Pilihan Surat saat Salat Jamaah Jangan yang Panjang, Umat Juga Punya Urusan Lain

MOJOK.CO – Sebaiknya usai membaca Alfatihah, seorang imam yang memimpin salat jamaah tidak memilih baca surat yang panjang-panjang. Kasihan jamaahnya.

Fanshuri sudah mulai gundah saat salat magrib berjamaah di masjid masuk rakaat kedua. Bukan apa-apa, Fanshuri baru ingat kalau kompor di rumahnya masih menyala. Keringat dingin mulai mengucur deras.

Meski begitu Fanshuri tetap mencoba khusyuk, tapi bagaimana bisa tenang kalau tiba-tiba saja ingat kalau kompor di rumah belum dimatikan? Bagaimana kalau air yang dimasak itu habis menguap semua?

Masalahnya, di sisi lain Fanshuri juga punya perasaan bahwa tadi dirinya udah matikan kompor ketika akan berangkat ke masjid. Fanshuri jadi ragu. Sudah dimatikan belum ya kompornya? Bagaimana kalau ternyata belum?

Kegundahan Fanshuri semakin besar saat imam yang memimpin salat malah melafalkan surat yang sangat panjang sejak rakaat pertama. Bukan surat-surat pendek kayak Asy-Syams, Adh-Dhuha, atau Al-‘Alaq dari Juz 30 yang biasa dipakai Gus Mut atau Kiai Kholil.

Salat jamaah saat itu memang dipimpin imam pengganti, Ustaz Mulyadi. Sebab, Gus Mut dan Kiai Kholil, dua tokoh agama di kampung Fanshuri sedang pergi ke luar kota.

Fanshuri lebih gundah karena cara baca Ustaz Mulyadi begitu pelan dan malah dilagu-lagukan. Sadar bahwa surat yang dibaca imam kelihatan masih sangat lama, Fanshuri akhirnya memilih membatalkan salat.

Tanpa basa-basi, Fanshuri langsung segera lari ke luar masjid. Tentu saja suara langkah kaki Fanshuri yang buru-buru keluar itu terdengar di telinga seluruh jamaah.

Cukup lama sampai Fanshuri akhirnya kembali lagi ke masjid. Fanshuri tidak terkejut ketika salat jamaah sudah sampai attahiyat akhir. Tapi belum juga sampai Fanshuri mau takbiratul ihram, Ustaz Mulyadi sudah selesai salam.

Untungnya, masih ada satu jamaah yang masbuk (makmum salat yang ketinggalan beberapa rakaat). Fanshuri pun jadi bisa ikut nebeng jadi makmum. Lumayan.

Begitu selesai salat dan zikir, Fanshuri segera dipanggil Ustaz Mulyadi.

“Tadi bukannya kamu yang iqomat ya? Kok kamu malah jadi masbuk, Fan? Tadi ada suara langkah keluar masjid, aku kira siapa. Oalah, ternyata kamu, Fan,” tanya Ustaz Mulyadi.

“Iya, Ustaz. Tadi tiba-tiba ingat kompor rumah. Udah saya matikan apa belum. Ragu saya, jadinya ya batalin salat buat mastiin,” kata Fanshuri.

“Oh, jadi kamu pulang buat matiin kompor?” tanya Ustaz Mulyadi.

“Iya, Ustaz. Cuma masalahnya…”

Ustaz Mulyadi menyimak.

“…jebul kompornya memang udah mati,” kata Fanshuri.

“Masya Allah, Fan, Fan. Itu tuh kalau salat udah nggak khusyuk. Kamu itu lho, salat kok ya masih kepikiran yang lain-lain. Kalau salat itu yang khusyuk. Udah gitu suara langkahmu waktu keluar masjid itu tadi menganggu banget,” kata Ustaz Mulyadi menceramahi.

Fanshuri cuma diam saja.

“Kamu tahu kan betapa khusyuknya salat sahabat Ali bin Abi Thalib? Bahkan saat beliau salat, anak panah yang menancap di kaki beliau saja dicabut sampai tak terasa sakit saking khusyuknya. Kenapa kamu nggak mencontoh hal-hal kayak begitu, Fan?” kata Ustaz Mulyadi.

“Ya kan saya nggak mungkin sesempurna Ali bin Abi Thalib. Mana bisa saya sampai seperti itu, Taz? Ya girap-girap lah saya kalau anak panah dicabut waktu saya salat,” balas Fanshuri.

“Makanya itu, kalau sedang salat lupakan semua urusan dunia. Karena kamu itu sedang menghadap Allah. Kamu nggak malu apa kalau sedang menghadap Sang Pencipta pikiranmu malah mblayang sampai kompor di rumah?” kata Ustaz Mulyadi semakin tinggi nada menasihatinya.

“Tap, tapi kan…”

“Udah, kamu itu nggak usah membantah. Kamu itu sudah melakukan kesalahan. Kamu masih menyangkal?” kata Ustaz Mulyadi.

“Bukan mau membantah, Taz. Cuma kan kalau bacaan surat habis alfatihah tadi nggak panjang-panjang, mungkin saya nggak kepikiran kompor di rumah. Lah rakaat pertama saja tadi lama banget. Ya saya jadi mikirnya ke mana-mana, sampai kepikiran kompor di rumah udah saya matikan apa belum,” kata Fanshuri membela diri

“Kamu itu memang susah ya untuk dinasihatin,” kata Ustaz Mulyadi mulai marah.

“Bukan begitu, Taz. Memang betul kita harus khusyuk, tapi Gus Mut pernah nyampain di sela-sela ngaji Kitab Fasholatan kalau baca surat panjang itu malah nggak disarankan. Malah katanya, imam yang suka baca surat yang kepanjangan waktu salat jamaah itu bisa bikin orang lari dari agama,” kata Fanshuri.

“Lho kok jadi kamu yang ceramahin aku, Fan? Aku ini negur kamu biar kamu instropeksi diri. Bukannya balik mendebat aku. Lagian memang kamu hapal hadisnya? Gimana coba aku pengen denger?” kata Ustaz Mulyadi.

Fanshuri cuma garuk-garuk kepala, “Ya saya sih nggak ingat betul hadisnya, Taz. Cuma zaman Nabi dulu, umatnya juga punya urusan dunia yang harus dipikirin juga. Jadi ya lamanya salat jamaah itu secukupnya aja, nggak perlu lama-lama.”

“Oh, jadi kamu udah mulai mau jadi penceramah ini sekarang?” tanya Ustaz Mulyadi semakin tinggi nadanya.

“Nggak, Ustaz. Saya cuma ingat pelajaran dari ngajinya Gus Mut aja kok. Lagian dulu Gus Mut juga pernah cerita kalau ada riwayat sesudah wafatnya Nabi seorang sahabat dimarah-marahin sama tabi’in di masjid karena masbuk,” kata Fanshuri.

“Hah riwayat yang mana? Kok aku nggak pernah dengar? Kamu jangan ngarang ya, Fan,” kata Ustaz Mulyadi.

“Nggak ngarang, Ustaz. Ini saya dengar langsung dari ngajinya Gus Mut,” kata Fanshuri.

“Baiklah, terus gimana lanjutan riwayat itu,” tagih Ustaz Mulyadi.

“Gini, Taz, si sahabat tadi jadi masbuk salatnya karena ngejar untanya yang kabur. Sama si tabi’in lalu dimarahin, ‘kamu tuh gimana sih? Masa urusan dunia begitu bisa kalah sama urusan salat?’ kira-kira begitu. Si sahabat membalas, ‘lah, aku pulangnya bagaimana kalau untaku kabur? Rumahku kan jauh dari masjid,’ kira-kira gitu sahabat menjawab,” kata Fanshuri.

“Sebentar, sebentar, kok ‘kira-kira’?” tanya Ustaz Mulyadi.

“Ya kan saya nggak hapal kalimat aslinya, Taz. Cuma pernah denger dari ngajinya Gus Mut,” kata Fanshuri.

Ustaz Mulyadi tentu saja merasa tersindir dengan cerita Fanshuri ini, tapi masih bisa menahan diri. “Ya udah, lanjutkan.”

“Nah, lalu si sahabat ini nangis usai dimarahin. Kata si sahabat, ‘padahal zaman Nabi dulu aku masih boleh kalau kejar unta yang lepas, nggak keras begini-begini amat.’ Lalu Gus Mut kasih kesimpulan dari cerita itu. Kata Gus Mut waktu itu, tabi’in itu kan generasi sesudah Nabi wafat, jadi nggak pernah tahu langsung Nabi Muhammad. Nah, dari cerita itu bisa disimpulkan bahwa kadang-kadang generasi yang nggak tahu langsung Nabi itu suka merasa lebih tahu daripada sahabat yang tahu secara langsung.”

Ustaz Mulyadi terdiam sejenak mendengar cerita Fanshuri. “Jadi maksudmu cerita ini mau nyidir aku ya, Fan? Kamu kayaknya nggak mengerti juga bahwa dalam hal ini kamu lah yang udah bikin kesalahan,” kata Ustaz Mulyadi.

“Saya nggak bermaksud menyindir, Taz. Cuma saya penasaran saja, memang salahnya saya itu di bagian mana?” tanya Fanshuri.

“Ya salahmu itu karena salatmu yang nggak khusyuk tadi,” jawab Ustaz Mulyadi lantang.

Fanshuri sudah mulai geregetan, lalu dengan enteng cuma membalas, “Lha emangnya Ustaz udah khusyuk apa? Kalau memang Ustaz Mulyadi udah sangat khusyuk salatnya, mana mungkin Ustaz bisa mendengar suara langkah saya waktu keluar masjid. Iya kan?”

“Oh, kalau itu… Eh, itu sih… Kan, gini… eh.” Ustaz Mulyadi langsung pucat pasi.


*) Diolah dari ceramah Gus Baha’

Exit mobile version