MOJOK.CO – Melihat ada orang yang memakai pakaian kotor di masjid kampung, Mas Is mencak-mencak. Dikiranya orang ini sudah bikin masjidnya kena najis. Puadahal….
Usai salat jamaah di masjid, Mas Is terlihat tidak senang ketika melihat seorang makmum masbuk di saf paling belakang. Bukan apa-apa, pakaian yang dikenakan si makmum ini tampak kotor kalau diperhatikan.
Kelihatan betul kalau si makmum seorang montir atau seseorang yang habis memperbaiki kendaraannya. Kaos yang dikenakan terlihat kena cipratan oli, pun dengan celana yang dipakai.
Merasa si makmum tidak menghormati tempat ibadah karena memakai pakaian kotor, Mas Is menunggu si makmum selesai salat. Begitu si makmum salam, tanpa tedeng aling-aling Mas Is segera mendekat.
“Mas, sampeyan yang benar saja. Kotor begitu kok masuk masjid? Mau bikin najis masjid kami ya?” kata Mas Is emosi.
Si makmum yang baru salam tentu saja terkejut luar biasa.
“Maaf, Mas, Maaf,” kata si makmum.
“Maaf, maaf, ndiasmu. Sampeyan itu mbok ganti baju dulu atau gimana? Baju habis buat mbengkel kok dipakai salat. Udah salatmu nggak sah, bikin najis masjid lagi,” kata Mas Is.
Mendengar ribut-ribut di belakang, Kiai Kholil yang tadi jadi imam salat mendekat.
“Ada apa sih, Is, kok ribut-ribut begini?” tanya Kiai Kholil.
“Ini lho Pak Kiai, mas-mas ini salat di masjid kita kok pakai pakaian najis dan kotor begini. Ini kan bikin najis satu masjid,” kata Mas Is coba menjelaskan.
Si makmum yang ditegur Mas Is ketakutan.
“Maaf, Pak Kiai, maaf,” kata si makmum, “Saya benar-benar nggak bermaksud mau ngotori masjid. Tadi kebetulan mobil pick up saya mogok nggak jauh dari sini. Lalu saya coba benerin, eh nggak berapa lama saya denger azan, ya saya sekalian salat di sini. Jadi maaf kalau baju saya kotor begini.”
Kiai Kholil tersenyum mendengarnya. Lalu pandangannya mengarah tajam ke Mas Is.
“Is, tahu darimana kamu kalau mas-mas ini pakaiannya najis?” tanya Kiai Kholil tiba-tiba.
“Ya kelihatan to, Pak Kiai. Ini kaosnya kena ciprat oli. Ini kan bisa ngotori karpet masjid kita. Bikin orang yang salat setelahnya bisa-bisa nggak sah dong. Ini kan najis semua, Pak Kiai,” kata Mas Is sambil menunjuk-nunjuk lantai masjid.
Kiai Kholil lagi-lagi tersenyum.
“Is, sejak kapan barang kotor itu pasti najis?” tanya Kiai Kholil tiba-tiba.
“Lha iya to, Pak Kiai? Barang najis itu kan pasti kotor?” tanya Mas.
“Hm, bukan begitu pertanyaan saya, Is. Pertanyaan saya, apa barang kotor itu sudah pasti najis?” tanya Kiai Kholil lagi.
Mas Is berpikir sejenak.
“Gimana sih Pak Kiai? Bukannya pertanyaan saya tadi sama saja ya?” tanya Mas Is.
Kiai Kholil lagi-lagi tersenyum. Si makmum cuma terdiam menyaksikan perdebatan yang terjadi di hadapannya.
“Barang najis itu memang sudah pasti kotor, itu jawaban untuk pertanyaanmu. Sekarang pertanyaan saya; apa kemudian semua barang kotor pasti najis?” tanya Kiai Kholil, sekali lagi.
Mas Is berpikir sejenak.
“Hm, memang nggak semua yang kotor itu najis ya, Pak Kiai?” tanya Mas Is.
“Sekarang begini. Debu itu kotor, Is, tapi bisa dipakai untuk tayamum. Artinya, meski kotor, ternyata debu itu malah suci. Ini sama seperti jaring laba-laba, sarang tawon, sarang rayap. Manusia melihatnya sebagai sesuatu yang kotor, tapi bukan berarti semua itu najis. Tapi kalau barang najis, ya itu otomatis kotor. Nggak semua yang kotor itu najis, tapi semua yang najis itu kotor,” terang Kiai Kholil.
Mas Is manggut-manggut mendengarnya. “Oalah, begitu to.”
Tapi Mas Is tampak penasaran. “Itu kan kalau najis, Pak Kiai. Berarti antara suci sama bersih, begitu juga dong?”
“Iya sama aja logika fikihnya. Ya kayak contoh debu tadi. Hal-hal yang bersih itu belum tentu suci, tapi barang suci sudah pasti bersih,” kata Kiai Kholil.
“Oh, berarti barang suci juga termasuk sudah pasti halal juga ya Pak Kiai?” tanya si makmum tiba-tiba, ikut penasaran.
“Maksudnya, Mas?” tanya Kiai Kholil.
“Maksudnya gini Pak Kiai, semua makanan halal itu kan suci. Nah, kalau gitu—ini saya penasaran saja Pak Kiai, mumpung ada orang yang bisa ditanya-tanya—kalau misalnya, maaf ini, air mani yang suci gitu kan kotor ya, tapi karena suci berarti halal dong dimakan. Iya kan?” tanya si makmum.
Mas Is terkejut mendengar pertanyaan itu. “Hm, bener juga ya. Iya, Pak Kiai. Kalau itu gimana?”
Kiai Kholil tak menjawab langsung. Tiba-tiba Kiai Kholil ngeloyor pergi menuju tempat imam, lalu mengambil sajadahnya. Mas Is dan si makmum celingak-celinguk bingung.
Tiba-tiba Kiai Kholil nyodori sajadah itu di hadapan Mas Is dan si makmum. Keduanya semakin bingung.
“Maksudnya apa, Pak Kiai?” tanya Mas Is.
“Silakan kalian makan sajadah ini,” kata Kiai Kholil.
Tiba-tiba terdengar tawa yang keras dari si makmum. Mas Is bingung, apa yang ditertawakan.
“Maksudnya gimana sih? Kok saya nggak paham?” tanya Mas Is.
“Sajadah ini suci lho, Is. Coba kamu makan. Kamu doyan nggak kira-kira? Bisa kamu telen nggak kira-kira?” kata Kiai Kholil.
Mas Is lalu ikut tertawa.
“Logika fikih untuk halal dan haram ya hampir sama saja. Yang halal dimakan itu sudah pasti suci, tapi bukan berarti yang suci itu otomatis halal dimakan. Ini baru sajadah. Belum dengan lantai masjid, bedug, karpet masjid, itu semua suci, tapi apa iya halal dimakan? Kan nggak?” kata Kiai Kholil yang disambut tawa oleh Mas Is dan si makmum.
“Itu juga terjadi untuk barang haram. Nggak semua barang haram itu najis. Misalnya nasi kucing yang dibeli pakai duit hasil nyolong. Ya nasi kucingnya suci, tapi jadi haram. Meski begitu, semua barang najis itu sudah pasti haram,” kata Kiai Kholil.
“Contohnya apa memang Pak Kiai kalau semua barang najis pasti haram?” tanya Mas Is.
“Ya eek-mu itu contohnya.”
Mas Is dan si makmum kembali tertawa.