi salat tarawih di masjid, Ramadan lewat sudah. Azan magrib mengakhiri hari terakhir Ramadan. Petang itu juga, bersamaan dengan tenggelamnya matahari, 1 Syawal sudah dimulai. Puasa paripurna, sebulan kurang sehari, atau 29 hari untuk tahun ini sudah terlaksana. Hari raya Idul Fitri tiba.
Sebagian warga melakukan kerja bakti di lapangan desa. Fanshuri ikut sibuk mempersiapkan beberapa peralatan pengeras suara untuk dipasang di lapangan. Besok pagi, seluruh warga desa akan mengadakan salat ied di lapangan desa. Bersama pemuda-pemudi kampung Fanshuri sudah sibuk dari siang. Aktivitas hanya berhenti sejenak ketika berbuka.
Beberapa pengeras sudah siap sedia. Tali rafia untuk memberi batas-batas saf juga sudah terpasang sore hari tadi. Bahkan tenda biru juga sudah berdiri di atas mimbar untuk pengisi khotbah salat ied besok paginya.
Di tengah-tengah kegembiraan warga desa, wajah Fanshuri tidak ada jejak-jejak gembiranya. Dari tadi, sejak mengulur kabel pengeras suara, mengecek mic satu demi satu, sampai memastikan area parkiran untuk besok, Fanshuri mbesengut saja. Hal yang menarik perhatian Gus Mut, putra Kiai Kholil, yang jadi tokoh di daerah tersebut.
“Fan, ngapain kamu kok punya wajah jelek begitu dari tadi?” tanya Gus Mut sambil terkekeh.
Fanshuri yang ditanya cuma garuk-garuk rambut keritingnya.
“Mikirin apa sih kamu?” tanya Gus Mut lagi.
Fanshuri masih terdiam. Sedikit didesak, suaranya baru keluar.
“Anu, Gus. Saya bingung. Apa benar kalau Gusti Allah itu akan mengampuni seluruh dosa manusia kalau yang bersangkutan tobat?”
Gus Mut terheran dengan pertanyaan kacangan semacam itu. “Maksudmu apa? Ya sudah jelas tho, Fan,” jawab Gus Mut sambil lalu.
“Sebentar, Gus. Mau segede apapun dosa itu?” tanya Fanshuri.
“Segede apapun. Insya Allah bisa diampuni,” jawab Gus Mut.
Fanshuri cuma terdiam mendengar jawaban Gus Mut. Jawaban sepertinya tidak memuaskan hati. Hal yang disadari oleh Gus Mut.
“Memangnya kenapa, Fan? Kamu habis melakukan dosa apa?” tanya Gus Mut.
“Bukan saya, Gus. Teman saya. Temannya teman saya lebih tepatnya. Dosanya besar sekali. Waktu mendengar ceritanya saya sampai enggak tahan saking ngerinya, siksaan macam apa yang bakal diperolehnya nanti di akhirat,” kata Fanshuri.
“Astaghfirullah, Fan. Istighfar. Tidak baik menghakimi orang seperti itu. Kalau memang temanmu itu bertobat. Bener-bener bertobat. Insya Allah bakal diampuni,” kata Gus Mut.
“Walaupun dosanya seluas lautan di bumi, Gus?”
Gus Mut mengangguk.
“Dan digabungkan dengan luasnya langit beserta bintang-bintangnya?” tembak Fanshuri lagi.
Gus Mut lagi-lagi mengangguk, tapi lebih pelan daripada anggukan pertama. Bukan sedikit keraguan, hanya saja ada rasa penasaran. Dosa apa yang seluas laut digabungkan luas langit beserta jumlah bintang-bintang?
“Memangnya dosa apaan sih, Fan? Kok kamu sampai membandingkannya dengan hal sebesar itu?” tanya Gus Mut.
Fanshuri diam sejenak. “Pokoknya besar sekali, Gus. Saya sendiri sampai tidak kuat kalau cerita ke sampeyan. Saya juga tahu kalau Gusti Allah Maha Pengampun, tapi mendengar cerita pengakuan dosa teman ini, saya kok ragu, ada manusia bisa sebejat itu bisa diampuni dosa-dosanya. Lha kok enak bener. Enggak adil kalau menurut saya, Gus.”
Gus Mut semakin penasaran. “Kalau begitu, bisa enggak temanmu itu suruh main ke rumah besok? Kok saya jadi penasaran.”
Fanshuri mengangguk. “Kebetulan, Gus.”
“Kebetulan gimana?” tanya Gus Mut.
“Kebetulan yang bersangkutan memang mau sowan ke rumah sampeyan soal masalah ini besok dan minta saya yang nemenin.”
Gus Mut tertegun sejenak. Sedikit senang karena penasarannya terpenuhi, tapi juga deg-degan, kok bisa Fanshuri sampai bilang ada dosa yang tidak pantas diampuni Gusti Allah?
***
Dua jam setelah salat ied di lapangan desa berakhir, Gus Mut sudah di rumah. Hari raya Idul Fitri mulai sudah. Pagi itu, beberapa tamu datang. Saling maaf-memaafkan, bercengkrama, tanya kabar sana-sini, sampai datang Fanshuri yang datang bersama seseorang. Sadar kalau sosok paruh baya yang bersama Fanshuri adalah sosok yang diceritakan semalam, Gus Mut langsung bungah.
Setelah menunggu tamu-tamu pulang, Gus Mut langsung memerintahkan Fanshuri untuk masuk ke dalam, ke ruang keluarga. Sebab kalau di ruang tamu, Gus Mut khawatir temannya Fanshuri ini malu kalau mau cerita-cerita.
“Assalamu’alaikum, Gus Mut,” sapa si tamu.
“Wa’alaikumsalam, Pak… Saya boleh manggil siapa, kalau boleh tahu?” tanya Gus Mut.
“Saya Daryo, Gus. Daryono. Tapi panggil saja Daryo,” kata si tamu.
“Oh, Pak Daryo. Silakan tak perlu malu-malu. Fanshuri sudah cerita maksud kedatangan Pak Daryo hari ini,” kata Gus Mut.
Yang bersangkutan segera melirik ke Fanshuri.
“Saya belum cerita apa-apa kok,” kata Fanshuri membela diri.
Sejenak setelah suasana jadi cair, pria yang bernama Daryo ini mulai bersuara lagi.
“Jadi begini, Gus Mut. Maksud saya datang kemari ini mau menanyakan, apa kalau saya bertobat. Betul-betul tobat. Tobat saya bakal diterima oleh Gusti Allah? Padahal dosa saya besar sekali dan saya merasa tak pantas nerima pengampunan itu, Gus,” kata Daryo.
Gus Mut terkekeh mendengarnya.
“Dosa apa sih yang sampeyan lakukan kok sampai merasa begitu? Asalkan seorang hamba masih punya nyawa dan kesadaran, yang bersangkutan masih punya waktu untuk bertobat kok,” tanya Gus Mut.
“Tapi saya malu, Gus, menceritakan dosa saya ini. Saya khawatir, njenengan bakalan mengusir saya setelah saya cerita,” kata Daryo.
“Ah, mana mungkin. Sebagai sesama hamba, tidak berhak bagi saya untuk menghakimi Pak Daryo. Hanya Gusti Allah yang berhak. Saya tidak punya sedikit pun kuasa atas itu,” jawab Gus Mut.
“Tapi saya takut, Gus,” kata Daryo.
“Baiklah kalau sampeyan terlalu takut untuk cerita. Tapi bagaimana saya bisa menilai sebesar apa dosa sampeyan kalau saya tidak tahu dosa apa yang pernah sampeyan lakukan?”
Daryo diam sejenak. Mengambil napas panjang, menarik keberanian.
“Oke, Gus. Saya akan cerita.”
Senyum Gus Mut mengembang.
“Sebelumnya izinkan saya cerita dulu latar belakang saya, Gus. Saya sudah pernah punya istri. Sudah almarhumah. Cantik sekali istri saya. Sumpah, saya enggak bohong. Bahkan saking cantiknya, jika Gus Mut tahu wajahnya, pasti akan bertanya-tanya kenapa istri saya mau menikah sama saya,” kata Daryo.
“Memangnya kenapa?” tanya Gus Mut iseng.
“Karena bapaknya punya utang banyak sekali sama saya,” jawab Daryo.
Seketika wajah ramah Gus Mut sedikit berkerut.
“Gus, saya ini dulunya rentenir. Rentenir yang kasih pinjaman dengan bunga yang berlipat-lipat kepada petani-petani kere. Petani yang lagi kecekik gagal panen adalah sasaran empuk saya. Salah satu korban saya adalah mertua saya. Utangnya yang menumpuk, membuatnya terpaksa menikahkan anak putrinya ke saya. Sebab kalau tidak, tanahnya bakalan ludes saya ambil semua,” cerita Daryo.
Kali ini kerutan ramah sudah hilang dari wajah Gus Mut.
“Setelah kami menikah, kehidupan rumah tangga saya buruk. Sebagai seorang suami, saya suami yang brengsek. Hampir setiap hari kami bertengkar. Istri saya tidak tahan dengan kelakuan saya. Mabuk-mabukan, judi, kadang main perempuan. Kalau kami bertengkar, saya selalu memukuli istri saya sampai babak belur.”
“Berulangkali istri saya minta cerai, tapi jelas tidak bisa. Sebab istri saya tahu, kalau kami cerai, persoalan utang bapaknya bakalan panjang urusannya.”
Gus Mut masih mendengar dengan seksama. Kali ini wajahnya benar-benar serius.
“Lalu semua berubah karena istri saya tahu-tahu hamil dan kami punya anak. Seorang putri. Cantik sekali. Persis ibunya,” kata Daryo.
“Oh, karena itu sampeyan lalu sadar, terus mau tobat?” tanya Gus Mut.
“Belum, Gus. Justru dari situlah, persoalan sebenarnya baru dimulai,” kata Daryo.
Gus Mut merebahkan diri sejenak. Di sisi lain, Daryo memilih berhenti sejenak. Lama-lama ada getaran di tiap kalimatnya. Entah getaran takut atau getaran malu—mungkin keduanya.
“Anak putri saya jadi gadis yang cantik luar biasa. Bahkan lebih cantik dari ibunya. Tentu saja sebagai bapaknya saya bahagia. Hanya saja, saya justru takut melihat kecantikan anak putri saya yang luar biasa itu, Gus.”
“Takut kenapa memangnya?” tanya Gus Mut.
“Takut kalau anak putri saya ketemu orang seperti saya. Orang bejat dan brengsek macam saya. Saya takut karena teman-teman saya orangnya seperti itu semua. Akhirnya, saya berpikir saat itu, entah ada setan apa di kepala saya, bahwa daripada anak putri saya direnggut keperawanannya sama orang lain… maka saya berpikir… saya berpikir kalau lebih baik… saya… saya…”
Pria paruh baya ini tidak sanggup melanjutkan ceritanya. Tangis keluar begitu saja di tengah-tengah cerita. Fanshuri yang ikut mendengar cerita ini cuma tertunduk tak berkata sepatah kata. Gus Mut yang awalnya berwajah ramah sudah berubah. Kalimatnya jadi sedikit tegas, tidak selembut biasanya.
“Apa yang kamu lakukan Pak?” tanya Gus Mut. Ada geram di pertanyaan tersebut.
“Saya… saya…”
“Kamu menyetubuhinya?” tebak Gus Mut.
Daryo cuma mengangguk gemetar hebat dengan uraian air mata.
“Kamu memperkosa darah dagingmu sendiri, Pak?” tanya Gus Mut sedikit emosi.
Daryo terdiam. Tidak menjawab. Namun juga tidak menyangkal.
“Nauzubillahimindzalik. Astagfirullah, astaghfirullah. Allah ya Robbi… Allah…. Astaghfirullah,” Gus Mut cuma bisa istigfar berkali-kali. Posisi duduknya sudah berubah tidak lagi nyaman.
“Benar, Gus, saya memperkosa anak saya, Gus. Putri saya sendiri.” Tangis tamu ini pun pecah. Kedua tangannya menutupi seluruh wajahnya sambil berurai air mata. Malu rasanya. Malu benar si tamu sebagai manusia.
Gus Mut terpaku. Terdiam sejenak.
“Ngeri sekali dosa sampeyan, Pak,” Gus Mut merebahkan diri. Rasanya tubuhnya dihempaskan jatuh ke bumi dari langit. Lemas.
“Ta, tapi…” Daryo masih melanjutkan, “Dosa itu masih belum selesai Gus, belum ada apa-apanya sama dosa saya berikutnya.”
Gus Mut seperti tercekik mendengar pengakuan ini. Bagaimana mungkin ada manusia masih sanggup melakukan dosa yang lebih besar dari memperkosa darah daging sendiri?
Akan tetapi, pria di hadapannya tidak main-main. Ceritanya memang tidak berhenti sampai di sana. Gus Mut pun akhirnya meragukan kekuatannya sendiri, masihkan dia kuat untuk tahu betapa besar dosa tamu di hadapannya hari ini?
Berlanjut ke “Yakin Kamu Kuat Mendengar Sebesar Apa Dosa Manusia yang Diampuni pada Idul Fitri? (Bagian 2)”.