MOJOK.CO – Fanshuri merasa sebal dengan khotbah Jumat Kiai Jauhari yang kelewat panjang dan lama. Padahal kan yang begituan hukumnya makruh.
“Wah, Gus Mut ini ngerjain saya. Saya pikir saya diajak ke masjid yang agak jauh dari kampung kita itu ada maksud apa, ternyata malah buat dengerin Khotbah Jumat Kiai Jauhari yang kepanjangan,” kata Fanshuri ke Gus Mut dalam perjalanan pulang dari jumatan.
Gus Mut terkekeh.
“Kamu kan dari dulu suka nyindir-nyindir Kiai Jauhari soal khotbah Jumatnya, makanya sekali-kali aku ajak lah. Biar kamu ngerasain,” kata Gus Mut.
“Duh, kapok saya jumatan di sana. Capek. Apa Gus Mut nggak mau sekali-kali negur Kiai Jauhari? Khotbah Jumat yang kelewat panjang kan hukumnya makruh, apa Kiai Jauhari tidak tahu dalil-dalil kayak gitu?” kata Fanshuri ke Gus Mut.
Gus Mut kali ini tersenyum.
“Kamu kok tahu hukum khotbah Jumat yang kelewat panjang segala?” kata Gus Mut.
“Ya tahu dong, Gus. Meski santri kalong begini, saya kan juga masih ingat soal riwayat kalau Nabi salat jamaah itu bacaan surat-suratnya sedang dan khotbahnya juga sedang. Terukur lah,” kata Fanshuri.
Gus Mut manggut-manggut.
“Dari sana kan sudah cukup, Gus. Kalau misalnya Gus Mut mau menegur Kiai Jauhari,” kata Fanshuri.
Gus Mut terdiam sejenak.
“Bukan di situ masalahnya, Fan,” kata Gus Mut.
Fanshuri agak bingung dengan sikap Gus Mut, tidak biasanya gurunya seperti itu.
“Apa ini karena Gus Mut merasa lebih muda jadi nggak berani menegur Kiai Jauhari?” tanya Fanshuri.
“Ya nggak lah, apa urusannya kesimpulan kamu bisa sampai ke sana,” kata Gus Mut.
“Soalnya kan bisa bahaya kalau kebiasaan ini diteruskan. Nanti orang jadi bosan waktu jumatan kalau khotbah Jumat kelewat panjang begitu,” kata Fanshuri.
“Bukan begitu, Fan. Ukuran sedang itu kan sebenarnya relatif, bagi sebagian orang bisa terlalu pendek, bagi sebagian yang lain bisa kelewat panjang. Makanya dalam riwayat Nabi itu tidak disebutkan durasi secara pasti, itu semua masih terkait soal proporsi, situasi, dan konteks ketika khotbah Jumat itu disampaikan,” kata Gus Mut.
“Lah, makanya itu. Khotbah Jumat Kiai Jauhari kan sudah nggak proposional sama sekali, Gus?” kata Fanshuri.
“Proposional kan menurut kamu,” kata Gus Mut.
Fanshuri agak kaget.
“Ma-maksudnya, Gus?” tanya Fanshuri.
“Kamu pernah nggak ketemu sama Kiai Jauhari? Maksudnya, pernah sowan ke beliau nggak?” tanya Gus Mut.
“Ya nggak pernah sih, beliau kan dari kampung sini. Agak jauh dari kampung kita,” kata Fanshuri, “Kalau saya mau tanya-tanya agama kan mending ke Gus Mut langsung lah, ngapain jauh-jauh?”
“Nah, makanya itu…,” kata Gus Mut.
“Makanya apa, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya makanya, kamu masih ada stigma yang melekat kalau khotbah Jumat terlalu lama—menurutmu, kamu pikir orang yang khotbah itu nggak ngerti soal dalil bahwa khotbah sebaiknya nggak terlalu panjang,” kata Gus Mut.
“Heh, gimana, Gus?”
“Kiai Jauhari itu juga ada maksud dan tujuan kenapa khotbah Jumat lebih panjang menurut kamu,” kata Gus Mut.
“Kok Gus Mut tahu? Emang akrab ya sama Kiai Jauhari ya? Padahal kan Gus Mut ini termasuk khotib yang sering khotbah Jumat nggak panjang dan secukupnya aja,” tanya Fanshuri.
Gus Mut terkekeh.
“Ya tahu dong, aku kan sering sowan ke rumah Kiai Jauhari makanya tahu,” kata Gus Mut.
“Sebentar, sebentar, memang alasannya Kiai Jauhari kayak gitu kenapa, Gus?” tanya Fanshuri.
“Kiai Jauhari itu, di masjid di lingkungannya kan dekat sama pabrik besar. Tadi kan kamu juga lihat ada banyak buruh pabrik yang ikut jumatan di masjid,” kata Gus Mut.
“Oiya juga. Tadi di injury time waktu mau habis khotbah kedua, banyak itu rombongan berseragam tiba-tiba datang,” kata Fanshuri.
“Nah, jadi ceritanya, karena waktu istirahat untuk salat Jumat para buruh itu nggak banyak, kadang-kadang buruh pabrik itu suka memanfaatkannya untuk makan siang dulu sebentar. Soalnya sesudah jumatan mereka diharuskan segera masuk sif kerja lagi,” cerita Gus Mut.
“Terus?” Fanshuri penasaran.
“Nah, karena sebagian dari mereka suka pada makan siang dulu, pada akhirnya buruh-buruh ini suka ketinggalan jumatan. Beberapa di antaranya malah sekalian nggak jumatan, karena nanggung dan lebih takut sama bos-nya ketimbang sama Allah,” kata Gus Mut.
“Wah, parah juga itu buruh-buruh pabriknya,” komentar Fanshuri.
“Kan nggak mungkin itu Kiai Jauhari menceramahi satu demi satu buruh pabrik yang nggak jumatan karena alasan mau makan siang dulu, akhirnya Kiai Jauhari pakai strategi lain,” kata Gus Mut.
“Strategi? Strategi apa, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya dipanjanginlah durasi khotbah Jumat kalau beliau lagi jadi khotib. Harapannya, biar para buruh pabrik itu merasa nggak enak kalau udah selesai makan siang, tapi masjid di dekat mereka ternyata belum mulai juga salat Jumat-nya,” kata Gus Mut.
“Howalah, pantesan tadi waktu iqomah tahu-tahu ada banyak lagi rombongan buruh yang datang,” kata Fanshuri.
“Iya. Gara-gara pakai strategi khotbah Jumat itu, buruh pabrik yang tadinya malas jumatan, justru malah pada jumatan karena waktunya masih cukup untuk makan siang dan salat Jumat. Di sisi lain, itu juga bikin waktu istirahat mereka jadi sedikit lebih panjang karena patokan masuk sif kerja mereka ngikutin selesai jumatannya masjid di kampungnya Kiai Jauhari,” kata Gus Mut.
“Howalah, ternyata begitu,” kata Fanshuri.
“Patokan khotbah Jumat kepanjangan atau tidak itu ya relatif, Fan. Bagimu bisa kepanjangan, tapi bagi jamaah di tempat lain ya bisa aja tidak. Makanya, dikurang-kurangilah mengukur celana orang lain pakai ukuran perutmu sendiri,” lanjut Gus Mut.
Fanshuri melongo. Sikapnya yang tadi meremehkan Kiai Jauhari, tiba-tiba berubah drastis.
Gus Mut cuma tersenyum melihat ekspresi Fanshuri.
“Itu tadi yang namanya stigma. Orang yang kita pikir berperilaku tidak sesuai dengan tafsir kita, lalu kita anggap orang tersebut nggak ngerti apa-apa. Padahal sebenarnya, justru kita yang nggak ngerti apa-apa,” kata Gus Mut lalu terkekeh.
BACA JUGA Pilihan Surat saat Salat Jamaah Jangan yang Panjang, Umat Juga Punya Urusan Lain atau kisah-kisah Gus Mut lainnya.