MOJOK.CO – Semua orang tidak punya keahlian di segala bidang keilmuan. Ahli di bidang agama, belum tentu ahli di bidang lain—termasuk seorang kiai kepada santri yang pernah jadi anak didiknya.
Fanshuri terkejut ketika tahu Kiai Kholil berencana akan mendatangi rumahnya. Senang tapi juga sedikit panik. Kedatangan Kiai Kholil ke rumah tentu jadi hal menyenangkan bagi Fanshuri, meski di sisi lain juga jadi kekhawatiran. Bagaimana kalau Kiai Kholil tidak berkenan dengan kondisi rumahnya?
Fanshuri pun jadi repot, membersihkan segala sudut ruangan di rumahnya sebelum Kiai Kholil datang. Membeli berbagai makanan dan minuman terbaik. Sampai kemudian Kiai Kholil datang betulan ke rumah Fanshuri.
“Assalamu’alaikum, Fan,” kata Kiai Kholil.
“Wa’alaikumsalam, Pak Kiai,” sambut Fanshuri sembari mencium tangan kiainya itu.
“Ada apa ya ini tumben-tumbenan Pak Kiai mau datang ke gubuk saya?” tanya Fanshuri lagi.
“Begini, Fan. Aku ini mau minta diajari untuk belajar pakai hape layar sentuh yang ukurannya gede. Apa itu namanya? Itu lho yang kayak nama obat.”
“Tablet, Pak Kiai.”
“Nah iya, tablet. Nah, kebetulan kemarin aku dibelikan sama anakku, si Mut. Katanya kalau pakai ini, aku bisa baca-baca kitab klasik juga dari sini. Nggak perlu repot-repot bawa kitab banyak-banyak kalau mau baca-baca,” kata Kiai Kholil.
Fanshuri yang mendengar itu setengah tak percaya. Jadi gonjang-ganjing soal kedatangan Kiai Kholil itu cuma perkara sepele, Kiai Kholil cuma mau belajar caranya pakai tablet.
“Waduh, Pak Kiai ini. Kenapa tidak memanggil saya saja ke rumah Pak Kiai? Kenapa malah repot-repot mendatangi rumah saya. Saya pikir Pak Kiai ada urusan penting apa, ternyata cuma mau minta diajarin cara pakai tablet,” kata Fanshuri.
Kiai Kholil terkekeh mendengar penjelasan Fanshuri.
“Loh, ya kan saya ini seorang santri yang lagi membujuk kiai-nya agar mau mengajari sesuatu. Masa iya ada seorang kiai mendatangi santrinya untuk minta ngajar. Itu kan tidak elok namanya,” kata Kiai Kholil.
Fanshuri bingung sejenak.
“Loh, Pak Kiai ini bagaimana. Ya ini barusan seorang kiai mendatangi santrinya,” kata Fanshuri.
“Ya tidak to, Fan,” kata Kiai Kholil.
“Tidak bagaimana Pak Kiai? Jelas-jelas Kiai Kholil datang ke rumah saya. Ke rumah santrinya,” kata Fanshuri semakin bingung.
Kiai Kholil semakin terkekeh melihat ketidakpahaman Fanshuri.
“Dalam hal pakai tablet ini, saya ini orang bodoh. Sampeyan jauh lebih ahli, jauh lebih ‘alim ketimbang saya. Dalam soal keilmuan ini saya cuma calon santri sampeyan, Fan,” kata Kiai Kholil. “Ingat lho, masih calon santri,” tambah Kiai Kholil.
“Maksudnya, Pak Kiai?” tanya Fanshuri lagi.
“Ya sampeyan kan belum tentu mau mengajari saya,” kata Kiai Kholil.
“Loh, mana mungkin saya menolak Pak Kiai. Orang gila macam apa saya sampai menolak permintaan Kiai Kholil,” kata Fanshuri.
Kiai Kholil lega mendengar, “Alhamdulillah,” kata Kiai Kholil.
“Kalau begitu saya resmi jadi murid sampeyan ini, Fan. Terus sampeyan ada waktunya kapan? Biar saya menyesuaikan,” lanjut Kiai Kholil.
Fanshuri yang mendengar itu semakin kaget. Tak diduga sebelumnya jika Kiai Kholil sampai segitu bersemangatnya belajar hal sepele seperti itu sampai-sampai mau menyesuaikan jadwalnya demi Fanshuri.
“Kebalik dong Pak Kiai. Justru saya yang menyesuaikan waktunya sama Pak Kiai. Kiai Kholil bisanya kapan, biar saya yang ngikut,” kata Fanshuri.
“Waduh, kok begitu. Saya kan yang minta diajari, masa iya saya yang menentukan,” kata Kiai Kholil.
“Tapi kan Pak Kiai lebih sibuk ketimbang saya. Urusan Pak Kiai juga lebih banyak dari saya. Pengajian ke mana-mana, belum jadwal ngaji di pesantren, dan lain sebagainya. Nggak lucu dong Pak Kiai, kalau gara-gara ngikut jadwal saya, santri-santri Pak Kiai jadi terbengkalai karena urusan sepele kayak begini,” kata Fanshuri.
Kiai Kholil cuma tersenyum tipis mendengar penuturan Fanshuri.
“Fan, yang begini ini memang jadi perkara sepele bagi orang yang tahu seperti kamu, tapi jadi perkara yang sangat berharga buat orang bodoh seperti aku ini. Ini seperti aku ngajari nahwu atau shorof untuk santri-santriku. Buatku, bisa jadi yang kuajarkan hanya secuil dari yang aku tahu, tapi bagi santri-santriku itu adalah hal baru dan begitu luas buat mereka. Itu nggak ada bedanya dengan cara pakai tablet begini. Bagimu mungkin itu sepele, karena sebagai ahli di bidang teknologi macam kamu, pakai tablet itu seperti seorang ustaz diminta ngajarin baca bismillah saja. Sepele banget. Tapi bagi aku yang nggak tahu sama sekali, ini perkara yang sangat penting. Makanya itu aku minta kerelaanmu untuk menjadikan aku sebagai muridmu, Fan. Nah, salah satunya dengan mengikuti jadwal kamu ada waktu saja, jadi kamu ngajarnya bisa lebih ikhlas ke aku, jadi Insya Allah lebih manfaat nanti ilmunya,” kata Kiai Kholil.
Mendengar penjelasan itu, Fanshuri cuma bisa garuk-garuk kepala karena merasa tidak enak hati. Mana mungkin seorang kiai malah memohon-mohon diajari sesuatu orang seperti dirinya lalu dia jadi merasa berhak mengatur-atur?
“Tapi Pak Kiai…” kata Fanshuri.
“Kalau soal agama, mungkin kamu ini santriku. Namun di bidang kayak begini, aku ini yang sekarang santri. Dan sebagaimana lumrahnya santri, ya aku harus manut sama perintahmu, Fan,” kata Kiai Kholil.
“Baiklah, Pak Kiai. Nanti saya bisanya hari Ahad sekitar jam 8 malam bagaimana?” kata Fanshuri.
Bukan tanpa alasan Fanshuri menentukan jadwal itu. Ahad jam 8 malam adalah waktu kosong milik Kiai Kholil yang diketahui betul oleh Fanshuri. Karena tahu bahwa Kiai Kholil punya waktu senggang pada waktu tersebut sehingga Fanshuri yakin jadwal Kiai Kholil tidak akan terganggu sama sekali.
Kiai Kholil yang mendengarnya pun senang.
“Tapi Pak Kiai, soal tempatnya. Biar di kediaman Pak Kiai saja. Biar saya yang datang ke rumah. Pak Kiai tidak perlu repot-repot datang ke sini,” kata Fanshuri.
Mendengar itu, Kiai Kholil menolak.
“Wah, maaf ini, Fan. Saya kan yang mau minta diajari, masa iya saya merepotkan guru saya?” kata Kiai Kholil.
Fanshuri semakin tidak enak hati mendengarnya. Meski begitu Fanshrui terus memikirkan cara agar Kiai Kholil tidak semakin direpotkan.
“Baiklah, Pak Kiai,” kata Fanshuri pakai nada yang sengaja dibikin tegas, “Benar tidak kalau saya sekarang dianggap Pak Kiai sebagai guru?”
“Loh, iya benar dong, Fan. Sampeyan sekarang jadi guru saya,” kata Kiai Kholil.
“Lalu benar tidak kalau Pak Kiai akan ikut dengan semua perintah saya?” tanya Fanshuri.
“Benar, karena sampeyan guru saya, saya akan ngikut sama perintah sampeyan,” kata Kiai Kholil.
“Kalau begitu saya ada perintah. Kiai Kholil saya perintahkan untuk tidak perlu datang ke rumah saya kalau mau belajar. Biar saya saja yang datang ke kediaman Pak Kiai. Jadi bagaimana? Masih mau membantah perintah saya ini?” kata Fanshuri dengan suara tegas, tapi dengan mulut tersenyum.
Kiai Kholil terpana bingung, lalu mengangguk menuruti perintah gurunya. Keduanya pun tertawa bersama.
*) Diinspirasi dari kisah Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari dengan Kiai Kholil Bangkalan.