Celakalah Dia yang Tinggalkan Ngaji demi Sesuap Nasi!

Celakalah Dia yang Tinggalkan Ngaji demi Sesuap Nasi!

Celakalah Dia yang Tinggalkan Ngaji demi Sesuap Nasi!

MOJOK.COKang Bakar merasa heran dengan kelakuan Fanshuri. Sudah tahu ada ngaji bareng Gus Mut, Fanshuri malah pergi cari orderan ojek online.

Saat sedang ngaji di teras masjid, beberapa murid Gus Mut melihat Fanshuri melewati jalan depan masjid. Menggendarai sepeda motor dengan atribut komplet jaket ojek online.

Sore itu, beberapa murid Gus Mut yang merupakan warga kampung merasa heran ketika menyadari Gus Mut tidak bereaksi apa-apa ketika salah satu muridnya tak ikut ngaji. Terutama sudah cukup jelas kalau Fanshuri santai saja melewati jalan di depan teras masjid, padahal saat itu sedang ada pengajian Gus Mut.

Salah satu yang merasa heran itu adalah Kang Bakar. Hanya saja, karena masih dalam keadaan ngaji, keheranan Kang Bakar tidak ditunjukkan. Begitu pengajian selesai, Kang Bakar baru bersuara.

“Ealah, Fanshuri itu gimana. Dunia kok dikejar-kejar gitu. Udah tahu di teras masjid ada ngaji sama Gus Mut, malah pergi. Dasar. Celakalah dia yang tinggalkan ngaji demi sesuap nasi,” kutuk Kang Bakar.

Mas Nur, salah satu murid Gus Mut yang mendengar keheranan Kang Bakar pun jadi kepancing.

“Iya juga ya, Kang? Padahal kan Fanshuri itu tahu, kalau urusan dunia itu nggak perlu segitunya dikejar. Kok dia malah menjauh dari majelis ilmu begini,” kata Mas Nur.

Gus Mut yang baru beres-beres kitab bersiap akan pulang. Beberapa murid sudah pulang. Sebelum Gus Mut mau balik ke rumah, Kang Bakar mencegat Gus Mut di pintu teras masjid untuk melaporkan Fanshuri yang tadi ketahuan tidak ikut ngaji.

“Gus, Fanshuri itu mbok ditegur,” kata Kang Bakar sambil salaman lantas mencium punggung tangan Gus Mut. Di belakangnya ada Mas Nur.

“Hah? Ditegur? Kenapa memang dia?” tanya Gus Mut.

“Lah, Gus Mut tadi nggak lihat?” tanya Mas Nur kali ini.

“Lihat apa sih? Tadi kan aku baca kitab, nggak sempat lihat-lihat sekeliling,” kata Gus Mut.

“Itu lho, Gus. Fanshuri itu malah keluar cari orderan ojek online,” kata Kang Bakar.

“Lah kok kalian tahu?” tanya Gus Mut.

“Ya tadi orangnya naik motor lewat jalan depan ini kok,” kata Kang Bakar sambil menunjuk jalan.

Gus Mut masih tak mengerti.

“Terus kenapa?” tanya Gus Mut.

“Lah, Gus Mut ini gimana. Kok malah tanya kenapa. Itu contoh buruk dong, Gus?” tanya Kang Bakar.

Gus Mut bingung.

“Kok ‘contoh buruk’?” Gus Mut bertanya lagi.

“Itu kan artinya Fanshuri lebih memetingkan urusan perutnya ketimbang urusan ibadah kayak ngaji begini. Celaka sekali dia, meninggalkan ibadah demi cari sesuap nasi,” kata Kang Bakar.

Gus Mut baru menyadari maksud Kang Bakar. Ada senyum kecil di sela bibir ketika mendengar protes Kang Bakar.

“Oalah, iya, iya, sekarang aku paham maksudmu, Kang. Jadi maksudmu, Fanshuri itu salah karena bekerja, sedangkan orang yang ada dalam majelis ini lebih baik?” tanya Gus Mut memastikan.

“Ya saya nggak mau klaim saya lebih baik, Gus. Cuma mungkin Gus Mut perlu untuk mempertimbangkan buat menegur Fanshuri,” kata Kang Bakar.

Gus Mut lagi-lagi tersenyum.

“Kang, sampeyan mengaji ini baik, Fanshuri yang kerja itu juga baik,” kata Gus Mut.

“Ya nggak dong, Gus. Masak urusan perut sama urusan ibadah setara?” tanya Mas Nur.

Gus Mut tersenyum.

“Ibadah itu banyak spektrumnya, Mas. Ada yang sifatnya komunal, ada yang sifatnya personal. Penanganannya itu beda-beda. Kalau untuk ibadah bersifat komunal, jangan sampai ibadahmu menganggu orang lain. Bahkan ketika orang lain itu tidak seiman denganmu. Kalau soal ibadah privat atau personal—misalnya, boleh kamu salat lama-lama, baca satu juz setiap rakaat. Tapi untuk salat jamaah jangan lama-lama karena itu bisa mengganggu kepentingan orang lain,” kata Gus Mut.

Gus Mut lalu melanjutkan.

“Dalam hal ini tadi, Fanshuri juga beribadah. Cuma dalam spektrum komunal. Fanshuri bekerja itu karena dia harus memenuhi kebutuhan keluarganya, untuk ibunya yang sudah renta dan sakit-sakitan di rumah. Bahkan apa yang dilakukan Fanshuri itu juga termasuk sunah Nabi. Dan dengan bekerja, dia mempraktikkan apa yang kita kaji selama ngaji tadi,” kata Gus Mut.

“Mempraktikan? Yang mana memangnya, Gus?” tanya Kang Bakar.

Mas Nur menepuk pundak Kang Bakar.

“Yang tadi itu lho, Kang. Tadi kan kajian Gus Mut itu soal birrul walidain. Berbuat baik sama orang tua kita, berbakti sama bapak simbok,” kata Mas Nur sedikit berbisik.

Kang Bakar baru sadar. “Oh, iya. Tadi bahas itu ya?”

Gus Mut lagi-lagi tersenyum.

Mas Nur pun langsung menimpali, “Ealah, Kang, ternyata sampean itu ngaji tapi pikirannya malah ke mana-mana. Fisiknya doang yang ibadah itu, hatinya mah kagak.”

“Mungkin itu contoh paribahasa dari ini,” kata Gus Mut, “bau kentut di pantatmu tak tercium tapi bau jigong di seberang jalan malah kecium.”

Kang Bakar cuma melongo.

“Perasaan bukan gitu deh paribahasa, Gus,” kata Kang Bakar.

Mas Nur menepuk jidatnya sambil berbisik, “Itu kan cuma metafora, Kaaang.”


*) Diolah dari sebuah riwayat yang dijelaskan Gus Baha’.

BACA JUGA Apakah Surga Hanya untuk Orang Islam Saja? dan kisah-kisah GUS MUT lainnya.

Exit mobile version