Santri Nakal yang Mau Melamar Putri Kiai Kholil

MOJOK.COSudah lama Ali mencoba peruntungan untuk bisa melamar putri Kiai Kholil. Begitu kesempatan datang, Kiai Kholil ternyata memberi syarat cukup sulit.

Putri Kiai Kholil punya reputasi kecantikan luar biasa. Namanya Ning Zubaidah. Sudah sejak lama santri-santri Kiai Kholil mengincar Ning Zubaidah. Namun, satu per satu santri kandas karena sadar standar Kiai Kholil untuk mencari menantu pasti sangat tinggi. Santri-santri kroco kayak mereka jelas jiper duluan.

Meski begitu salah satu santri merasa tidak masalah dengan itu semua. Ali, nama santri tersebut, tak peduli dengan rumor soal standar tinggi Kiai Kholil untuk calon menantu. Karena sadar dirinya bukan santri alim—bahkan cenderung santri nakal, Ali sempat khawatir jika dirinya langsung melamar Ning Zubaidah, besar kemungkinan Kiai Kholil akan menolak.

Untuk itulah, Ali perlu strategi. Awalnya Ali menawarkan diri untuk jadi santri ndalem. Santri ndalem merupakan sebutan santri yang mengurusi urusan kiai pengasuh pesantren. Termasuk pula urusan rumah kiai. Dari kebersihan rumah sampai urusan dapur kiai.

Harapannya—tentu saja—agar Ali bisa melihat langsung kecantikan Ning Zubaidah dari jarak yang cukup dekat. Maklum, selama ini kecantikan Ning Zubaidah hanya seperti legenda. Tak pernah benar-benar diketahui secara kasat mata, namun menyebar begitu saja dari mulut ke mulut di antara para santri.

Sejak awal Kiai Kholil tidak melihat sesuatu yang mencurigakan dari Ali. Dengan prasangka baik, Kiai Kholil mempersilakan Ali untuk ikut serta menjadi salah satu santri ndalem.

Dengan menjadi santri ndalem, Ali jadi bisa memasuki kediaman Kiai Kholil dengan bebas. Masuk keluar ke dapur, ke kamar mandi, dan ruangan-ruangan yang lain. Di saat itulah, Ali berhasil melihat secara langsung Ning Zubaidah. Begitu melihat secara langsung wujud Ning Zubaidah, Ali semakin yakin.

Masalahnya, Kiai Kholil jadi pengasuh tidak satu atau dua tahun saja, tapi sudah puluhan tahun. Sudah ketemu bermacam-macam santri. Dari santri alim, santri nakal, sampai santri brengsek. Dan sebagai ulama yang sudah berpengalaman mengurus santri, Kiai Kholil merasa ada yang aneh dari gerak-gerik Ali.

Misalnya, Ali selalu memilih pekerjaan di dalam rumah yang berhubungan dengan kamar mandi dan dapur. Jika ada urusan atau pekerjaan di luar rumah, Ali selalu meminta temannya—yang sama-sama santri ndalem—untuk berangkat. Sedangkan Ali selalu memilih kerjaan-kerjaan di dalam rumah.

Melihat gelagat aneh itu, Kiai Kholil memanggil Ali secara khusus.

“Ada apa ini, Pak Kiai?” tanya Ali begitu menghadap Kiai Kholil.

Kiai Kholil sejenak bergeming. Memerhatikan Ali dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Kamu selama ini betah jadi santri ndalem?” tanya Kiai Kholil.

“Alhamdulillah, betah, Pak Kiai,” kata Ali.

Kiai Kholil sebelumnya mendengar selentingan dari beberapa santri lain kalau Ali menawarkan diri menjadi santri ndalem karena mengincar Ning Zubaidah. Tidak ada alasan lain.

“Aku ingin konfirmasi ke kamu, Li,” kata Kiai Kholil.

“Iya, Pak Kiai?”

“Apa benar kamu jadi santri ndalem itu karena mengincar anakku, Zubaidah?” tanya Kiai Kholil.

Deg.

Jantung Ali seolah berhenti. Nafas jadi begitu berat. Keadaan mendadak dingin, padahal di sekitar mereka suasana sedang terik-teriknya.

Karena tak berani berbohong, Ali tak mengucapkan satu patah katapun. Hanya menganggukkan kepala dengan pelan sekali. Berharap Kiai Kholil tak melihat anggukannya, tapi juga berusaha menjawab yang sebenarnya.

Kiai Kholil cuma tersenyum.

“Kenapa? Kok tidak ada jawaban ‘iya’ atau ‘tidak’?” tanya Kiai Kholil.

“Ta, takut, Pak Kiai,” kata Ali gemeteran.

Mampus, ketahuan kan aku, batin Ali.

“Takut kenapa?” tanya Kiai Kholil lagi.

“Tak, takut ditolak, Pak Kiai,” kata Ali lagi.

Mendengar itu Kiai Kholil tertawa.

“Kamu itu bagaimana. Melamar saja belum sudah takut ditolak,” kata Kiai Kholil.

“Memang saya bisa diterima, Pak Kiai?” kata Ali refleks.

“Nah kan. Melamar saja belum sudah minta diterima,” kata Kiai Kholil.

Ali tersenyum kecut.

“Baiklah, kalau memang kamu ada niat ingin melamar anakku, aku ada syarat,” kata Kiai Kholil.

Mendengar itu muka Ali langsung cerah.

“Apa syaratnya, Pak Kiai?”

“Kamu salat jamaah di masjid saf pertama dan tak boleh putus 40 hari. Salat lima waktu. Subuh sampai isya’,” kata Kiai Kholil.

Gampang sekali, begitu pikir Ali.

“Baik, Pak Kiai. Insya Allah saya akan menjalankannya,” kata Ali senang sekali lalu undur diri.

Hari pertama menjalankan syarat ini, pikiran Ali cuma sederhana. Salat jamaah yang dilakukannya ini merupakan pra-syarat Kiai Kholil agar bisa melamar putrinya.

Setiap berangkat salat, pikiran Ali ya cuma ke sana saja. Tak ada niat ibadah karena Allah. Ya ada ikhlas karena Allah, tapi cuma sebagian kecil. Sebagian besar ya motifnya Ning Zubaidah.

Mulai hari ketiga, berangkat ke masjid jadi kelihatan berat. Meski terlihat mudah, salat jamah lima waktu di masjid selama 40 hari ternyata cukup sulit. Beberapa rencana pergi keluar kota—atau minimal pulang kampung—jadi batal semua. Semata-mata agar Kiai Kholil tahu kalau dirinya salat di masjid. Kalau salat di kampung halaman, Kiai Kholil mana tahu? Bisa masalah nanti.

Sampai kemudian masuk ke minggu keempat. Lebih dari separuh jalan. Sudah 28 hari tanpa putus Ali salat jamaah di masjid, saf pertama. Sekarang, tubuhnya jadi ringan saja ke masjid. Tak ada beban. Seperti sudah gerak refleks saja. Pikiran soal Ning Zubaidah masih ada, tapi tidak menggebu-gebu seperti awal-awal.

Masuk hari ke-30, menjelang akhir. Ali menjadi merasa harus cepat-cepat ke masjid begitu adzan berkumandang. Kali ini pikiran soal Ning Zubaidah hanya samar-samar.

Malah, sekarang Ali merasa merasa kurang kalau belum sempat salat tahiyatul masjid tapi iqomat sudah berkumandang. Ali juga jadi sering menambah salat qobliyah. Salat jamaah di masjid menjadi hal yang secara alamiah menjadi rutinitas yang tak boleh putus.

Sampai akhirnya memasuki hari ke-40. Kiai Kholil sudah bersiap selama seharian menanti Ali menemuinya. Menanti Ali untuk menagih janji. Tapi sampai hampir tengah malam, batang hidung Ali tak juga kelihatan. Bahkan sampai esok harinya, Ali tak juga menemui Kiai Kholil.

Hari berganti sampai akhirnya masuk bulan kedua. Sudah lebih dari 40 hari Ali melakukan syarat Kiai Kholil. Merasa tak enak hati, Kiai Kholil akhirnya yang mendatangi Ali.

“Ali, kamu kan sudah 40 hari lebih menjalankan syarat dariku, kenapa tak juga menemuiku? Kamu lupa ya sama janjiku?” tanya Kiai Kholil.

Ali yang sekarang sudah kelihatan berbeda dari Ali yang dulu. Dengan tenang Ali menjawab, “Aduh, Pak Kiai. Saya sekarang baru menyadari, ternyata saya segoblok itu dulu. Untuk salat lima waktu jamaah di masjid saja, saya harus perlu iming-iming memalukan kayak dulu.”

“Jadi, kamu tak jadi melamar anak gadisku?” tanya Kiai Kholi langsung ke pokok persoalan.

Ali sempat malu-malu kucing mendengarnya. Namun, dia juga sadar, perubahan besar selama dua bulan ini tidak sedikit.

Jika di awal Ali salat hanya untuk mengejar syarat Kiai Kholil, rasa ikhlas itu lalu muncul pelan-pelan. Benar memang, saat memulai ibadah untuk kali pertama, tak perlu ada rasa ikhlas dulu. Rasa ikhlas akan muncul pelan-pelan kalau istikomah dijalankan.

“Sepertinya saya cabut lagi keinginan itu, Pak Kiai. Saya merasa tak pantas,” kata Ali.

Kiai Kholil tersenyum.

“Baguslah,” kata Kiai Kholil.

Ali heran.

“Kok bagus, Pak Kiai?”

“Sebab, dulu aku juga cuma menjanjikan bahwa setelah 40 hari kamu boleh melamar anak gadisku. Ingat ya, baru boleh melamar. Perkara lamaran diterima atau tidak, ya itu urusan belakangan,” kata Kiai Kholil tertawa.

Ali kali ini tersenyum karena merasa dikerjai kiainya. Tapi kali ini senyumnya tidak sekecut yang dulu.


*) Diolah dari cerita yang disampaikan Gus Baha’

BACA JUGA 5 KEBIASAAN SANTRI YANG BIKIN PENYAKIT GAMPANG MENULAR DI PONDOK PESANTREN atau tulisan rubrik KHOTBAH lainnya.

Exit mobile version