MOJOK.CO – Seorang pemuka agama yang beda pandangan dengan Gus Mut wafat. Mas Is bersuka cita, sambil ceramah soal akhlak Nabi.
“Alhamdulillah, Gus,” kata Mas Is sambil menunjukkan sebuah kabar duka di layar hapenya, “Ini, Gus, pentolan aliran sesat akhirnya dipanggil sama Yang Maha Kuasa. Syukur deh, pengaruh buruknya nggak lagi bisa menulari anak-anak kita.”
Gus Mut terkejut dengan reaksi Mas Is yang seolah gembira sekali mendengar ada kabar duka.
“Memangnya siapa yang meninggal sih, Is?” tanya Gus Mut.
“Ini lho, baru aja ada kabar dari grup WhatsApp, orang yang dipanggil Ustaz Nuzul ini, pentolan aliran sesat yang dakwahnya provokatif itu akhirnya meninggal dunia,” kata Mas Is cengar-cengir.
“Innalilahi….,” kata Gus Mut refleks.
“Alhamdulillah-nya jangan lupa dong, Gus,” kata Mas Is iseng goda-godain Gus Mut.
“Maksudmu gimana sih, Is? Kok kamu itu bisa-bisanya bahagia di tengah-tengah kabar duka begitu?” tanya Gus Mut.
Mas Is sejujurnya agak terkejut dengan reaksi Gus Mut. Maklum, selama ini Gus Mut terlihat berseberangan dengan dakwah-dakwah Ustaz Nuzul. Mas Is pikir, kabar meninggalnya Ustaz Nuzul akan memudahkan jalan dakwah Gus Mut, tapi di luar dugaan Gus Mut malah terlihat sebel betul sama Mas Is.
“Lah, Gus Mut ini gimana? Bukannya Ustaz Nuzul itu musuh ideologisnya Gus Mut kan?” tanya Mas Is.
“Musuh? Musuh gundulmu!” kata Gus Mut.
“Lah, bukannya selama ini Gus Mut selalu berseberangan dengan Ustaz Nuzul. Baik soal tafsir dan segala macem. Nggak ada itu Gus Mut mendukung pendapat Ustaz Nuzul, bahkan sebaliknya juga begitu. Apa aja pendapat Gus Mut selalu aja dibantahin sama Ustaz Nuzul di jamaahnya sendiri,” kata Mas Is.
“Nama beda pendapat soal tafsir itu biasa, Mas Is. Tapi jangan terus dianggap aku ini bermusuhan sama Ustaz Nurul. Sebagai seorang pemuka agama, pendakwah, ya beliau itu tetap aku hormati,” kata Gus Mut.
“Ta, tapi, Gus…” kata Mas Is agak terkejut.
“Justru reaksimu itu yang mengkhawatirkan menurutku, Mas Is. Kok bisa-bisanya ada sesama muslim meninggal malah mengucap syukur, bukannya berduka,” kata Gus Mut.
“Lah tapi kan si Ustaz Nurul itu tukang memecah belah umat, Gus. Ceramah-ceramahnya aja provokatif begitu. Siapa-siapa dibilang munafik, dibilang kafir, sedikit-sedikit haram, apa dikit langsung neraka. Ya wajar dong kalau saya nggak suka,” kata Mas Is.
Gus Mut cuma menghela nafas. Mas Is ternyata masih lanjut.
“Sebagai seorang ustaz, penceramah, ya berikan contoh santun dong, tiru dong akhlak Nabi. Bukan kok dikit-dikit balik ke sunah Nabi tapi ‘akhlak nabi’-nya ketinggalan,” kata Mas Is lagi.
Gus Mut tertawa mendengar celetukan Mas Is.
“Kok ketawa sih, Gus?” tanya Mas Is.
“Kamu itu aneh,” kata Gus Mut.
Mas Is heran.
“Aneh? Aneh apanya, Gus?” tanya Mas Is.
“Kamu itu koar-koar agar Ustaz Nuzul mencontoh akhlak Nabi, tapi kamu sendiri sama aja. Teriak-teriak agar meniru akhlak Nabi, tapi kelakuanmu aja begitu,” kata Gus Mut.
“Begitu gimana, Gus? Wajar dong kalau saya nggak suka sama orang yang jauh-jauh sama akhlak Nabi,” kata Mas Is.
“Ya nggak wajar dong kalau kelakuanmu begitu,” kata Gus Mut.
“Begitu yang mana sih, Gus?” tanya Mas Is.
“Ya begitu. Ada saudara sesama muslim kok bisa-bisanya bersuka cita, hanya mentang-mentang semasa hidupnya berbeda pandangan. Padahal ada riwayat bagaimana Nabi pernah berdiri dalam rangka memberi penghormatan kepada seorang jenazah Yahudi,” kata Gus Mut.
“Yahudi? Yahudi yang memusuhi Nabi?” tanya Mas Is tak percaya.
“Iya. Bahkan para sahabat sempat mempertanyakan penghormatan Nabi itu. ‘Itu jenazah Yahudi,’ kata para sahabat waktu itu,” terang Gus Mut.
“Lalu Nabi Muhammad balas apa?” tanya Mas Is.
“Kata Nabi, ‘Bukankah dia juga manusia?’….”
Mas Is terdiam mendengar itu.
“Nabi saja terhadap orang Yahudi menghormati dan berduka atas kematian orang lain. Ini kamu, yang teriak-teriak akhak Nabi kok bisa-bisa bersuka cita atas kematian orang lain. Sudah begitu yang meninggal ini saudara seiman lagi,” kata Gus Mut.
Mas Is semakin terdiam, semakin tenggelam, lalu cuma garuk-garuk kepala cengengesan.
BACA JUGA Ulama yang Gagal Mengubah Dunia dan kisah Gus Mut lainnya.