Manajemen Kiai Amplop ala Gus Mut

MOJOK.COGus Bawazir berbagi nasihat soal manajemen kiai amplop yang sukses kepada Gus Mut. Biar hidup nggak gitu-gitu aja dan bisa berkembang.

Memang sudah sedari lama Gus Bawazir ingin berkunjung ke kediaman Gus Mut. Hanya saja, karena sibuknya bukan main mengisi ceramah di sana-sini, Gus Bawazir tak pernah sempat. Kebetulan siang itu, Gus Bawazir akan mengisi ceramah di salah satu pesantren di daerah Gus Mut, maka Gus Bawazir menyempatkan untuk mampir ke sahabatnya itu.

Setelah berbasa-basi sejenak, Gus Mut penasaran dengan mobil yang dibawa Gus Bawazir. Sebuah mobil keluaran terbaru yang harganya selangit.

“Wah, mobilnya baru, Gus. Sukses ini jadi mubalig di mana-mana,” kata Gus Mut sambil menyediakan kopi dan jajanan pasar di meja tamu.

“Ya kan ini namanya manajemen kiai amplop, Gus. Alhamdulillah, ada rezeki berlebih dari usaha dagang di rumah,” kata Gus Bawazir terkekeh. “Sampeyan sih terlalu ikhlas, nggak mau terima amplop kalau lagi ngisi di mana-mana,” lanjut Gus Bawazir.

Mendengar itu Gus Mut sedikit tersentil.

“Ah, kata siapa,” kata Gus Mut.

“Lah, memangnya Gus Mut terima amplop juga?” tanya Gus Bawazir.

“Ya, terima. Cuma manajemen kiai amplop saya beda sama sampeyan, Gus,” kata Gus Mut.

“Wah, kiai amplop juga ternyata sampeyan,” kata Gus Bawazir.

Gus Mut tersenyum.

“Monggo lho, Gus. Diminum dulu kopinya. Keburu dingin,” kata Gus Mut.

“Oh, iya, iya,” kata Gus Bawazir lalu menyeruput kopinya dalam-dalam.

“Bulan ini udah ngisi berapa banyak acara, Gus?” tanya Gus Mut.

“Yah, nggak banyak sih. Lagi sepi belakangan ini. Paling juga cuma 10 acara gitu,” kata Gus Bawazir.

“Wah, banyak banget itu. Sepi aja sampai 10-an acara. Acara pesantren semua?” tanya Gus Mut.

“Ya nggak. Kadang acara kampung, acara nikahan orang, kadang acara selametan panen, macam-macam. Sepanjang waktunya pas, ya saya datangi,” kata Gus Bawazir.

“Oh,” kata Gus Mut.

“Sampeyan itu saya dengar juga banyak ngisi di mana-mana. Tapi kok nggak kelihatan, Gus?” tanya Gus Bawazir.

“Nggak kelihatan gimana maksudnya?” tanya Gus Mut balik.

“Ya—maaf ini—nggak kelihatan. Nggak kelihatan hasil amplopnya. Hidup sampeyan kayak begini-begini aja dari dulu. Nggak berubah. Ke mana-mana masih naik motor. Sederhana, benar-benar zuhud bener sampeyan. Salut saya,” kata Gus Bawazir.

“Ya namanya juga cuma ngajar ngaji di rumah, Gus. Saya ini belum ada usaha apa-apa,” kata Gus Mut.

“Lah, memang duit dari amplop-amplop itu nggak pernah dipakai?” kata Gus Bawazir.

“Ya dipakai sih,” kata Gus Mut.

“Ah, masa? Kok nggak kelihatan ada hasilnya? Padahal saya tahu lho kalau daftar antrean ngundang Gus Mut ini juga banyak banget. Nggak kalah sama saya. Saya bisa beli mobil baru kok sampeyan nggak bisa. Itu kan tanda kalau sampeyan zuhud banget,” kata Gus Bawazir.

Gus Mut tersenyum.

“Sudah saya bilang, manajemen kiai amplop saya beda sama sampeyan,” kata Gus Mut.

“Makanya, pakai cara saya dong,” kata Gus Bawazir.

“Cara yang gimana tuh?”

“Begini. Duit dari amplop itu jangan dipakai semua. Beberapa dikumpulin. Lalu jadi modal usaha. Dari modal usaha itu terus jadi deh pemasukan buat kita,” kata Gus Bawazir kasih nasihat.

“Wah, nggak bakal bisa kalau model manajemen kiai amplop cara saya,” kata Gus Mut sambil menyalakan rokok.

“Lho kok bisa? Jangan-jangan sampeyan sedekahin semua,” kata Gus Bawazir.

“Oh, ya nggak dong. Saya simpan. Tapi peruntukannya beda-beda,” kata Gus Mut.

“Maksudnya ‘peruntukannya beda-beda’?” tanya Gus Bawazir.

“Ya cuma amplop dari orang-orang kaya saja yang saya gunakan. Tapi kalau untuk hajatan-hajatan kecil dari petani biasa yang aqiqoh anaknya gitu misalnya, ya saya nggak berani gunakan,” kata Gus Mut.

“Lah kok nggak berani? Itu kan sudah jadi hak sampeyan. Orangnya juga sudah sedekahin untuk Gus Mut,” kata Gus Bawazir.

“Nah, itu masalahnya.”

“Masalah gimana?”

“Ya masalah dong. Orang-orang kecil itu barangkali harus nabung atau ngejual sesuatu untuk bisa bikin acara dan kasih amplop ke saya. Masa iya, duit dari hal-hal kayak gitu mau saya campur dengan duit yang dikasih orang-orang kaya. Beda dong nilainya,” kata Gus Mut.

“Beda gimana?”

“Ya beda dong. Nilainya kan kelewat tinggi,” kata Gus Mut.

“Memangnya orang-orang kayak gitu malah selalu ngasih lebih tinggi? Lebih banyak gitu ya?” tanya Gus Bawazir.

“Bukan begitu. Begini. Orang kaya yang bikin acara mungkin cuma menyisihkan secuil pendapatannya, sedangkan orang-orang kecil bisa jadi sampai harus merelakan sebagian besar pendapatannya. Dari perbandingan itu, ya jelas nilainya orang biasa ini lebih tinggi dong,” kata Gus Mut.

“Jadi, diapain itu amplop-amplop model begitu? Dibiarin aja?” tanya Gus Bawazir.

“Ya jadi ini,” kata Gus Mut menunjuk kopi dan jajanan pasar di hadapan mereka.

“Maksudnya?”

“Ya jadi dana untuk nyuguhi tamu-tamu saya. Mau tamu itu temen saya, orang lain, petugas kelurahan, pengamen, pengemis. Semuanya kan selalu saya suguhi di rumah saya. Lha wong duit itu kan ‘suguhan’ juga dari tuan rumah untuk saya sebelumnya, jadi saya balikin lagi untuk ‘suguhan’ ke tamu-tamu saya,” kata Gus Mut sambil tersenyum.

Gus Bawazir terkejut mendengarnya.

“Lalu kalau amplop dari orang-orang kaya itu nasibnya gimana?” tanya Gus Bawazir.

“Baru, amplop dari orang-orang yang saya pikir kaya atau mampu yang bisa digunakan. Itu pun juga sebaiknya tetap yang berhubungan dengan jamaah dan santri-santri sih. Itu amanah dari bapak saya soalnya,” kata Gus Mut.

Gus Bawazir tertegun. Lalu melirik mobil barunya yang harganya menyundul langit dari modal amplop ngisi acara itu. Entah kenapa, barusan saja dirinya merasa sedang mendatangi Gus Mut untuk minta digampar karena telah menyentil topik sensitif soal manajemen kiai amplop.

 

*) Diolah dari pengajian Gus Baha’

BACA JUGA Kisah Sedekah Orang Miskin dan Amplop Bisyaroh yang Tertukar atau tulisan rubrik KHOTBAH lainnya.

Exit mobile version