MOJOK.CO – “Jadi kalau warga sampeyan itu jadi mualaf, sampeyan bakal mengizinkan dia tinggal?” tanya Gus Mut ke Kepala Dusun yang kukuh dengan aturan adat di dusunnya.
Pak Kadir, Kepala Dusun beda Kelurahan dari Gus Mut mendadak sowan. Ditemani dengan Mas Is, Pak Kadir ingin melapor mengenai situasi pelik yang terjadi di dusunnya kepada Gus Mut. Sebagai salah satu tokoh lokal juga, Pak Kadir ingin meminta pendapat Gus Mut.
“Jadi gini, Gus. Pak Kadir ini kemarin menghubungi saya, katanya beliau perlu sowan karena baru-baru ini ada kasus intervensi warga luar yang mencoba mengotak-atik aturan adat masyarakat di dusunnya Pak Kadir,” kata Mas Is.
“Betul, Gus,” kata Pak Kadri, “Gus Mut mungkin belum dengar. Baru-baru ini di dusun kami tiba-tiba banyak orang yang tiba-tiba jadi sering datang. Bahkan pihak kepolisian, ormas-ormas, sampai wartawan segala.”
“Wah, terkenal dong, Pak Kadir, dusun sampeyan,” kata Gus Mut.
“Masalahnya ini yang datang pada coba-coba mengobrak-abrik tatanan aturan adat, Gus,” kata Pak Kadir.
“Iya, Gus. Orang asing yang coba-coba ngatur-ngatur penduduk asli,” kata Mas Is nyambung.
“Masalah apa sih? Saya kok nggak paham? Memang apa urusannya pada datang ke dusun sampeyan? Sampeyan lagi bikin wahana wisata desa yang baru atau bagaimana?” tanya Gus Mut sambil menyeruput kopi.
“Bukan, Gus, tapi orang-orang luar itu pada protes hanya karena kami ingin menjaga dusun kami tetap menjadi dusun muslim,” kata Pak Kadir.
“Maksudnya?” tanya Gus Mut lagi masih belum mengerti.
“Jadi gini, Gus. Dusunnya Pak Kadir ini kemarin kan sempat ramai karena tiba-tiba ada orang asing yang ngontrak rumah. Nah, setelah diselidiki jebul si orang ini agamanya nggak Islam. Padahal jelas di dusunnya Pak Kadir ini syarat menjadi warganya itu harus beragama Islam. Makanya orang ini akhirnya ditegur baik-baik untuk pindah,” kata Mas Is mencoba memberi gambaran latar belakang masalah yang dialami Pak Kadir.
Gus Mut agak terkejut mendengarnya.
“Emang betul, Pak Kadir, ada aturan kayak gitu di dusun sampeyan?” tanya Gus Mut.
“Betul, Gus. Itu udah jadi kesepakatan warga sejak bertahun-tahun. Dan selama ini tak ada masalah. Mungkin si pemilik rumah kontrakan juga khilaf karena nggak ngecek dulu agama orang yang ngontrak rumahnya,” kata Pak Kadir.
“Oh,” kata Gus Mut. Suaranya berat.
“Masalahnya, lalu ada orang non-muslim yang ngontrak di dusun ini malah lapor polisi. Tersebar deh itu kabar ini. Lalu tiba-tiba mulai banyak orang yang datang ke dusun kami,” kata Pak Kadir.
Gus Mut terkekeh mendengarnya.
“Kok ketawa sih, Gus?” tanya Mas Is.
“Bukan, bukan. Saya ini sebenarnya masih belum nangkap masalahnya ada di mana. Kalau soal banyak orang luar yang datang ke dusun sampeyan, saya tahu itu masalah. Tapi alasan dibikin aturan itu yang seharusnya dilacak. Emang siapa yang bikin aturan kayak gitu, Pak Kadir?” tanya Gus Mut.
“Itu aturan udah ada sejak zaman dulu, Gus, sejak dari nenek moyang,” kata Pak Kadir.
“Terus kira-kira alasannya apa aturan kayak gitu masih dipertahankan?” tanya Gus Mut.
“Ya biar warga kami, dusun kami, tetap jadi dusun muslim. Ya mungkin kalau cuma satu orang non-muslim datang jadi warga kami sih nggak masalah, tapi kan kalau tidak dicegah, berangsur-angsur mereka bakal datang satu-satu. Nanti bisa-bisa dusun kami didatengin orang-orang non-muslim lagi lama-lama,” kata Pak Kadir.
Gus Mut cuma terdiam.
“Jadi gimana, Gus?” tanya Pak Kadir lagi.
“Nggak, selain soal beda keyakinan, memang dia bikin masalah apa di dusun sampeyan?” tanya Gus Mut coba menyelidiki.
“Ya nggak ada masalah sih. Lha wong baru beberapa hari juga tinggal di dusun kami, ya alasannya karena beliau nggak Islam aja sih,” kata Pak Kadir.
“Jadi kalau misalnya—ini misalnya lho—orang itu pindah jadi Islam gitu. Sampeyan bakal mengizinkannya tinggal?” tanya Gus Mut.
“Ya bisa jadi sih, Gus,” kata Pak Kadir.
“Lha kalau alasannya masuk Islam hanya karena takut diusir sama kalian gimana? Jadi dia masuk Islam malah dengan perasaan penuh amarah karena dipaksa gitu?” tanya Gus Mut lagi.
“Ya kalau itu kan urusannya dia sama Tuhannya, yang penting secara status dia kan Islam,” kata Pak Kadir.
“Oh, jadi ini cuma persoalan status aja toh?” kata Gus Mut.
Pak Kadir terdiam. Mas Is juga.
“Ya nggak gitu juga sih, Gus. Kami nggak muluk-muluk kok Gus, yang penting warga kami hidup tenang. Itu aja udah cukup. Lagian kan kami juga tetap berhak, Gus, mengatur dusun kami mau jadi kayak gimana. Kami dari generasi ke generasi sudah hidup dengan aturan adat kayak gini. Sebelumnya tak ada masalah,” kata Pak Kadir.
“Sebenarnya yang jadi masalah itu karena aturan adat kalian itu setengah-setengah,” kata Gus Mut.
“Maksudnya, Gus?” tanya Pak Kadir.
“Ya aturannya nanggung. Seharusnya, di dusun sampeyan itu terpampang jelas di gapura dusun tentang aturan-aturan ini, misalnya ‘buat yang tidak Islam tidak boleh tinggal di dusun ini’, jadi orang non-muslim yang mau ngontrak rumah itu sejak awal nggak akan memilih dusun sampeyan,” kata Gus Mut.
“Tapi kan sekarang udah telanjur,” kata Pak Kadir.
“Makanya letak kesalahan sampeyan itu di sana. Sekarang sampeyan baru kasih tahu aturan kayak gitu setelah orang itu udah ngontrak. Secara akad perjanjian kalian salah,” kata Gus Mut.
Gus Mut lalu melanjutkan, “Jadi gini Pak Kadir, ibarat kalian jualan buah, terus kalian nggak cantumin aturan bahwa barang yang udah dibeli tidak bisa dikembalikan. Kebetulan ada orang yang beli dan setelah dibuka ternyata buahnya busuk. Begitu datang ke toko buah buat mengembalikan, kalian baru sodorkan aturan itu. Itu kan curang namanya. Jadi ya harusnya aturan-aturan kayak gitu harus dipampang jelas biar orang lain tahu sejak awal.”
“Waduh, Gus, ya bisa runyam masalahnya kalau dipampang jelas gitu. Orang-orang luar bisa marah. Bisa habis kami kalau dikata-katain sama orang luar,” kata Pak Kadir.
“Lho kenapa takut? Kan itu dusun sampeyan sendiri. Aturan yang diberlakukan kan disepakati warga sendiri? Kalau memang keinginannya warganya kayak gitu, ya udah diumumkan saja sejak awal. Sama keputusan sendiri kok takut-takut gitu?” tanya Gus Mut.
“Bukannya takut, Gus. Ya kami kan ogah kalau diomongin sama tetangga dusun,” kata Pak Kadir.
“Memang apa urusannya sama warga lain? Kan yang terpenting keinginan warga dusun sampeyan bisa diakomodasi,” tanya Gus Mut.
“Ya dikira nanti kami radikal,” kata Pak Kadir.
“Lha kalian merasa aturan itu bener nggak?” tanya Gus Mut lagi.
Pak Kadir diam. “Ya bagi kami bener-bener aja, tapi kan warga dusun lain yang lihat aturan kayak gitu secara umum kan belum tentu sama pemikirannya.”
“Berarti sampeyan tahu kalau aturan itu nggak sepenuhnya benar. Soalnya kalau sampeyan merasa itu benar sepenuhnya, ya sampeyan nggak akan sepeduli itu sama omongan orang. Sampai takut-takut gitu. Kalau merasa benar kok malah takut gitu, kan aneh? Atau jangan-jangan sampeyan sebenarnya merasa kalau aturan itu nggak benar?” kata Gus Mut.
Pak Kadir terdiam. Mas Is apalagi.
“Lagian, sampeyan ini nanggung banget kalau pakai alasan aturan adat untuk membenarkan aturan itu. Kalau nenek moyang sampeyan konsisten pakai aturan di dusun itu sejak dulu, ya sudah jelas nggak bakal ada satu pun dari warga sampeyan yang agamanya Islam sekarang, Pak Kadir,” kata Gus Mut.
“Lho? Kok bisa, Gus?” tanya Pak Kadir kaget.
“Ya iya dong. Agama Islam kan awalnya juga agama asing di dusun sampeyan. Gimana sih?” kata Gus Mut sambil nyeruput kopi.