MOJOK.CO – Fanshuri penasaran dengan konsep belajar agama pakai akal. Bukankah agama itu banyak yang nggak rasional dan cuma butuh diimani?
“Gus, sebenarnya kalau kita udah iman, gunanya kita belajar ilmu-ilmu agama buat apaan coba?” tanya Fanshuri serius.
Gus Mut terhenti sejenak ketika menata papan catur di teras rumahnya. Merasa belum mengerti dengan maksud pertanyaan Fanshuri.
“Ma, maksudmu gimana itu, Fan?” tanya Gus Mut.
“Gini, Gus. Kita kan belajar agama pakai akal. Di pesantren atau majelis kan begitu. Dari perangkatnya saja lah, misalnya Nahwu-Shorof, Balaghoh, lalu belajar Ushul Fiqh. Pakai akal semua itu. Tapi, ketika sampai pada poin-poin ujung, terutama kalau udah mentok, semua akhirnya balik ke iman lagi,” kata Fanshuri.
“Iya, lantas?”
“Lah kalau sudah begitu, gunanya kita belajar agama pakai akal ngapain coba? Toh, semua kebenaran itu baliknya ke iman. Perkara yang privat dan personal. Itu kan aneh, Gus. Kalau sedari awal yang dibutuhkan cuma iman, lah ya ngapain kita belajar agama pakai akal. Iya kan?” kata Fanshuri.
Gus Mut tersenyum.
“Memangnya beda akal sama iman apa, Fan? Menurutmu aja deh,” Gus Mut balik bertanya sambil bersandar di kursi sofanya.
Fanshuri berpikir sejenak.
“Ya kalau akal itu di sini,” kata Fanshuri menunjuk kepala, “kalau iman ya di sini,” diteruskan menunjuk dada.
“Oke. Masuk akal. Sekarang, kira-kira ini—menurutmu lagi aja deh—orang itu percaya dulu atau belajar dulu?” tanya Gus Mut.
Fanshuri bengong.
“Gimana, gimana, Gus? Maksudnya gimana itu?” tanya Fanshuri bingung.
Gus Mut malah jadi berpikir ulang melihat Fanshuri kebingungan, sepertinya pertanyaannya perlu disederhanakan lagi.
“Gini deh. Kamu sekarang percaya nggak kalau kamu benar-benar anaknya Bapak Slamet?” tanya Gus Mut.
Fanshuri terkejut.
“Ya iya dong. Itu kan memang bapak saya, Gus Mut ini gimana sih?” kata Fanshuri.
“Dari mana kamu bisa yakin kalau Pak Slamet itu bapakmu?” tanya Gus Mut lagi.
“Ya memang bapak saya itu. Kok Gus Mut malah meragukan saya anak siapa sih?” tanya Fanshuri.
Gus Mut tertawa. Fanshuri juga ikut tertawa karena pertanyaan aneh begini.
“Bukan, bukan begitu, Fan. Maksud saya, kesimpulan bahwa kamu adalah anaknya Pak Slamet itu lahir dari keyakinanmu dulu, atau karena ada—misalnya—dokter dari mana yang ngasih hasil tes DNA bahwa secara medis kamu memang anaknya Pak Slamet?” tanya Gus Mut.
“Ya keyakinan saya dulu dong, Gus. Apa yang saya alami sepanjang hidup saya. Saya dirawat, dibesarkan, dikasih uang saku, disekolahin, sama Bapak jeh,” kata Fanshuri.
“Nah, itu iman namanya, Fan. Lahir dari ruang privat dan personal. Intim. Cukup antara hubungamu dengan bapakmu. Mau orang lain nggak percaya kamu anaknya Pak Slamet sih, bodo amat lah,” kata Gus Mut.
Fanshuri lagi-lagi bengong.
“Di posisi hubunganmu dengan bapakmu itu, kamu jelas sudah nggak perlu pembuktian. Nggak perlu hasil tes DNA dari dokter, nggak perlu perangkat-perangkat keilmuan yang njelimet. Kamu sudah cukup percaya bahwa Pak Slamet adalah bapakmu, dan kamu merasa nggak ada masalah dengan itu,” kata Gus Mut.
Fanshuri masih melongo.
“Sekarang aku tanya lagi. Kalau misalnya, ada sengketa warisan nih, terus ada orang yang meragukan keaslian bahwa dirimu adalah anaknya Pak Slamet buat merebut warisan yang jadi hakmu. Cara membuktikan bahwa kamu benar-benar merupakan anaknya bapakmu gimana?” tanya Gus Mut.
“Ya kasih aja akta lahir atau kartu keluarga, Gus. Kalau perlu ya pakai hasil tes DNA tadi. Beres perkara,” kata Fanshuri.
“Nah, dokumen-dokumen yang kamu sebut barusan itu namanya akal,” kata Gus Mut.
“Ma, maksudnya, Gus?” tanya Fanshuri.
“Perangkat yang dibutuhkan sebagai jembatan untuk menjelaskan keimanan bahwa kamu anaknya Pak Slamet terhadap orang lain. Orang lain yang kepercayaannya nggak sama kayak kamu. Jadi sifat dokumen-dokumen itu cenderung ke sosial. Hubungan antar-manusia gitu,” kata Gus Mut.
Fanshuri menyimak.
“Nah, di situlah kemudian kita perlu belajar agama pakai akal. Supaya ketika mau menerjemahkan ke orang lain kita punya perangkat-perangkatnya,” kata Gus Mut.
“Tapi kalau ternyata orang lain itu tidak setuju dengan penjelasan kita? Mau belajar agama pakai akal juga jadi nggak guna, Gus. Dalam nyebarin agama saja deh, kalau orang lain pada dasarnya nggak iman ya percuma dong,” tanya Fanshuri.
“Ya nggak dong,” kata Gus Mut.
“Kok?” tanya Fanshuri.
“Ya karena batas kemampuan manusia itu cuma pada posisi mendakwahkan ajaran agama, bukan mendakwahkan keimanan, Fan. Itu juga yang jadi sebab, tak bisa keislaman seseorang dipaksakan. Karena kepercayaan itu lahirnya bukan dari teori atau ajaran, tapi dari pengalaman. Lahir dari hal-hal empiris lebih dulu, bukan dari hal-hal rasional dulu.”
Fanshuri menyimak.
“Persis seperti keimanan kalau Pak Slamet adalah bapakmu. Itu empiris dulu dong. Nggak mungkin kamu masih kecil langsung menganalisis Pak Slamet beneran bapakmu atau bukan. Dan tanpa penjelasan rasional sekalipun kamu tetap bisa yakin kok kalau Pak Slamet itu bapakmu,” kata Gus Mut.
“Kalau begitu, gunanya akta lahir, kartu keluarga, tes DNA, dan lain sebagainya itu cuma perangkat untuk makin meyakinkan saya bahwa saya ini anaknya bapak saya ya, Gus?” tanya Fanshuri.
“Persis. Semua akhirnya balik ke keyakinanmu lagi kan?” kata Gus Mut.
Fanshuri cuma mengangguk pelan.
“Bahkan sekalipun semua dokumen itu berhasil dipalsukan orang lain—misalnya, dan pembuktianmu jadi lemah, jauh di dalam lubuk hatimu, kamu tetap meyakini kalau Pak Slamet tetap bapakmu kan?”
“Ya iya juga sih,” kata Fanshuri.
“Ya karena akal beserta perangkatnya melalui dokumen-dokumen itu bisa dimanipulasi, Fan. Sedangkan apa yang ada di situ,” kata Gus Mut menunjuk dada Fanshuri, “sulit diingkari. Karena hal-hal yang lahir dari pengalaman itu sulit untuk ditanggalkan. Sekalipun semua orang bilang kepercayaanmu itu terlihat tidak masuk akal.”
Fanshuri terdiam. Menerawang langit-langit teras rumah Gus Mut. Sampai terlupa alasannya datang ke kediaman Gus Mut untuk main catur.
BACA JUGA Apakah Surga Hanya untuk Orang Islam Saja? dan kisah-kisah GUS MUT lainnya.