MOJOK.CO – Bagaimana cara melihat mengenai penggunaan suara azan dari TOA masjid? Bolehkah diperdengarkan dengan suara kencang atau harus pelan?
“Memang bener orang begini harus ditegur dengan keras, Fan. Masa iya protes soal azan dari TOA masjid? Katanya berisik lagi, dasar orang nggak iman,” kata Mas Is setelah membaca berita seseorang didatangi karena protes suara azan yang kelewat keras.
Mas Is dan Fanshuri masih leyeh-leyeh di teras tangga masjid usai salat asar berjamaah.
“Ya nggak gitu, Mas Is. Orang protes soal TOA masjid begitu harus didengerin juga, bukan malah dimarahin apalagi sampai dipersekusi. Itu malah menunjukkan wajah Islam yang nggak baik. Lagipula dasarnya orang kalau mau salat, mau azan selirih apapun juga pasti datang ke masjid kok,” kata Fanshuri.
Mas Is malah jadi heran dengan pendapat Fanshuri.
“Bukan gitu, Fan. Pertanyaannya kenapa itu orang baru protes setelah bertahun-tahun tinggal di situ? Kan itu yang jadi aneh. Kenapa nggak dari dulu? Kenapa baru sekarang? Apa nunggu kelompok liberal besar dulu baru orang itu berani?” kata Mas Is.
Fanshuri geleng-geleng kepala.
“Justru itu menunjukkan kesabarannya dalam memendam ketidaksetujuan dong, Mas Is. Dan malah harus diperhatikan juga. Jangan-jangan memang suara dari TOA masjid memang kelewat keras sampai pada tahap mengganggu?” kata Fanshuri.
Mas Is kembali geram dengan cara pikir Fanshuri.
“Kamu itu lho, katanya muslim, tapi kok malah nggak suka Islam disyiarkan dengan TOA masjid begitu,” kata Mas Is.
Fanshuri agak kepancing disebut begitu oleh Mas Is.
“Yang bilang nggak suka siapa, Mas Is? Aku itu cuma nggak mau Islam itu dianggap ‘mengganggu’ karena orang-orang kayak Mas Is itu menunjukkan wajah Islam yang galak begitu,” kata Fanshuri.
“Emang siapa yang galak?” kata Mas Is agak menyentak.
“Lah itu Mas Is sendiri yang galak,” kata Fanshuri.
Gus Mut yang masih baru mau keluar dari dalam masjid agak terkejut mendengar ribut-ribut di teras masjid.
“Ada apa sih ini? Kalian ini ribut-ribut apa?” tanya Gus Mut bingung.
“Ini lho, Gus,” kata Fanshuri menunjuk Mas Is.
“Apaan? Ya kamu itu, Fan,” kata Mas Is.
“Udah, udah ada apa sih? Masalah utang lagi ya?” tebak Gus Mut asal.
“Hah?” Mas Is kaget.
Fanshuri terkekeh.
“Bukan, Gus. Bukan masalah utang, ini lho Mas Is ngotot banget kalau TOA masjid itu nggak perlu dikontrol suaranya, bahkan kalau ada orang protes soal itu ya baiknya ditegur, kalau perlu dipersekusi,” kata Fanshuri.
Gus Mut terseyum.
“Kalau kamu gimana, Fan?” tanya Gus Mut ke Fanshuri.
“Ya tentu saja aku memilih suara TOA masjid itu harus pelan. Nggak perlu keras-keras. Bisa mengganggu. Kan bahaya kalau syiar agama Islam malah dianggap mengganggu oleh umat agama lain,” kata Fanshuri.
Mas Is tidak mau kalah.
“Ya oke lah kalau di luar azan, TOA masjid mungkin masih bisa dikontrol, tapi kalau untuk azan ya mana boleh pelan-pelan. Kalah dong sama masjid-masjid yang lain,” kata Mas Is.
Fanshuri ikut tidak mau kalah.
“Lah itu problemnya, azan itu kan kuncinya sebagai penanda waktu salat dan mengundang orang ke masjid, udah itu doang. Ngapain pakai acara kenceng-kencengan sama TOA masjid kan? Emangnya ini undangan konser dangdut?” kata Fanshuri.
“Justru itu, Fan,” kata Mas Is.
“Justru apa, Mas?”
“Justru itulah. Konser dangdut aja suara boleh kenceng-kenceng kok giliran azan nggak boleh? Iya kan, Gus?” kata Mas Is kali ini langsung menembak ke Gus Mut.
Gus Mut yang tadi seperti wasit bulu tangkis yang cuma tolah-toleh jadi kaget. Seketika, Gus Mut langsung memegang keningnya yang mulai berkerut bingung.
“Perdebatan kalian itu lho, bikin aku jadi pusing,” kata Gus Mut.
“Lho kok pusing? Kan tinggal Gus Mut memilih menegakkan agama atau nggak, gitu aja kok pusing?” kata Mas Is.
Gus Mut terkekeh, tapi Fanshuri jadi geram mendengarnya.
“Kok enteng sekali, Mas Is, sampean mendaku-daku pendapat sampean lebih menegakkan agama daripada pendapatku?” kata Fanshuri.
“Lah iya memang begitu kok kenyataannya,” kata Mas Is.
“Sudah, sudah,” kata Gus Mut, “Debat kusir kalian itu nggak ada ujungnya. Semua bisa jadi benar, semua bisa jadi salah.”
“Kok jadi salah?” tanya Fanshuri.
“Ya bisa, Fan. Soalnya terkait penggunaan TOA masjid itu nggak bisa murni sama kita menghukuminya. Tergantung konteks, lokasi kejadian, kultur masyarakat sekitar juga,” kata Gus Mut.
Mas Is heran.
“Lah, masa iya hukum abu-abu gitu. Kan katanya katakanlah kebenaran meski itu pahit, Gus?” kata Mas Is.
Gus Mut lagi-lagi terkekeh mendengar pernyataan Mas Is.
“Ya harus lihat-lihat dong, Mas Is. Nggak yang sembarangan. Kalau kamu bikin masjid di tengah-tengah umat Hindu di Bali, lalu tiba-tiba kamu azan pakai TOA masjid lima kali dalam sehari. Ya nggak sampai dua hari masjid yang kamu bikin bakal diprotes banyak orang. Dan itu wajar,” kata Gus Mut.
“Berarti orang Hindu nggak toleran dong itu namanya,” kata Mas Is.
Fanshuri makin geram.
“Ah, Mas Is ini mintanya hak toleran doang, tapi nggak mau ngelakuin kewajiban toleran. Emang Mas Is mau samping rumahnya Mas Is tiba-tiba jadi tempat kebaktian umat agama lain terus nyanyi-nyanyi kenceng sampai mengganggu tidurnya, Mas Is. Lalu kalau Mas Is protes, Mas Is disebut nggak toleran?” kata Fanshuri.
“Sudah, sudah, kalian ini saling mancing satu sama lain aja sih. Intinya soal TOA masjid itu masuk kategori hukum yang aspek sosialnya tinggi. Dan karena sifat sosialnya lebih kental, maka hukum yang dipakai juga harus memperhatikan kondisi sosial masyarakatnya juga,” kata Gus Mut.
“Ta-tapi, Gus. Waktu Nabi minta Bilal azan di Madinah atau di Mekkah, kan nggak memerhatikan aspek sosial,” Mas Is masih tak terima.
“Siapa bilang nggak memerhatikan?” kata Gus Mut.
“Lah bukannya gitu riwayatnya?” Mas Is agak ragu.
“Azan di Madinah itu bisa dilakukan karena orang Madinah memang lebih open minded sekalipun mereka bukan seorang muslim. Azan di Mekah juga baru dilakukan waktu kemenangan Islam. Kalau azan dikumandangkan sebelum hijrah Nabi, ya sudah pasti dipersekusi Nabi dan para sahabat karena Mekah masih dikuasai kafir Quraisy,” kata Gus Mut.
“Itu yang dimaksud dari memerhatikan aspek sosial ya, Gus?” kata Fanshuri.
“Iya,” kata Gus Mut.
“Tapi, Fan. Kamu juga jangan langsung mencibir kalau ada suara azan dari TOA masjid yang keras sekali,” kata Gus Mut.
“Lah emang kenapa, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya mungkin juga di daerah situ lingkungannya 99 persen muslim semua. Dan mayoritas masyarakat di situ memang menggemari suara azan keras-keras dari TOA. Jadi itu aspek sosial yang perlu dilihat juga untuk alasan, kenapa TOA masjid perlu keras,” kata Gus Mut.
“Kok gitu?”
“Soalnya mau lirih mau keras, itu ada dasarnya juga,” kata Gus Mut.
“Dasar apa, Gus?” kata Mas Is penasaran.
“Ada riwayat, tapi ini soal zikir, bukan soal azan. Dulu saat Nabi masih sugeng, Abu Bakar dikenal suka zikir lirih banget. Pelan-pelan banget. Ditanya sama Nabi, sama Abu Bakar dijawab, ‘Allah itu dzat maha mendengar, masa aku sebagai hamba harus mengeraskan suara? Kayak Allah perlu suara keras saja,’ begitu,” kata Gus Mut.
“Nah, kan, itu bisa jadi dasar soal suara azan jangan keras-keras kalau dari TOA masjid,” kata Fanshuri.
“Tunggu dulu, Fan. Karena ada juga sahabat yang kalau zikir keras sekali suaranya,” kata Gus Mut.
“Siapa, Gus?” tanya Mas Is.
“Umar bin Khattab. Zikirnya keras sekali. Waktu ditanya kenapa zikirnya selalu bersemangat dan kencang begitu Umar jawabnya sederhana sekali. ‘Biar nggak mengantuk,’ jawab Umar waktu itu,” kata Gus Mut.
Fanshuri dan Mas Is terkekeh.
“Nah, meski berbeda pendapat gitu, tapi di antara ulama nggak ada yang berani menganggap pendapat Abu Bakar lebih baik dari pendapat Umar atau sebaliknya. Semua setara hukumnya. Punya tingkat ke-afdol-an masing-masing. Yang pada akhirnya disesuaikan pada konteks. Di situasi apa kamu butuh melakukan gaya Umar yang keras, atau gaya Abu Bakar yang lirih,” kata Gus Mut.
*) Diolah dari ngajinya Gus Baha’.
BACA JUGA Jika TOA Masuk Surga, Maka Surganya Adalah Madura dan kisah-kisah Gus Mut lainnya.