Ketika Kiai Bersikap Rendah Hati Tidak pada Tempatnya

MOJOK.COKadang-kadang sikap rendah hati itu bisa menjadi masalah untuk orang lain. Paling tidak, itu yang pernah dialami Kiai Kholil.

“Kok rapi sekali, mau ke mana, Mut?” tanya Kiai Kholil ke Gus Mut, anaknya.

Penampilan Gus Mut begitu rapi usai salat duhur di masjid, hal yang bikin penasaran abahnya.

“Mau ngisi pengajian, Bah,” kata Gus Mut.

“Ngisi pengajian di mana memangnya?”

“Di daerahnya Kiai Anshori,” jawab Gus Mut.

“Di pesantrennya Kiai Anshori?”

“Bukan sih, satu kecamatan, tapi bukan di pondoknya, tapi di peresmian masjid. Beda kelurahan sama pesantrennya Kiai Anshori,” jawab Gus Mut lagi.

“Oh, jangan lupa bawa sorban,” kata abahnya.

“Memang kenapa, Bah? Bukannya bagus yang nggak mencolok begini? Kalau terlalu mencolok malah jadi kayak kiai beneran nanti,” kata Gus Mut.

“Ya kan memang kamu kiai pengisi ceramahnya. Kalau pakaianmu biasa-biasa begitu, kasihan panitianya,” kata Kiai Kholil.

“Kok kasihan?” Gus Mut bingung.

“Karena memang di daerahnya Kiai Anshori, kalau kiai nggak pakai sorban ya dikira bukan kiai,” kata Kiai Kholil.

“Ya bagus dong kalau aku nggak dikira kiai, malah jadi bisa melatih biar rendah hati, Bah. Nggak ngerasa jumawa,” jawab Gus Mut.

“Iya, bagus buat kamu, tapi nggak bagus buat mereka,” jawab Kiai Kholil semakin membingungkan Gus Mut.

Lalu Kiai Kholil menceritakan pengalamannya ke Gus Mut.

Beberapa tahun sebelumnya, Kiai Kholil pernah diundang mengisi ceramah di pesantrennya Kiai Anshori. Sama seperti Gus Mut hari ini, Kiai Kholil mengenakan baju ala kadarnya. Maksudnya baju koko biasa, peci hitam, dan sarung yang sudah lumayan luntur warnanya.

Kebetulan hari itu Kiai Kholil datang lebih dulu dari jadwal acara. Niat hati memang ingin bersilaturahmi dulu dengan Kiai Anshori sebelum acara. Kalau datang waktu acara, takutnya nggak sempat ngobrol-ngobrol.

Nah, begitu Kiai Kholil sampai pondok pesantren yang dimaksud, keadaan masih cukup sepi. Beberapa tamu sudah hadir, panitia sibuk, dan kursi sudah dipasang deret rapi. Karena merasa nggak enak dengan panitia acara yang sibuk, Kiai Kholil duduk sejenak di kursi tamu deretan paling depan.

Lumayan lama meletakkan pantat, seorang panitia mendekati Kiai Kholil.

“Maaf, Pak. Bapak dari mana ya?” tanya si panitia.

“Oh, saya dari Jogja,” jawab Kiai Kholil.

“Wah, jauh ya sampai datang ke sini,” kata si panitia.

“Iya,” kata Kiai Kholil santai.

“Anu, Pak. Maaf, deretan kursi ini untuk tamu undangan. Mari saya antar untuk tempat di belakang, biar bisa duduk bareng sama jamaah yang lain,” kata si panitia.

Meski sedikit terkejut, tapi Kiai Kholil menurut saja. Toh Kiai Kholil memang tidak mendapat surat undangan, sebab Kiai Anshori langsung yang mengundang secara lisan karena memang sudah akrab. Jadi dalam pikirannya, deretan kursi yang didudukinya memang untuk tamu undangan yang dapat surat undangan resmi.

Sambil diantar panitia, Kiai Kholil lalu diantarkan ke kursi belakang bersama beberapa jamaah yang mulai berdatangan. Duduk bersama jamaah yang lain.

Tak berselang lama para jamaah semakin banyak yang datang. Waktu pun sudah menunjukkan saatnya acara dimulai. Beberapa tamu undangan pun sudah hadir. Keadaan cukup riuh.

Tapi entah karena apa acara belum dimulai-mulai juga. Acara hari itu memang akan datang beberapa kiai yang akan mengisi acara. Ada yang doa, ada yang kasih sambutan, ada yang kasih ceramah. Ada pula Bupati, Pak Lurah, Pak Camat, dan pejabat-pejabat daerah yang datang.

Dari kursi belakang, terlihat beberapa panitia terlihat celingak-celinguk kebingungan. Beberapa jamaah pun juga mulai menunjukkan gelagat aneh. Melihat ada yang tak beres, Kiai Kholil pun bertanya ke sebelahnya.

“Ini ada apa ya, Pak? Kok panitia kayak kebingungan gitu?” tanya Kiai Kholil ke bapak-bapak di sampingnya.

“Mungkin ada tamu undangan yang belum datang, Pak,” katanya.

“Oh, lagi dalam perjalanan mungkin,” kata Kiai Kholil.

“Iya, barangkali di jalan lagi kena macet,” sambar bapak-bapak di depan kursi Kiai Kholil.

Tak berselang lama terlihat Kiai Anshori ikut panik di dekat panggung. Kiai Kholil sebenarnya ingin berteriak menegur, tapi karena kelihatannya Kiai Anshori sibuk sekali, Kiai Kholil merasa nggak enak kalau mengganggu.

Lalu dengan langkah yang buru-buru Kiai Anshori berjalan ke deretan kursi belakang. Seperti sedang mencari sesuatu. Tak lama berjalan, Kiai Anshori mengenali wajah familiar.

“Astaghfirullah,” kata Kiai Anshori saat melihat Kiai Kholil sedang ngobrol dengan bapak-bapak di sekitarnya.

Orang-orang yang tadi mengobrol dengan Kiai Kholil terkejut ketika Kiai Anshori mendatangi deretan kursi mereka.

“Panjenengan kok duduk di sini tho, Pak Kiai?” kata Kiai Anshori.

“Lha bukannya memang tempat duduk saya di sini ya?” tanya Kiai Kholil ikut bingung.

“Saya ini mencari-cari panjenengan dari tadi. Acara ini nggak bakal dimulai kalau panjenengan belum datang,” jelas Kiai Anshori.

“Oalah, kalian itu cariin saya tho dari tadi? Aku kira kalian ini nunggu siapa. Pantes acaranya nggak dimulai-mulai,” kata Kiai Kholil lalu keluar dari kerumunan tempat duduk jamaah.

Mendengar cerita dari Kiai Kholil ini Gus Mut tertawa cukup keras.

“Oleh karena itu, Abah lalu berpesan sama Kiai Anshori usai acara, si panitia yang minta abahmu ini ke belakang jangan dimarahin ya. Ya soalnya ada andil kesalahan Abah juga di situ,” kata Kiai Kholil ke Gus Mut sambil berjalan pulang dari masjid.

“Lha kok bisa, Bah? Kan emang panitianya keliru, masa panitia bisa nggak hapal wajah tamu undangannya?” kata Gus Mut sambil masih menahan rasa geli.

“Ya karena di daerah situ, kalau kamu nggak pakai sorban atau pakaian bagus kamu dikira kayak jamaah biasa, Mut. Bersikap sederhana agar kita tetap rendah hati itu memang penting, tapi kadang-kadang sebagai tamu kita menghormati tuan rumah dengan pakaian yang sepantasnya itu jauh lebih penting lagi. Kan kasihan kalau ada orang jadi merasa bersalah hanya gara-gara kita egois mau berbuat baik sendiri,” kata Kiai Kholil.

Gus Mut manggut-manggut, sambil mendadak tertawa geli sendiri membayangkan cerita konyol yang dialami abahnya.

“Aku sih cuma penasaran, Bah. Itu si panitia perasaanya gimana ya udah ngusir Abah gitu?”

“Bakal jadi cerita yang nggak bisa dilupakan seumur hidupnya tentu,” kata Kiai Kholil sambil ikut terkekeh.


*) Diolah dari kisah Kiai Muchith Muzadi.

Exit mobile version