MOJOK.CO – Memang kamu benar-benar ikhlas untuk berkurban pada hari raya Idul Adha? Hari agung pengurbanan?
Dalam daftar orang-orang yang akan berkurban dan sudah didata panita takmir masjid tahun ini, tak ada nama Fanshuri. Padahal setiap Idul Adha tahun-tahun sebelumnya, Fanshuri tidak pernah luput ikut berkurban. Kalau pun tidak bisa kurban satu kambing, Fanshuri biasanya ikut arisan sapi warga kampung. Akan tetapi beberapa hari jelang Idul Adha tahun ini, sayup-sayup tak terdengar informasi kalau Fanshuri mau berkurban.
Sebagai teman dekat, Gus Mut tidak berani jika harus bertanya macam-macam. Maklum, urusan kurban itu urusan pribadi. Tidak berhak juga Gus Mut bertanya ke Fanshuri, takut yang bersangkutan tersinggung lalu jadi terpaksa ikut berkurban karena malu karena ditanya macam-macam.
“Kok tumben ya, Bah, Fanshuri nggak ikut kurban tahun ini?” tanya Gus Mut kepada abahnya, Kiai Kholil.
Di teras depan rumah, Kiai Kholil cuma tersenyum mendengar pertanyaan anaknya itu.
“Oalah, kamu nggak tahu tho, Mut?” Kiai Kholil malah balik tanya.
“Tahu apa, Bah?” tanya Gus Mut.
“Wah, Abah kira kamu itu tahu lebih dulu soal Fanshuri,” kata Kiai Kholil.
“Lho emang Abah ketemu Fanshuri? Kapan?” tanya Gus Mut.
“Baru tiga atau empat hari kemarin aku ketemu. Dia main ke rumah,” kata Kiai Kholil.
“Ketemu Abah dalam rangka urusan kurban?” tanya Gus Mut.
“Iya,” kata Kiai Kholil.
Kiai Kholil kemudian bercerita soal kedatangan Fanshuri. Beberapa hari sebelumnya, Fanshuri sowan ke kediaman Kiai Kholil. Ada pertanyaan yang mengganjal Fanshuri dan memang perlu ditanyakan.
“Jadi begini, Pak Kiai. Saya ini sebenarnya ingin sekali bisa ikut kurban tahun ini seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja, saya baru dapat kabar kalau ibu teman saya ada yang sakit dan perlu biaya banyak untuk pengobatannya. Saya jadi bingung, Pak Kiai. Saya ingin ikut membantu teman saya itu. Tapi ya bagaimana, uang saya nggak cukup. Pilihannya cuma saya bantu saudara saya tapi nggak bisa ikut kurban, atau baiknya saya tetap ikut kurban saja ya?” tanya Fanshuri.
Kiai Kholil tersenyum mendengar pertanyaan Fanshuri. Bukan karena ada yang lucu dari pertanyaan tersebut, melainkan senyum bangga karena ada orang seperti Fanshuri di kampungnya.
“Wah, ya kamu harus prioritaskan ibu temanmu itu dulu, Fan. Untuk tahun ini nggak perlu berkurban dulu nggak apa-apa,” kata Kiai Kholil.
“Lho kok gitu, Pak Kiai? Saya kena dosa dong kalau nggak ikut berkurban. Padahal saya ini secara materi juga sebenarnya mampu buat berkurban?” tanya Fanshuri lagi.
Lagi-lagi Kiai Kholil tersenyum.
“Fan, kamu bertanya seperti itu malah membuatku malu sebenarnya,” kata Kiai Kholil.
“Aduh, aku salah kata ya, Pak Kiai? Maaf, bukan bermaksud apa-apa, saya memang nggak tahu baiknya gimana Pak Kiai, makanya saya ke sini buat tanya,” kata Fanshuri sambil garuk-garuk kepala.
“Bukan, bukan karena ketidaktahuanmu itu yang bikin aku malu, Fan. Tapi pilihanmu untuk tetap peduli kepada orang lain di saat orang-orang sepertiku ini sibuk banyak-banyakin bisa berkurban di Idul Adha, padahal ada saudara kita yang sebenarnya lebih membutuhkan tapi malah diabaikan,” kata Kiai Kholil.
Fanshuri bingung mendengar penjelasan Kiai Kholil ini.
“Berkurban itu sendiri bukanlah sesuatu yang diwajibkan kok, Fan. Jadi kamu tidak perlu khawatir dinilai sudah meninggalkan kewajiban atau nggak. Secara umum kategorinya masih sunah muakkad. Berkurban begini baru jadi wajib kalau itu ada sesuatu yang bikin kamu wajib melakukannya. Kamu nggak perlu khawatir,” kata Kiai Kholil.
“Oh, begitu ya. Memang ‘kalau ada sesuatu yang bikin wajib’ itu apa contohnya, Pak Kiai?” tanya Fanshuri.
“Ya misalnya kamu punya nazar. Itu jadi wajib. Bahkan kalau dalam sebuah daerah atau kampung muslim nggak ada satu pun orang yang berkurban di daerah tersebut, lalu ada seorang yang kebetulan punya kelapangan rezeki berlebih tapi tidak mau berkurban ya dia nggak bisa dikenai kewajiban juga,” kata Kiai Kholil.
“Tapi ketimbang itu semua, aku pikir kamu sudah melampauiku, Fan,” kata Kiai Kholil.
“Esensi berkurban itu soal keihklasan, Fan. Dan ikhlas itu ukurannya memang nggak bisa ditakar pakai ilmu fikih atau ilmu agama. Itu murni soal keimanan. Ketika Nabi Ibrahim diuji oleh Allah untuk menyembelih putranya Nabi Ismail, selain soal ketundukan kepada Allah, hal tersebut juga jadi ujian mengenai keikhlasan Nabi Ibrahim. Apakah dia ikhlas kehilangan harta yang paling dicintainya, yakni putranya Ismail? Padahal Ismail adalah anak yang dinanti-nanti kehadirannya oleh Nabi Ibrahim,” kata Kiai Kholil.
Fanshuri masih menyimak.
“Sama seperti kasusmu itu, Fan. Aku pikir kamu sedang diuji juga oleh Allah. Apakah kamu ikhlas tidak bisa ikut berkurban tahun ini? Tidak bisa ikut merayakan Idul Adha seperti biasanya di mana kamu bisa ikut menyumbang daging kurbanmu ke tetangga-tetangga? Kasusmu ini juga jadi pelajaran berharga bagiku, Fan. Pelajaran bahwa berkurban itu prinsipnya adalah keikhlasan yang berdampak secara sosial, tidak seperti ibadah lain seperti puasa atau salat yang urusan keikhlasannya privat antara Allah dengan hamba-Nya. Jadi untuk hal ini, aku secara pribadi ingin berterima kasih padamu, Fan,” kata Kiai Kholil.
Fanshuri jadi kikuk. Bagaimana mungkin tokoh seperti Kiai Kholil mengucapkan terima kasih kepadanya, memangnya dia sudah berbuat apa untuk Kiai Kholil sampai dapat kehormatan seperti itu?
“Lho kok terima kasihnya ke saya, Pak Kiai?”
“Ya iya dong, sama siapa lagi? Kamu sudah membukakan mataku yang sempit ini bagaimana cara berkurban pada hari agung pengurbanan,” kata Kiai Kholil.
Fanshuri semakin salah tingkah.
“Dan, begini, Fan, kalau diizinkan aku juga ingin mengalihkan kurbanku tahun ini untuk membantu ibu temanmu yang sedang sakit itu. Ya kalau kamu izinkan,” kata Kiai Kholil.
“Wah, tentu saja saya senang Pak Kiai. Tapi Pak Kiai masa nggak ikut kurban tahun ini? Wah, saya jadi merasa bersalah jadinya,” kata Fanshuri.
Kiai Kholil geleng-geleng kepala melihat kepolosan dan kebaikan Fanshuri ini.
“Apa kamu nggak mau menerima ‘kurban’ juga dari muridmu ini, Fan?”
Fanshuri cuma garuk-garuk kepala mendengarnya. Sama seperti garuk-garuk kepalanya Gus Mut yang mendengar cerita abahnya soal Fanshuri.
“Jadi Abah tahun ini nggak jadi ikut kurban?” tanya Gus Mut.
“Iya, Mut. Abah lewat dulu untuk tahun ini. Abah mau kasih duit kurban itu untuk temannya Fanshuri dulu,” kata Kiai Kholil.
Gus Mut yang mendengarnya jadi merasa malu.
“Kalau aku ikutan? Apa masih diizinkan, Bah?” tanya Gus Mut.
“Sepertinya dariku sama Fanshuri saja sudah cukup itu dana buat pengobatannya, Mut. Kalau kamu jadi ikutan, Abah takutnya jadi berlebihan,” jelas Kiai Kholil.
“Oh, kalau begitu begini saja, Bah. Kurban Abah sama Fanshuri biar aku yang tanggung saja ya? Jadi nama Abah sama Fanshuri tetap masuk dalam daftar kurban tahun ini di masjid kampung, pakai uangku. Masa iya Abah sama Fanshuri bisa berbuat baik begitu aku nggak diajak-ajak sih. Bikin iri saja kalian ini,” kata Gus Mut.
Kiai Kholil tertawa mendengarnya.
“Kamu itu anaknya siapa sih sebenarnya, Mut?” kata Kiai Kholil sambil mengelus kepala putranya itu.
“Ya gimana aku nggak iri, Bah, mau jadi orang baik begitu kok nggak ajak-ajak.”