Kalau Ortu Tak Mendukung Passion Kita, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Kalau Ortu Tak Mendukung Passion Kita, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Kalau Ortu Tak Mendukung Passion Kita, Apa yang Harus Kita Lakukan?

MOJOK.COApa yang harus kita lakukan ketika orang tua tidak mendukung pekerjaan yang sesuai dengan passion kita?

“Jadi ceritanya, orang tua tak mendukung pekerjaan yang sesuai passion saya, Gus, jadi baiknya gimana ya?” tanya Fariz, teman Fanshuri yang sowan ke kediaman Gus Mut.

Fariz merupakan seorang konten kreator, pekerjaan yang tak didukung oleh orang tuanya. Bagi orang tuanya, pekerjaan Fariz ini tidak secure. Itu yang bikin orang tua Fariz menginginkan anaknya mendaftar jadi PNS saja.

Pada mulanya Fariz menuruti keinginan seleksi CPNS hanya demi ngadem-ngadem orang tuanya. Sialnya, Fariz ternyata malah lolos jelang tahap akhir.

“Padahal itu semua saya lakukan cuma iseng-iseng, biar orang tua saya nggak ngomel-ngomel lagi. Eh, ternyata saya lolos di beberapa tahap, minggu depan tinggal tes terakhir,” kata Fariz.

“Iya, Gus. Padahal Fariz ini termasuk sukses lho sama pekerjaan yang sesuai passion-nya itu,” kata Fanshuri yang ikut menemani Fariz sowan ke kediaman Gus Mut.

Gus Mut masih terdiam, mencoba mencerna.

“Mas Fariz ini hebat sekali ya. Bahkan cuma iseng-iseng daftar aja bisa sampai hampir lulus. Itu kalau sampean serius daftar, terus gimana coba hasilnya? Pasti luar biasa,” kata Gus Mut memuji.

“Tapi mau gimana pun, itu bukan bidang perkerjaan yang sesuai passion saya, Gus. Apa tidak ada dalil agar orang tua mau menuruti hak-hak anaknya kayak gini?” tanya Fariz.

Gus Mut kali ini terkekeh.

“Lho kok ketawa sih, Gus? Ini Fariz serius lho, Gus. Dia lagi dilema sekali,” kata Fanshuri.

“Ada sih, dalil soal hak anak, tapi di sini dan di situasi sekarang bukan tempatnya untuk memakainya,” kata Gus Mut.

Fanshuri dan Fariz saling pandang. Antara senang karena merasa menemukan legitimasi untuk mengalahkan keinginan orang tua Fariz, tapi juga ragu karena Gus Mut bilang dalil itu tak tepat untuk dipakai.

“Bukannya dalil tetap dalil ya, Gus? Mau itu pahit, kan kita harus menerimanya? Jadi kalau orang tua saya, saya kasih tahu dalil itu, mereka jadi harus menerimanya kan?” kata Fariz.

Lagi-lagi Gus Mut tersenyum penuh arti.

“Nah, tepat itu,” kata Gus Mut sambil menunjuk Fariz.

Fanshuri sudah merasa girang, dia merasa sudah menang karena mampu membantu temannya mengatasi masalah dengan orang tuanya.

“Iya, Gus. Kan Gus Mut dulu pernah bilang, sebagai orang tua kita harus bisa mendidik anak dengan baik, nggak menuntut macam-macam ke anak. Soalnya anak itu adalah titipan Allah, jadi jangan diperlakukan semena-mena kalau kita jadi orang tua,” kata Fanshuri menambahi.

“Itu, betul, tapi…” kata Gus Mut lantas terdiam sejenak.

“Ta-tapi apa, Gus?” tanya Fanshuri.

“Itu dalil untuk orang tua. Bukan untuk anak,” kata Gus Mut.

“Ma-maksudnya, Gus?” tanya Fariz kali ini.

“Ya kalau konteksnya untuk anak ya pakai prinsip birrul walidain. Berbakti sama orang tua seumur hidup si anak,” kata Gus Mut.

“Artinya, Gus?” tanya Fanshuri dan Fariz hampir bersamaan.

“Ya artinya sampean harus nuruti keinginan orang tua, apa yang bikin mereka ridho sama sampean, itu yang sampean harus pilih,” kata Gus Mut.

Fariz dan Fanshuri kini saling pandang lagi.

“Lah, kok gitu, Gus?” tanya Fariz, “Bukannya…”

“Bukannya dalil tetap dalil? Mau itu pahit, kan kita harus menerimanya kan, Mas Fariz? Tadi sampean sendiri yang bilang,” kata Gus Mut.

Fariz tercekat, terdiam sejenak.

“Bukan gitu, Gus, maksud saya tadi…” kata Fariz.

“Mas Fariz, Mas Fariz itu hebat, sudah mau mengikuti apa perintah orang tua. Apalagi sampai tahap segitu. Yang perlu Mas Fariz tahu, dalil itu fungsinya bukan untuk meminta hak, tapi mengingatkan kewajiban kita,” kata Gus Mut.

Fanshuri dan Fariz cuma menunduk.

“Artinya, kalau yang datang hari ini adalah orang tua Mas Fariz, lalu mengeluhkan soal passion Mas Fariz yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, ya aku bakal kasih nasihat yang berbeda. Tapi berhubung yang datang sampean, jadi ya nasihatnya soal kewajiban anak,” kata Gus Mut.

“Berarti Gus Mut juga nggak mendukung passion saya dong ya?” tanya Fariz merasa putus asa.

“Ya gimana ya Mas Fariz, kalau orang tua tidak mendukung passion sampean, berarti—bisa jadi—selama ini sampean tidak melibatkan mereka dalam kehidupan sampean, sampai-sampai mereka nggak bisa mengerti kondisi sampean. Situasinya itu sulit karena kadang kita sebagai anak suka merahasiakan sesuatu ke orang tua kita, begitu orang tua kita tahu sama passion kita, situasinya sering jadi pelik kayak gini,” kata Gus Mut.

“Ta-tapi kan itu menunjukkan orang tua saya kolot, Gus? Masa pekerjaan yang mereka bisa banggakan cuma jadi PNS? Apa Gus Mut juga mau memaksa saya jadi PNS juga meski saya nggak rela?” tanya Fariz.

Gus Mut tersenyum.

“Mas Fariz, saya itu tidak memaksa sampean. Saya juga tidak ada untung-ruginya di sini. Sampean akhirnya mau jadi PNS atau tetep sama passion sampean, saya cuma ngasih tahu kalau ridho orang tua itu tidak ada bandingannya. Itu saja kok. Soal apa keputusan sampean ya saya nggak bisa apa-apa lagi,” kata Gus Mut tetap berhati-hati dalam kalimatnya.

Fariz terdiam, sedangkan Fanshuri mendengar nasihat itu dalam-dalam.

Tak berapa lama, Fariz dan Fanshuri lantas pamit dari kediaman Gus Mut, meski dalam keadaan yang berkecamuk parah di dada Fariz. Niat hati ingin mendapat pembelaan, yang ada malah dapat perasaan kalah.

Di perjalanan menuju rumah Fanshuri, Fariz masih tidak terima dengan pandangan Gus Mut.

“Gus Mut itu pasti nggak pernah ngerasain apa yang aku alami gini, jadi dia enteng aja nyuruh aku birrul walidain. Apa dia nggak tahu, kalau usahaku ini aku bikin sampai berdarah-darah,” kata Fariz ke Fanshuri.

“Ngawur kamu,” kata Fanshuri menepuk pundak Fariz.

“Lah, iya kan? Kan bisa aja itu karena Gus Mut tak mengerti kondisiku yang sebenarnya?” tanya Fariz.

“Gus Mut itu jauh lebih ngerti ketimbang kamu, Riz. Ngawur kamu!” kali ini Fanshuri lebih galak dari sebelumnya.

“Hah? Ya itu karena kamu santrinya. Jadi kamu nurut aja apa yang dibilang Gus-mu itu,” kata Fariz.

Kali ini Fanshuri menoyor kepala temannya itu.

“Gus Mut itu dulu pernah kerja sebagai wartawan waktu mudanya. Tapi, karena Kiai Kholil, abahnya, punya pondok pesantren, akhirnya Gus Mut harus merelakan passion-nya. Ia nurutin keinginan abahnya jadi wakil pengasuh pesantren…”

Kali ini Fariz terdiam.

“Jadi beliau itu ngerti betul apa yang kamu rasain. Kata-kata yang meluncur buatmu barusan itu bukan kata-kata kosong, Riz. Gus Mut sudah kasih contoh itu lewat aku, aku saksi hidupnya saat beliau melewati masa-masa sulit itu,” kata Fanshuri yang bikin Fariz terkejut.

Entah kenapa, gara-gara Fanshuri bilang begitu, nasihat Gus Mut tadi jadi terasa berbeda sekarang di ingatan Fariz.

“Nasihat-nasihat klise itu, kalau dalam bentuk contoh dari orang yang ngalamin langsung memang terasa lain ya, Fan?” kata Fariz.

Fanshuri cuma mengangguk pelan, memeluk bahu temannya itu, mencoba berbagi beban.

BACA JUGA Apakah Surga Hanya untuk Orang Islam Saja? atau cerita-cerita Gus Mut lainnya.

Exit mobile version