Fanshuri meletakkan komik siksa neraka di hadapan Gus Mut.
“Ini lho, Gus. Gara-gara komik ini, keponakan saya jadi nggak bisa tidur berhari-hari,” kata Fanshuri.
“Komik apaan sih, Fan?” tanya Gus Mut bingung sambil mengambil komik tipis itu.
“Ya itu, komik yang dulu dijual sama abang-abang jualan mainan depan sekolah. Sekarang sih agak susah carinya. Kebetulan aja kemarin di alun-alun ada pasar malam, bapaknya keponakan iseng beli buat nostalgia. Eh, tahu-tahu anaknya ikut baca. Malah jadi trauma sekarang,” kata Fanshuri.
Gus Mut yang diajak bicara malah asyik membaca komik siksa neraka yang tadi dibawa Fanshuri dengan santai.
“Woy, woy, Gus. Ndengerin nggak sih?” tanya Fanshuri.
Gus Mut cuma manggut-manggut sambil bolak-balik halaman komik.
“Biangane, malah mau dikhatamin,” kata Fanshuri kesal.
“Hehehe,” Gus Mut ketawa kecil tanpa merasa berdosa. “Mendadak jadi kepingin nostalgia juga nih baca komik ini. Dulu waktu kecil sering baca juga.”
Fanshuri sedikit tersenyum mendengarnya. “Oalah, Gus, Gus… Ke sini mau minta pendapat soal komik ini malah dinikmati sendiri.”
“Ya kan kadang untuk jadi pengamat kita perlu memosisikan sebagai penikmat juga. Supaya paham betul masalahnya apa,” kata Gus Mut, masih menikmati komik siksa neraka.
“Ealah, alasan aja, Gus, Gus.”
Gus Mut tertawa. Namun masih sambil asyik membaca.
“Tapi kenapa buku komik siksa neraka kayak begini bisa lebih terkenal dan laku ketimbang komik nikmatnya surga ya, Gus? Coba deh kalau kita ingat-ingat lagi masa kecil kita. Meski aku dulu pernah juga baca komik nikmatnya surga, sekarang sama sekali nggak ingat isinya apa. Tapi kalau komik ini, sampai udah setua gini juga aku ingat betul gambaran-gambarannya. Seremnya masih kebayang,” kata Fanshuri.
Gus Mut manggut-manggut lagi. Kali ini dipercepat membacanya, langsung ke bagian akhir. “Oh, di halaman-halaman akhir gambaran surganya ada juga ya di komik ini,” kata Gus Mut tiba-tiba tanpa merespons omongannya Fanshuri.
“Ini gimana sih? Aku ngomong ternyata nggak didengerin,” kata Fanshuri.
“Nggak, Nggak, Fan. Aku denger kok,” kata Gus Mut sambil meletakkan komik tersebut.
“Ya kalau ndengerin terus gimana? Menurut Gus Mut, kenapa kok kita malah penasaran sama komik kayak gitu ketimbang komik satunya yang ngomongin surga?” tanya Fanshuri.
“Mungkin karena gambaran surga itu sebenarnya nggak terlalu menarik sih buat orang kayak kita,” kata Gus Mut sambil bersandar di tempat duduknya.
“Hah? Nggak menarik gimana? Maksud Gus Mut, kita yang tertarik baca komik siksa neraka itu nggak tertarik gitu sama surga? Wah, hati-hati lho, Gus. Bukannya itu malah jadi sombong kalau ngomongnya begitu?” tanya Fanshuri.
“Bukan, bukan gitu maksudku, Fan. Maksudku apa sih gambaran soal surga yang nggak kita lihat langsung di negara ini? Sungai jernih yang mengalir, ada. Taman-taman yang indah, juga ada. Kita juga akrab dengan hutan yang hijau dan lebat. Kalau di tanah Arab sana, jelas gambaran-gambaran surga jadi menggiurkan sekali. Orang-orang di Jazirah Arab nggak biasa lihat sungai jernih mengalir indah. Di lingkungan mereka nggak banyak taman hijau kayak di sekitar kita,” kata Gus Mut.
“Ya tapi kan itu cuma gambaran aja, Gus. Kan kita juga nggak tahu apakah sungai jernih, hutan hijau, dan taman-taman indah itu benar-benar surga yang kita bayangin,” kata Fanshuri.
“Nah, tepat. Justru karena kita nggak punya gambaran surga sebenarnya, maka dibutuhkan pengalaman biar bisa membayangkan. Islam turun kepada orang-orang yang tinggal di gurun pasir, maka gambaran sungai jernih mengalir, hutan lebat, dan taman indah menjadi wujud surga yang diidamkan,” kata Gus Mut.
“Lha wong buah khuldi aja kita nggak tahu wujudnya,” lanjut Gus Mut lagi, “Manusia nggak punya pengalaman akan buah itu. Di bumi kan nggak ada?”
“Terus kenapa kita lebih tertarik sama komik siksa neraka ketimbang nikmatnya surga?” tanya Fanshuri masih penasaran.
Gus Mut tersenyum sejenak sambil membenarkan posisi duduknya.
“Sekarang gini analoginya. Bisa jadi, komik siksa neraka kalau diterbitkan di Arab sana bakal kalah laku dibandingkan komik nikmatnya surga,” kata Gus Mut sambil terkekeh.
“Loh kok gitu, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya karena alam mereka keras, makanya iming-iming indahnya surga bikin tertarik. Beda dengan kita yang terbiasa hidup enak karena alamnya gemah ripah loh jinawi. Kalau dikasih gambaran surga kayak begitu ya kita nggak tertarik lah, makanya kita malah tertarik sama gambaran neraka. Penasaran sama isinya, tahu-tahu jadi trauma, lalu kalau tua gini malah jadi nostalgia, hehehe,” terang Gus Mut sambil terkekeh.
*) Diinspirasi dari ceramah Gus Muwafiq.